CERBUNG: 2020

Sabtu, 13 Juni 2020

BIAS RINDU -EPISODE 19

Judul: “Bias Rindu”
Penulis: Naya R
Terima kasih admin/moderator telah menyetujui tulisan ini.
Hanafi duduk di samping ranjang umi Halimah. Pelan diambilnya tangan sang umi dan diciumnya dengan lembut.
“Umi, Hanafi melakukan kesalahan lagi. Hanafi kembali melukai hati Arini, Umi. Masihkah ada kesempatan bagi Hanafi untuk memperoleh maaf dari Arini, Umi?” Hanafi menggenggam tangan uminya dengan mata yang mulai terasa kabur.
“Umi, bantu Hanafi untuk mendapatkan maaf dari Arini. Bantu Hanafi untuk membuka lembaran baru dengan menantu kesayangan Umi itu,” kali ini Hanafi tak dapat lagi menahan air matanya. Satu tetes cairan bening jatuh dari sudut matanya.
“Umi tahu, Arini hamil, Mi. Umi akan segera menimang cucu. Ayolah, Mi, bangun. Lihat menantu Umi yang sedang mengandung cucu pertama Umi.” Suara Hanafi yang tadi terdengar parau kali ini terdengar penuh kegembiraan.
Dengan perasaan berat, Hanafi melangkah meninggalkan ranjang uminya. Tetapi, tekadnya untuk segera menemui Arini, membuat Hanafi harus menguatkan hati meninggalkan wanita mulianya malam ini.
“Hanafi …” lirih sebuah suara memanggil nama Hanafi. Langkah Hanafi terhenti. Laki-laki itu berbalik dengan dada bergemuruh. Sedetik kemudian, hanafi telah berada kembali di samping ranjang Umi Halimah.
“Umi!” Hanafi berjongkok di samping ranjang dan mengusap kening uminya penuh kasih. Mata wanita paruh baya itu terlihat mulai terbuka. Setetes cairan bening menetes dari sudut matanya. Hanafi mengusapnya dengan tangan gemetar.
“Alhamdulillah, ya Allah. Alhamdulillah, Umi telah sadar.” Hanafi mengusap sudut-sudut mata umi Halimah yang telah basah oleh air mata.
“Bawa Umi bertemu dengan menantu Umi. Bawa Umi bertemu dengan calon cucu Umi.” Umi Halimah berkata dengan suara lemah. Hanafi mengangguk. Mata laki-laki itu kembali basah.
“Iya, Umi. Hanafi akan bawa Arini untuk menemui Umi. Tetapi, Umi harus sembuh dulu. Kita akan kembali berkumpul, Mi.” Hanafi mencium kening uminya berulang kali.
“Umi sudah sehat. Bawa Umi pulang sekarang,” Umi Halimah terisak seraya mencabut selang oksigennya. Hanafi menahan tangan sang umi.
“Umi, dengarkan Hanafi. Hanafi harus meyakinkan Arini jika Hanafi menyayanginya. Umi harus tetap di sini malam ini. Doakan Hanafi bisa mendapatkan maaf dari Arini. Besok pagi, Hanafi janji akan membawa Arini untuk menjemput Umi ke sini,” Hanafi berkata dengan sabar pada Umi Halimah.
Umi Halimah terdiam. Mencoba mencerna ucapan anaknya.
“Umi percaya sama Hanafi, kan? Kali ini insyaallah Hanafi tidak akan mengecewakan Umi.” Hanafi mengambil tangan uminya dan meletakkannya di dada. Akhirnya umi Halimah mengangguk lemah.
“Nggak apa-apa Hanafi tinggal Umi malam ini? Nanti Hanafi telepon Harun, ya. Biar Harun yang jagain Umi malam ini,” Hanafi bangkit dan mengusap rambut uminya dengan sayang.
“Ya, nggak apa-apa.” Umi Halimah menjawab lemah. Namun hatinya merasa bahagia, tidak lama lagi ia akan bertemu dengan menantunya. Tidak lama lagi ia akan bertemu calon cucunya. Umi Halimah tersenyum dengan mata berbinar membayangkan semua itu. Melihat uminya tersenyum, Hanafi merasa sedikit lega. merasa tenang juga meninggalkan uminya.
“Hanafi pamit, ya, Mi.”
“Ya, hati-hati.”
Hanafi pun melangkah meninggalkan umi Halimah. Dada Hanafi dipenuhi oleh ribuan rasa bahagia. Malam ini Allah memberikannya dua kejutan sekaligus. Kepulangan Arini dan kesembuhan uminya. Alhamdulillah ya, Allah, Hanafi kembali mengucapkan rasa syukur.
****
Mobil Hanafi memasuki halaman rumah Arini. Dua bulan lalu dokter tampan ini akhirnya bisa juga membeli kendaraan roda empat. Karena ia memang membutuhkannya untuk keliling daerah. Ia merasa tidak enak jika selalu menggunakan mobil kedua sahabatnya untuk membuka posko pengobatan gratis di daerah.
Hanafi mengetuk pintu dengan dada bergemuruh. Detak jantungnya menjadi tidak normal. Membayangkan akan bertemu dengan istrinya setelah kejadian tadi, sungguh membuat laki-laki ini merasa cemas.
Pintu terbuka, Etek Pia berdiri di hadapan Hanafi.
“Oh, Nak Hanafi. Ayo, masuk, Nak.” Etek Pia melebarkan daun pintu.
“Makasih, Tek. Assalammualaikum.” Hanafi melangkah masuk.
“Waalaikumsalam.” Etek Pia kembali menutup dan mengunci pintu.
“Arini di mana, Tek?”
“Sudah masuk kamar, Nak. Masuk aja ke kamarnya.”
“Ya, Tek. Makasih.”
Hanafi menuju kamarnya. Dengan tangan gemetar laki-laki itu memutar gagang pintu. Ruang kamar terlihat remang-remang. Hanafi mengedarkan pandangan, tempat tidur terlihat kosong.
Hanafi berjalan pelan menuju kamar sebelah. Menggeser pintu kaca dengan hati-hati lalu melangkah ke kamar bernuansa ping itu. Matanya langsung menangkap sosok istrinya yang sedang berbaring di ranjang ukuran lajang itu.
Detak jantung Hanafi semakin bertalu. Namun, Hanafi menguatkan dirinya untuk mendekati ranjang.
“Arini.” Hanafi menyebut nama istrinya dengan suara bergetar. Arini yang belum tertidur meremas alas kasur di bawah selimut. Suara itu, suara yang enam purnama selalu dirindukannya. Jika menurutkan rasa di hati, ingin sekali Arini bangun dan menghambur memeluk tubuh suami yang setiap malam selalu hadir di pelupuk matanya. Laki-laki yang selalu menghiasi sudut hatinya, menemani kesendiriannya dengan bayang-bayang yang tidak pernah bisa diraih jemari tangannya.
Hanafi duduk di ranjang di samping Arini tidur. Dada Arini mulai bergemuruh. Merasakan mereka dalam keadaan yang begitu dekat, membuat tubuh Arini terasa kaku.
“Arini, maafkan aku. Pertemuan kita tadi begitu mendadak. Jujur aku belum mempersiapkan diri. Apalagi aku tidak pernah tahu jika kamu sedang mengandung. Kamu tidak pernah berkabar padaku. Kamu menghilang begitu saja seperti ditelan bumi. Begitu besar kemarahanmu sehingga kamu tidak sudi untuk sekadar memberi tahu di mana keberadaanmu.” Hanafi menyentuh tangan Arini dari balik selimut. Arini menarik tangannya.
“Aku tahu, tidak mudah memaafkan kesalahan yang telah aku lakukan. Ditambah lagi kebodohanku di rumah sakit tadi. Tetapi, semua itu karena rasa takut dan cemas aku jika kamu telah berpaling.”
Arini masih diam. Laki-laki ini benar, tidak akan mudah baginya untuk menerima suaminya itu kembali. Hatinya terlalu sakit. Ucapan suaminya tadi sama saja artinya dengan menuduhnya telah berkhianat atau mungkin telah melakukan maksiat. Meski dari awal, Arini telah menduga juga jika Hanafi akan meragukan janin di dalam perutnya ini, tetapi ketika itu benar-benar terjadi, ternyata ia juga belum siap menerimanya.
“Tidurlah. Sampaikan salamku pada anak kita.” Hanafi berkata lemah begitu melihat Arini tidak merespon satupun ucapannya. Laki-laki itu bangkit dan berjalan menuju lemari. Dibukanya lemari berwarna ping itu dan mengambil sebuah bed cover dari dalamnya. Lalu dibentangkannya bed cover bermotif bunga tulip itu di atas lantai di samping ranjang Arini.
Arini menajamkan telinganya untuk mendengarkan apa yang sedang dilakukan laki-laki itu. Sementara Hanafi telah membaringkan tubuhnya di atas bed cover tanpa bantal dan selimut. Lalu keheningan menemani malam yang dingin. Keduanya sama-sama mencoba memejamkan mata. Entah pada pukul berapa mereka bisa sama-sama tertidur.
Azan subuh berkumandang. Syahdu dan mendayu. Hanafi mendengar Arini telah masuk ke kamar mandi. Pastilah untuk berwudu. Hanafi bergegas bangun dan langsung melipat alas tidurnya. Menyimpannya kembali ke dalam lemari. Dihidupkannya lampu yang lebih terang.
Hanafi mengedarkan pandangan mencari sesuatu. Dilihatnya sajadah dan mukena Arini terlipat di kursi meja belajar. Hanafi mengambilnya dan membentangkan sajadah berwarna marun itu di depan lemari kamar. Kemudian laki-laki itu meletakkan sarung dan mukena Arini di atas sajadah.
Setelah rapi, Hanafi menuju ke kamar sebelah untuk wudu juga. Biasanya laki-laki ini selalu mandi sebelum salat subuh. Tetapi, kali ini ia buru-buru. Ia tidak ingin keduluan Arini salat subuh. Makanya ketika telah selesai wudu, Hanafi mengambil sajadah dari dalam lemari lalu segera balik ke kamar istrinya. Subuh ini ia ingin salat berjamaah dengan istrinya itu. Biarlah kali ini ia tidak ke masjid.
Sampai di kamar Arini, Hanafi berdiri mematung. Istrinya itu terlihat telah berdiri sempurna melaksanakan salatnya. Hanafi mereguk ludah kecewa. Lemah laki-laki itu kembali ke kamarnya. Diletakkannya sajadah di atas kasur. Lalu ia ke luar kamar, ia akan salat di masjid saja. Di pintu depan Hanafi bertemu dengan Udin. Udin menyalami Hanafi dengan sopan. Berdua mereka berjalan menuju masjid di ujung jalan.
Hanafi dan Udin pulang ke rumah dengan menenteng beberapa kantong berisi sarapan. Ke luar dari masjid tadi, Hanafi mengajak Udin jalan ke lapangan kantin untuk membeli sarapan. Hanafi membeli beberapa macam sarapan yang rasa-rasanya akan disukai oleh Arini.
Begitu masuk ke dalam rumah, Hanafi langsung menuju ruang makan. Dada Hanafi berdebar melihat Arini sedang duduk di kursi meja makan. Istrinya itu terlihat memakai gamis berwarna biru muda dengan jilbab instan berwarna pink muda. Segar sekali kelihatannya. Di depannya terlihat segelas susu yang belum diminum.
Hanafi mendekat. Sementara Udin langsung masuk kamarnya.
“Uda beli ketan dan goreng, bubur ayam, lontong, juga soto. Kamu mau sarapan apa?” Hanafi meletakkan kantong-kantong berisi sarapan itu di atas meja. Arini sedikit kaget mendengar suaminya itu membeli begitu banyak macam sarapan.
“Aku nggak tahu kamu lagi pengen makan apa. Makanya aku beli aja semua yang ada di bofet Mangkuto itu tadi.” Hanafi seperti bisa membaca pikiran Arini.
“Aku nggak ingin makan apa-apa. Biasanya kalau pagi juga cuma minum susu aja,” Arini menjawab datar tanpa menoleh pada Hanafi.
“Eh, jangan. Kamu harus makannya yang cukup, sekarang kamu nggak makan untuk diri kamu sendiri. Tetapi, juga untuk anak kita yang ada dalam perutmu,” Hanafi tersenyum lembut pada Arini. Mata Arini membulat.
“Anak kita? Nggak salah tuh?” Arini mencibir. Namun dalam hati, Arini berisitigfar, kenapa ia bisa seketus dan sejudes itu ngomongnya? Arini merasa ada yang aneh dengan dirinya.
“Maksudku anak kamu.” Hanafi meralat ucapannya dengan lirih. Laki-laki itu lalu bangkit dan berjalan menuju rak piring di dapur. Etek Pia terlihat sedang merebus kacang ijo. Bau khasnya memenuhi ruang dapur.
“Minta piring empat, Tek.” Hanafi berdiri di samping Etek Pia. Etek Pia meninggalkan kompor dan mengambil empat buah mangkuk serta sendok juga.
“Ini, Nak.”
“Makasih, Tek.”
“Ya. Nak Hanafi mau minum apa?”
“Teh aja, Tek.”
Etek Pia mengangguk. Hanafi kembali ke meja makan. Arini telah menghabiskan susu di depannya. Terlihat perempuan itu bangkit dan melangkah hendak meninggalkan ruang makan.
“Arini, temani Uda sarapan.” Hanafi memanggil namanya. Arini menghentikan langkahnya dan berbalik. Hanafi terlihat sedang menatap ke arahnya dengan tatapan menghiba. Arini meneguk ludahnya. Andai laki-laki ini tidak jahat padanya, ia akan melakukan apapun untuknya.
“Ya, aku manggil temanku dulu bentar,” suara Arini masih sama, datar dan dingin. Lagi-lagi dalam hati perempuan ini bertanya-tanya, kok bisa ya dia bersikap dan bicara seperti ini. Ia seperti tidak mengenali dirinya sendiri.
Hanafi hanya bisa mengangguk lemah. Dia bisa apa sekarang? Masih tidak diusir saja dari rumah ini sudah Alhamdulillah rasanya.
Arini mengetuk kamar tamu. Terdengar sahutan dari dalam menyuruh Arini masuk. Arini membuka gagang pintu dan berdiri di pintu kamar. Terlihat Sandra baru saja merapikan alas kasur. Dokter cantik itu telah rapi dengan kulot dan tuniknya. Arini mengajak Sandra untuk sarapan. Setelah memakai hijabnya, Sandra mengikuti langkah Arini menuju ruang makan. Mata Sandra langsung menangkap sosok Hanafi. Dalam hati perempuan ini langsung menebak kalau laki-laki itu adalah suami Arini.
“Uda Hanafi?” Sandra menegur Hanafi begitu sampai di meja makan. Hanafi mengangkat wajahnya dan sedikit heran mendengar perempuan cantik itu memanggil namanya.
“Ya?” Hanafi menjawab bingung.
“Saya Sandra, temannya Arini dari Jogja,” Sandra mengulurkan tangan pada Hanafi. Tetapi, Hanafi menangkupkan tangannya ke dada.
“Oh, iya. Salam kenal,” Hanafi membalas sikap Sandra dengan sopan. Jogja. Hanafi merapalkan nama kota itu dalam hati. Ternyata selama enam bulan ini istrinya itu berada di Jogja.
“Ayo, silakan sarapan,” Hanafi menata sarapan yang telah dipindahkannya ke beberapa mangkuk. Arini menyipitkan mata. Laki-laki ini menyalin semua sarapan yang dibelinya ke piring? Mendadak Arini serasa tidak mengenali suaminya. Bukan laki-laki seperti ini yang ditinggalkannya enam bulan yang lalu.
“Kamu mau sarapan apa?” Hanafi kembali bertanya pada Arini begitu Arini duduk di depannya.
“Nggak ada,” Arini kembali menjawab seperti tadi. Padahal diam-diam perempuan itu menelan ludahnya melihat ketan dan goreng di depannya. Menu yang tidak pernah didapatkannya di Jogja.
“Aku mau ini, ya.” Sandra menunjuk soto di depannya.
“Silakan, Mbak.” Arini menjawab dengan ramah. Sementara Hanafi hanya bisa menelan ludah. Sikap Arini begitu jauh berbeda jika sedang dengannya. Padahal dulu perempuan ini begitu lembut, perhatian, dan santun padanya.
Akhirnya Hanafi mengambil mangkuk lontong dan mulai memakan sarapannya. Mereka makan dalam diam. Sandra yang merasa pasangan suami istri ini sedang perang dingin juga bingung mau bicara apa. Tidak lama Hanafi menyelesaikan makannya. Laki-laki itu bangkit dan pamit pada Arini dan Sandra untuk ke kamar. Sandra menjawab dengan ramah, sementara Arini hanya diam.
Begitu Hanafi masuk ke dalam kamar, Arini mengambil ketan dan goreng di depannya. Setelah mencuci tangan di kobokan, perempuan hamil itu mulai makan dengan tergesa. Sandra senyum-senyum melihatnya.
“Arini, Uda tunggu …” ucapan Hanafi terhenti begitu melihat istrinya itu tengah makan ketan dan goreng dengan lahapnya. Bibir laki-laki itu tertarik ke samping. Matanya berbinar. Hatinya begitu bahagia. Arini akhirnya mau makan juga sarapan yang dibelikannya. Hanafi memang ingin membayar masa-masa ngidam istrinya yang tidak dibersamainya.
Sementara Arini langsung menyudahi sarapannya. Wajahnya terlihat merah merona. Ia seperti maling yang sedang tertangkap basah. Di sampingnya, Sandra hampir ngikik menahan tawa. Tapi sebisa mungkin dokter cantik itu menahan diri agar tidak membuat Arini semakin merasa malu lagi.
“Uda tunggu di kamar, ya.” Hanafi tiba-tiba telah berdiri di samping Arini.
Arini lagi-lagi tidak menjawab. Hanafi pun kembali berbalik dan berjalan menuju kamarnya. Sepanjang jalan tidak henti laki-laki itu tersenyum. Besok ia akan beli sarapan yang lebih banyak lagi, tekadnya dalam hati.
Arini masuk ke kamar setengah jam setelah Hanafi mengatakan menunggunya di kamar.
Terlihat Hanafi telah rapi dengan celana berwarna abu-abu tua dan kemeja berwarna biru muda. Gagah sekali. Arini tidak dapat membohongi dirinya.
Hanafi menatap Arini yang sedang berjalan menuju tempat tidur.
“Duduklah.” Hanafi duduk di kasur dan menepuk kasur di sebelahnya. Kali ini Arini menurut.
“Aku tahu kamu masih marah. Entah kapan kamu akan bisa memaafkanku. Tetapi, aku minta tolong, ikutlah denganku ke rumah sakit pagi ini. Umi telah sadar malam tadi. Dan aku yakin itu karena kehadiranmu, menantu kesayangannya.” Hanafi berhenti sejenak. Ada yang terasa hangat di dada Arini begitu mendengar kata menantu kesayangan.
“Umi sangat ingin bertemu denganmu dan bertemu dengan …” Hanafi menoleh dan menatap Arini dengan ragu.
“Umi ingin bertemu dengan calon cucunya.” Hanafi berujar dengan lirih.
“Belum tentu juga ini cucunya.” Arini kembali berkata dengan ketus. Hanafi memejamkan mata mencoba iklas menerima sikap istrinya ini.
“Aku mohon, lupakan sejenak kemarahanmu padaku. Lupakan sejenak kebencianmu padaku. Demi kesembuhan Umi. Ikutlah denganku ke rumah sakit.” Hanafi tiba-tiba telah berjongkok di depan Arini. Diambilnya tangan istrinya itu, namun sebelum laki-laki itu sempat menggenggamnya, Arini telah menepiskannya dengan kasar.
“Baiklah, aku akan melakukannya. Dan ini semua demi Umi Halimah.” Arini berkata dengan tegas.
“Terima kasih … terima kasih … Aku berhutang banyak padamu.” Hanafi lagi-lagi mengambil jemari tangan Arini dan menciumnya berulang kali. Meski Arini menarik tangannya sekuat tenaga, tetapi Hanafi lebih kuat lagi menahannya.
Hanafi melapaskan pegangan tangannya, mata laki-laki itu tertuju pada perut Arini yang tepat berada di depannya. Hanafi bisa melihat perut istrinya itu bergerak-gerak. Ya, Tuhan, anaknya sedang menyapanya. Anaknya merasakan kehadirannya. Dada laki-laki itu bergetar. Matanya mendadak terasa panas.Tangan Hanafi terulur untuk menyentuh perut Arini. Tetapi, sebelum tangan laki-laki itu berhasil menyentuh perutnya, Arini telah berdiri.
“Ayolah, nanti aku mau mengajak Dokter Sandra jalan-jalan.” Arini melangkah meninggalkan Hanafi yang masih berjongkok depan ranjang. Tangan dokter muda itu menggantung di udara.
Meski rasanya sakit melihat Arini mengabaikannya, namun Hanafi mencoba bersabar. Bukankah ini yang pernah dilakukannya dulu pada istrinya itu? Dan apa yang dilakukan istrinya sekarang belum seberapa dibanding yang pernah dilakukannya dulu.
**********
Arini berangkat ke rumah sakit berdua dengan Hanafi. Sandra katanya sudah janji akan dijemput Adrian. Di perjalanan keduanya hanya diam dengan pikiran masing-masing. Hanafi berulang kali melirik kepada Arini, tetapi Arini pura-pura tidak tahu. Entahlah, kenapa begitu sulit hatinya menerima kehadiran laki-laki ini kembali. Begitu sulit membalas sikap baiknya. Padahal ia bukanlah perempuan pendendam.
Hanafi sebenarnya ingin bicara banyak, namun laki-laki itu takut istrinya itu akan jutek dan ketus lagi padanya. Begitu banyak pertanyaan yang berkelebat di kepala Hanafi. Apa saja yang telah dialami oleh Arini selama enam bulan lebih meninggalkan kota ini. Bagaimana ia menghadapi hari-harinya selama berada di kota tempat ia menimba ilmu itu. Bagaimana masa-masa awal kehamilannya, apa yang diinginkan bayi mereka, apakah istrinya ini mual dan muntah juga seperti kebanyakan perempuan hamil lainnya?
Tetapi, semua tanya itu hanya menggayut di hati dan pikiran Hanafi. Laki-laki itu tidak berani mengungkapkannya pada sang istri. Sebab istrinya yang sekarang bukan lagi perempuan yang enam bulan lalu dikenalnya. Yang penuh kelembutan, yang menerima semua perlakuannya dengan penuh kesabaran, yang tidak pandai berkata ketus apalagi kasar. Hanafi bergidik sendiri membayangkan jawaban-jawaban yang akan diterimanya jika akan menanyakan sesuatu pada perempuan di sampingnya ini.
Mobil memasuki halaman rumah sakit. Hanafi memarkirkan mobil di tempat parkir khusus dokter. Setelah itu, ia bergegas turun untuk membukakan pintu Arini. Tetapi, sebelum laki-laki itu memegang pintu mobil, Arini telah membuka pintu mobil dari dalam dan turun tanpa melihat pada Hanafi. Lagi-lagi Hanafi hanya bisa menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Beriringan mereka memasuki rumah sakit dan menuju ke ruangan ICU. Mereka berjalan tanpa bicara. Arini terlihat selalu menjaga jarak dengan suaminya itu.
Sebelum memasuki ruang ICU, Hanafi menahan langkah Arini.
“Boleh aku minta satu hal lagi?” Hanafi menatap Arini lekat. Arini hanya diam menunggu.
“Di dekat Umi, maukah kamu bersikap baik padaku? Rasa bahagia yang dirasakan Umi akan berdampak baik pada kesehatannya.” Untuk kesekian kalinya dokter muda itu menatap Arini dengan tatapan memohon. Lagi-lagi Arini diam tak menjawab. Perempuan itu lalu kembali melanjutkan langkah masuk ke ruang ICU. Hanafi mengikuti dari belakang.
Berdua mereka sampai di ranjang Umi Halimah.
“Arini …” Umi Halimah menyebut nama Arini dengan suara bergetar. Perempuan paruh baya itu mengulurkan tangannya dengan mata yang mulai terlihat basah. Arini menerima uluran tangan mertuanya. Mata perempuan hamil ini juga mulai basah.
“Etek …” Halimah mencium lembut tangan mertuanya.
“Kamu sehat?”
“Alhamdulillah, sehat, Tek.”
“Sudah berapa bulan? Dia juga sehat, kan?”
“Alhamdulillah, sehat, Tek.”
“Syukurlah.” Umi Halimah mengusap perut Arini lembut. Arini merasakan dadanya sesak oleh rasa haru dan bahagia.
“Hanafi, kemarilah.” Umi Halimah mengulurkan tangannya pada Hanafi. Hanafi mendekat dan memegang tangan uminya.
“Ya, Umi.”
“Mulai sekarang, jagalah istrimu baik-baik. Urus segala keperluan dan kebutuhannya. Karena sekarang ia tidak sendirian lagi. Ada anak kalian yang sedang dikandungnya. Keselamatan dan kebahagiaan mereka berdua adalah tanggung jawabmu.” Umi Halimah berkata dengan suara lemah, dada mertua Arini itu terlihat naik turun. Napasnya juga terlihat sesak.
“Ya, Umi. Aku janji akan menjaga mereka berdua dengan seluruh jiwa dan ragaku. Saat ini kebahagiaan mereka adalah tujuan hidupku.” Hanafi berkata dengan penuh keyakinan seraya memeluk pundak Arini dari samping. Lalu tangan kiri laki-laki itu tiba-tiba mengusap perut Arini dengan berani. Tubuh Arini langsung menegang menerima sentuhan-sentuhan dari Hanafi. Laki-laki ini benar-benar mencari kesempatan dalam kesempitan, Arini merutuk dalam hati.
Sementara Hanafi merasakan sensasi yang luar biasa ketika perut istrinya itu terasa bergerak-gerak. Anaknya kembali menyapanya. Untuk pertama kali laki-laki ini melakukan kontak dengan anaknya. Matanya langsung terasa panas. Dadanya penuh oleh rasa takjud dan bahagia. Dalam hati, dokter muda ini bertekad akan mendapatkan cinta istrinya kembali. Ia tidak akan menyia-nyiakan lagi waktu bersama perempuan ini. Apapun akan dilakukannya untuk mengembalikan Arininya yang dulu.
Etek Halimah tersenyum dengan rasa bahagia. Mata tua perempuan itu kini benar-benar telah basah oleh air mata.
End
Mohon maaf, cerbung “Bias Rindu” uni selesaikan di episode 19. Kelanjutannya dapat dibaca di versi novel, ya. Mungkin keputusan uni ini mengecewakan banyak pihak, tetapi uni mohon pengertiannya.
Perjuangan berat Hanafi untuk mendapatkan Arini kembali memang lebih banyak di novel. Harapan uni hanya satu, pembaca “Bias Rindu” yang di KBM merasa puas dan pembaca “Bias Rindu” yang di novel nanti juga merasa puas.
Terima kasih atas semua apresiasi teman-teman dan sahabat-sahabat yang telah mengikuti cerita ini. Tanpa pembaca, tentu uni bukan apa-apa. Mohon maaf, jika selama kita berinteraksi di cerbung ini, ada kata-kata uni yang tidak berkenan di hati.
Sampai jumpa di cerbung berikutnya. Love you all, pembaca setia Arini.

BIAS RINDU - EPISODE 18

#BIAS_RINDU

#EPISODE_18


Arini menjalani hari-hari yang cukup berat. Ia harus menjalani kehamilan tanpa didampingi suami. Tetapi, memasuki trimester kedua, kondisi tubuhnya mulai membaik. Arini tidak lagi merasakan mual dan muntah. Nafsu makannya juga meningkat. Dona dan Sandra menjadi sahabat yang paling banyak membantu Arini. Mereka berdua selalu ada jika Arini membutuhkan bantuan.

Adrian pun begitu. Dokter muda itu selalu datang setiap bulan hanya untuk menemani Arini kontrol ke dokter kandungan. Tetapi, mereka tidak pernah pergi berdua saja. Dona dan Sandra selalu ikut menemani.

Kehadiran Adrian, Dona dan Sandra cukup mengobati nestapa di hati Arini. Namun, jika malam tiba, ketika ia merabahkan tubuhnya di pembaringan, kesedihan itu selalu saja menghampiri. Apalagi sejak janin di dalam perutnya mulai bergerak, sekedar memberi tahu jika ia ada di sana, Arini tidak dapat menahan air matanya. Meski perempuan cantik ini tahu, wanita yang sedang hamil harus menjaga psikologisnya dari perasaan-perasaan yang tidak baik. Seperti kesedihan, emosi yang berlebihan, kecemasan, dan pikiran-pikiran negatif.

Namun, sekuat apapun Arini menahan kesedihannya, sekuat itu juga air mata jatuh membasahi pipinya. Dengan pipi yang basah, Arini mengelus perutnya yang sudah mulai membesar. Lirih ia bercerita pada bayinya tentang ranah Minang, tentang sang kakek yang telah tiada, tentang ayah Hanafi yang belum mengetahui kehadiran calon bayi mereka. Lelah bercerita tentang banyak hal pada si buah hati, Arini akan menghidupkan murotal Muzamil. Dan Arini akan tertidur diringi lantunan ayat-ayat suci Alquran.

Arini baru saja selesai salat tahajud ketika sebuah pesan masuk ke ponselnya. Arini bangkit dari atas sajadah dan menjangkau benda pipih itu dari atas meja belajarnya. SMS dari Etek Pia. Kening Arini berkerut. Ada apa gerangan. Selama ini, hanya Arini lah yang menghubungi Etek Pia. Dengan dada berdebar, Arini membuka pesan dari eteknya itu.

“Etek Halimah masuk ICU. Kondisinya memprihatinkan. Jika memungkinkan, pulanglah, Nak.”

Arini tercekat. Berita yang baru didengarnya benar-benar membuat perempuan berhati lembut ini merasa sesak. Etek Halimah telah dianggapnya sebagai pengganti ibunya. Pesan dari Etek Pia benar-benar membuat Arini cemas.

Pulang? Ya Allah, sudah siap kah ia menjejakkan kaki di kampung halamannya? Sudah siapkah ia bertemu dengan Hanafi? Dalam kondisi seperti ini?

Apa yang akan dipikirkan laki-laki itu nanti jika bertemu dengannya dalam keadaan perut buncit seperti ini? Akankah laki-laki itu percaya bahwa hubungan yang mereka lakukan satu kali itu akhirnya membuahkan hasil? Bagaimana jika Hanafi tidak mempercayainya dan menolak mengakui janin yang ada di perutnya sebagai anak?

Tetapi, mengabaikan begitu saja pesan dari Etek Pia rasanya membuat Arini menjadi seorang anak yang durhaka. Walau bagaimanapun, Etek Halimah adalah mertuanya. Dan mertua yang dipelajarinya dalam kajian-kajian fiqih wanita, sama dengan ibu kandung kita. Amat berdosa rasanya andai ia tidak datang untuk menjenguk. Bagaimana jika ini adalah kesempatan terakhirnya untuk bertemu sang ibu mertua?

Dalam kegalauannya, akhirnya Arini memesan tiket juga melalui aplikasi di ponselnya. Baiklah, ia akan pulang. Apapun yang akan dialaminya nanti di Bukit Tinggi, Arini telah siap.

Setelah salat subuh, Arini mengetuk kamar Dona. Dona membuka pintu kamarnya masih dengan memakai mukena.

“Don, aku mau pulang ke Bukit Tinggi.”

“Pulang? Kenapa? Kenapa begitu mendadak?”

“Mertua aku sakit Dona. Aku ingin melihatnya.”

“Oh, baiklah. Tetapi, apa dalam kondisi hamil seperti ini kamu bisa naik pesawat?”

“Ya ampun, aku lupa, Don. Aku hubungi dokter Sandra bentar, ya.”

Arini berbalik kembali ke kamarnya. Dona mengikuti dari belakang. Sesampai di kamarnya, Arini mengambil ponsel dan segera menelepon dokter Sandra. Hanya satu kali panggilan, dokter cantik itu sudah bicara di ujung telepon. Ada nada khawatir di suaranya. Mungkin Sandra mengira terjadi sesuatu pada Arini karena menelepon di waktu subuh begini.

Setelah Arini menceritakan tentang ibu mertuanya, barulah Sandra menarik napas lega. Sandra mengatakan akan menemani Arini pulang ke Bukit Tinggi. Arini mencoba menolaknya karena tidak ingin merepotkan sahabatnya itu. Tetapi, Sandra tetap bersikeras dan langsung memesan tiket juga dengan jam yang sama dengan Arini. Arini merasa amat terharu dengan kebaikan dan perhatian Sandra. Sandra tidak ingin terjadi sesuatu dengan Arini jika pulang seorang diri.

Dona merasa lega karena Arini pulang ditemani oleh seorang dokter. Tentu sahabatnya ini tidak akan mendapat masalah jika nanti naik ke pesawat, karena didampingi langsung oleh dokter.

**

Arini dan Sandra sampai di Bukit Tinggi sebelum waktu asyar. Dada Arini terasa membuncah begitu menjejakkan kaki ke rumahnya. Etek Pia menyambutnya dengan pelukan hangat. Air mata wanita paruh baya itu mengalir deras melihat kondisi Arini dengan perut buncitnya. Etek Pia membantu Arini dan Sandra memasukkan koper-kopernya ke dalam kamar. Arini ke kamar pinkinya dan Sandra ke kamar tamu.

Meski tidak ada yang menempati kedua kamar itu, Etek Pia selalu rutin membersihkan kamar-kamar itu setiap minggu. Selalu membuka jendela-jendelannya setiap pagi agar udara segar dan cahaya matahari masuk. Arini dan Sandra sepakat untuk beristirahat dulu sebelum pergi ke rumah sakit.

Etek Pia mulai sibuk di dapur. Perempuan yang telah dianggap Arini sebagai ibunya itu, mengambil nangka di halaman belakang. Ia akan masak pangek cubadak (gulai nangka) untuk kedua tamunya. Goreng belut, dadar telur dan sambel teri telah terhidang di meja makan.

Sebelum magrib, Arini dan Sandra ke luar dari kamar. Mereka telah mandi dan berganti pakaian. Etek Pia mempersilakan keduanya untuk makan. Arini tentu tidak menolak. Perutnya telah berbunyi sejak asyar tadi. Cuma karena lelah, ia lebih memilih tidur di kamar.

Melihat hidangan di atas meja makan, Arini meneguk ludah. Semua yang terhidang adalah makanan kesukaannya. Baru saja mereka duduk di kursi meja makan, terdengar ucapan salam dari depan. Arini bangkit kembali dan berjalan menuju pintu depan.

“Uda Dokter?” mata Arini berbinar melihat siapa yang sedang berdiri di hadapannya.

“Assalammualaikum.” Adrian kembali mengucapkan salam.

“Waalaikumsalam. Ayo masuk, Da.” Arini melebarkan daun pintu.

“Makasih.” Adrian mengikuti langkah Arini dari belakang.

“Tau dari mana kalau kami pulang?”

“Dokter Sandra kirim pesan barusan.”

“Oh. Aku kira Uda punya ilmu terawang sekarang.”

“Kamu kelihatan ceria dan bahagia pulang ke rumah.”

“Iya, Da. Udah rindu dengan rumah.” Arini tertawa. Mereka berdua sampai di ruang makan.

“Hai, Uda Dokter, baru aja dikirim pesan, udah langsung nyampai aja.” Sandra berdiri menyambut kedatangan Adrian.

“Iya, kebetulan lagi nggak jauh dari sini.” Adrian tersenyum dengan wajah yang terasa panas.

“Ayo, kita makan sama-sama.” Arini mempersilakan Adrian dan Sandra untuk makan. Sandra dan Adrian duduk di hadapan Arini. Lalu detik berikutnya mereka telah terlihat lahap menyantap hidangan di depan mereka.

Etek Pia datang membawakan pepaya dan semangka yang telah dikupas.

“Nggak makan sekalian Tek?” Arini menahan langkah Etek Pia yang sudah akan berlalu.

“Nanti aja sekalian sama Udin.”

“Udin kok nggak kelihatan, Tek?”

“Lagi mandi kayaknya, tadi habis asyar juga tertidur.”

“Oh.” Arini mengangguk dan melanjutkan makannya kembali. Etek Pia berlalu ke belakang.

“Masakannya enak, ya, Da?” Sandra menoleh pada Adrian.

“Iya, kamu bakalan betah kalau di sini. Karena masakannya benar-benar mengundang selera.”

“Sekalian pindah saja ke sini, Mbak.” Arini berkata dengan penuh semangat pada Sandra.

“Nanti kalau dapat jodoh orang sini, aku pasti pindah ke sini.” Sandra tertawa kecil pada Arini.

“Lha bukannya calon jodoh Mbak memang orang sini?”

“Eh, iya. Tapi sebelum ijab kabul, segala kemungkinan bisa saja terjadi, Arini.” Sandra tergagap karena keceplosan bicara.

“Rugi besar jika Uda Adrian tidak membawa Mbak sampai ke ijab kabul,” Arini mengerling pada Adrian.

Sandra terbatuk mendengar ucapan Arini. Adrian mengulurkan gelas berisi air putih pada gadis cantik itu. Sandra menerimanya dengan dada terenyuh. Meski Sandra tahu jika dokter ganteng itu tidak memiliki perasaan apa-apa padanya, tetapi perhatian-perhatian kecil dari laki-laki itu selalu mampu menghadirkan desiran-desiran halus di dadanya.

Setelah makan, Arini, Adrian dan Sandra duduk di ruang tamu. Adrian akan mengantar mereka ke rumah sakit setelah salat magrib. Membayangkan akan ke rumah sakit menjumapi ibu mertuanya, dada Arini berdebar tak menentu. Kemungkinan  akan bertemu dengan Hanafi tentu sangat besar. Ada rasa cemas, takut, benci, rindu. Semua terasa campur aduk di hati Arini.

Tidak berapa lama azan magrib pun berkumandang. Mereka bangkit bersamaan.

“Aku salat di masjid, ya.” Adrian pamit pada Arini dan Sandra.

“Ya, Da.” Arini dan Sandra menjawab bersamaan. Sementara dari arah belakang terlihat Udin sedang berjalan menuju mereka.

“Udin, apa kabar?” Arini menatap Udin dengan mata yang tiba-tiba terasa kabur.

“Uni, Alhamdulillah. Udin baik, Ni.” Udin mengangguk dan menangkupkan tangannya ke dada karena ia telah mengambil wudu.

“Mau ke masjid? Sekalian sama Uda Adrian, ya.” Arini mengantarkan Udin sampai ke pintu depan.

“Ya, Ni.” Udin mengangguk. Adrian yang mendengar ucapan Arini menghentikan langkahnya dan menunggu Udin di halaman.

Arini dan Sandra pun bergegas masuk kamar untuk berwudu. Setelah itu mereka berdua salat berjamaah di ruang salat. Etek Pia ikutan salat di belakang Arini.

****

Setelah selesai melaksanakan salat magrib, Arini pamit pada Etek Pia untuk ke rumah sakit. Bertiga dengan Adrian dan Sandra, Arini menuju rumah sakit tempat mertuanya dirawat. Sepanjang jalan Arini berusaha menenangkan debaran di dadanya. Namun dalam hati perempuan yang mengenakan baju hamil berwarna marun itu tidak henti berdoa semoga ia tidak bertemu dengan Hanafi malam ini. Rasanya ia belum siap bertjumpa dengan suaminya itu.

Suami? Ah, sebenarnya Arini juga tidak tahu, apakah Hanafi masih suaminya atau tidak. Apakah laki-laki itu telah menceraikannya seperti tantangan Arini sebelum pergi beberapa bulan lalu?

“Kamu tenang saja, beberapa hari ini aku lihat sejak Etek Halimah dirawat, Hanafi selalu pulang setelah magrib. Ia kembali lagi ke rumah sakit menjelang malam. Adiknya yang menungguin uminya pada jam-jam seperti ini.” Adrian mencoba menenangkan Arini yang terlihat amat resah di kursi belakang.

“Eh, iya, Da. Aku nggak apa-apa kok.” Arini mencoba tersenyum. Dalam hati perempuan hamil ini mengucapkan Alhamdulillah, semoga ucapan Adrian benar adanya. Sehingga ia tidak perlu bertemu Hanafi malam ini.

Sementara Sandra tidak melepaskan pandangannya dari Kota Bukit Tinggi yang mereka lewati. Lampu-lampu yang terlihat nun jauh di kaki gunung, menambah keindahan kota ini di malam hari. Dan sebelum mobil berbelok memasuki halaman rumah sakit, mata Sandra bisa menangkap jam gadang yang berdiri kokoh di kejauhan. Benar kata Adrian, sepertinya ia bakalan betah tinggal di kota ini. Apalagi hawanya yang sejuk membuat tubuh terasa nyaman.

Mobil berhenti di parkiran. Adrian ke luar diikuti oleh Sandra. Sementara Arini masih duduk di dalam. Untuk kesekian kali, perempuan yang terlihat makin gemuk itu mengucapkan basmallah. Semua ia lakukan tidak lain hanya untuk menenangkan diri. jujur, sebenarnya ia belum siap kembali ke sini. Terlalu banyak kenangan pahit di rumah sakit ini yang pernah dialaminya.

“Ayo!” tiba-tiba Adrian telah membukakan pintu mobil dan berdiri bersisian dengan Sandra. Arini menarik napas panjang, lalu turun dengan pelan. Sandra bisa melihat wajah Arini yang tidak tenang. Sandra mendekat dan merengkuh pundak perempuan yang telah dianggapnya sebagai adik itu.

“Fokus saja dengan niatmu, yakni ingin melihat ibu mertua kan?” Sandra memeluk pundak Arini. Bertiga mereka jalan beriringan memasuki rumah sakit.

“Ya, Mbak.” Arini mengangguk.

Setelah itu mereka berjalan dalam diam menuju ruang ICU. Arini kembali ingat masa-masa ia menunggui ayahnya di ruangan tempat pasien-pasien kritis itu. Tiba-tiba Arini merasa sedih mengingat laki-laki yang paling berjasa dalam hidupnya itu. Tidak pernah ia sangka jika ayahnya akan pergi di usia yang masih tergolong muda. Tapi begitulah takdir. Tidak ada yang tau kapan ia akan menjemput kita.

Mereka sampai di depan ruangan ICU. Adrian meminta Arini dan Sandra untuk menunggu di luar. Adrian masuk ke dalam dan berbicara dengan perawat yang sedang bertugas. Arini mengedarkan pandangan. Alhamdulillah, perempuan berwajah bening itu menarik napas lega. Tidak terlihat Hanafi, Annisa maupun Harun di ruang tunggu.

“Masuklah, Etek Halimah di bed nomor tiga. Kami tunggu di sini.” Adrian berucap setelah ke luar dari ruang ICU.

“Ya, Da. Makasih, ya.” Arini tersenyum tulus pada Adrian.

“Ya, nanti ajak Etek Halimah bicara. Siapa tahu dia sedang merindukan kehadiranmu.” Adrian berpesan pada Arini.

“Baik, Da.” Arini mengangguk paham, lalu bergegas masuk ke ruangan ICU. Sandra dan Adrian mengambil tempat duduk di ruang tunggu.

Pelan Arini mendekati bed nomor tiga. Perawat yang tadi ditemui oleh Adrian mengantarkan Arini sampai ke ranjang Etek Halimah berbaring.

“Jangan lama-lama, ya, Ni,” si perawat berpesan pada Arini.

“Ya, sepuluh menit saja.” Arini mengangguk pada perawat muda itu. Setelah perawat berlalu, Arini duduk di kursi di samping ranjang sang mertua. Berbagai macam selang terlihat terpasang di tubuh perempuan paruh baya itu. Wajahnya tiba-tiba terlihat lebih tua beberapa tahun. Mata Arini terasa panas.

Diambilnya tangan mertuanya yang tidak terpasang infus. Digenggamnya dengan erat. Lalu dengan lembut Arini mencium tangan yang sudah mulai terlihat keriput itu.

“Etek, maafkan Arini.” Arini terisak. Ia merasa bersalah telah pergi meninggalkan mertuanya yang sangat baik ini. Arini yakin, sakit mertuanya ini tentu ada hubungannya juga dengan kepergiannya.

“Etek, Arini sedang mengandung cucu Etek. Di perut Arini sekarang ada Hanafi kecil. Kelak jika ia lahir, Arini akan membawanya menemui Etek, dan mengatakan kalau Etek adalah Nenek yang harus disayangi dan dicintainya.” Arini berkata di sela isak tangisnya. Perempuan yang pipinya telah basah oleh air mata itu mendekatkan perutnya pada sang mertua. Lalu dieluskannya tangan mertuanya itu ke perutnya.

Janin di perut Arini tiba-tiba bergerak dengan aktif. Arini tersenyum.

“Etek lihat, dia mengenali Neneknya. Ayo bangun, Tek. Katakan pada cucu Etek kalau Etek menanti kehadirannya.”

Kali ini Arini sesugukan. Dilihatnya etek Halimah tidak merespon ucapannya sedikitpun. Dadanya terasa makin sesak. Rasa bersalah lagi-lagi memenuhi ruang dadanya melihat kondisi sang mertua.

Setelah beristigfar beberapa kali, Arini pun menjadi sedikit lebih tenang. Dihapusnya air matanya dengan ujung jilbabnya.

“Etek, cepat sembuh, ya. Arini menyayangi Etek. Arini pamit pulang, ya, Tek,” Arini mencium tangan mertuanya kembali. Setelah merasa cukup mengungkapkan isi hatinya, perempuan itu pun bangkit. Tubuhnya tiba-tiba terasa amat lemah. Ruang ICU buat Arini adalah tempat di mana manusia seperti telah kehilangan harapan. Seperti yang pernah dialami oleh ayahnya beberapa waktu lalu.

“Makasih, ya,” Arini tersenyum dan mengangguk pada perawat di meja piket ruang ICU.

“Ya, Uni,” ketiga perawat yang duduk di sana membalas senyum Arini dengan ramah. Arini membuka pintu dengan tangan gemetar. Ia benar-benar merasa kehilangan tenaga.

Baru saja ia akan melangkah ke luar, tubuhnya tiba-tiba terasa kaku. Di depannya, hanya berjarak beberapa langkah, laki-laki itu tengah berjalan menuju tempat ia berdiri. Dalam hitungan detik mata keduanya bertemu.

Hanafi berdiri tepat di hadapan Arini. Tatapan laki-laki itu memancarkan sesuatu yang membuat dada Arini berdesir hebat. Namun, ketika mata suaminya itu turun ke perut Arini, tiba-tiba tatapan penuh bias kerinduan itu berubah menjadi kilatan luka dan amarah. Arini bergidik melihatnya.

“Siapa Ayahnya?” suara Hanafi terdengar amat dingin dan tajam. Arini terhuyung ke belakang. Ucapan laki-laki di depannya seperti godam yang menghantam dadanya.

“Siapa yang telah melakukannya?” Hanafi hampir berteriak karena merasa putus asa.

Adrian dan Sandra berlari mendekati Arini. Sandra langsung memeluk tubuh Arini yang terlihat limbung.

“Bawa Arini ke mobil.” Adrian berucap tegas pada Sandra. Sandra menuntun Arini yang terlihat amat pucat. Pipi mulusnya telah basah oleh air mata. Sandra sungguh tidak tega melihatnya.

Hanafi ingin mengejar Arini, ingin meminta kejelasan, tetapi Adrian menahan langkahnya.

“Tinggalkan Arini jika kamu merasa dia bukan perempuan baik-baik!” Adrian menatap Hanafi dengan mata berkilat-kilat penuh amarah.

“Jadi kamu yang telah menghamilinya?” Hanafi membalas ucapan Adrian dengan tidak kalah pedasnya. Reflek tangan Adrian melayang dan hinggap di pipi dokter penyakit dalam itu. Hanafi mengangkat tangannya untuk membalas. Tetapi Adrian menahan tangan Hanafi di udara.

“Masihkah kamu pantas disebut seorang suami, sementara dengan istrinya sendiri tidak kenal? Kamu tau, jangankan untuk berbuat maksiat, berjabat tangan saja dengan laki-laki yang bukan maharomnya, istrimu itu tidak pernah bersedia. Aku pastikan, kamu akan menyesal telah menghina perempuan baik-baik seperti Arini.” Adrian berkata dengan penuh amarah. Lalu dihempaskannya tangan Hanafi yang masih berada dalam cengkraman tangannya. Dada Hanafi bergemuruh mendengar semua ucapan Adrian. Apakah ia telah melakukan kesalahan lagi? Apakah itu artinya janin di perut Arini adalah anaknya?

Sebelum berbalik meninggalkan Hanafi, Adrian menuding dada suami Arini itu seraya berkata, “Nanti kamu temui dokter kandungan jika ilmumu belum sampai untuk menghitung umur janin yang ada di perut istrimu. Umur calon bayinya sekarang 25 minggu. Silakan kamu cocokkan dengan masa kamu menyentuhnya, jika memang kamu pernah menyentuh istrimu.” Adrian berkata dengan sinis lalu segera berbalik meninggalkan Hanafi yang hanya berdiri mematung.

Hanafi meninju dinding ruang ICU dengan sekuat tenaga. Laki-laki itu ingin berteriak melepaskan segala sakit yang menghantam dadanya. Semua begitu tiba-tiba. Semua begitu mendadak. Ia tidak pernah menyangka istrinya akan pulang. Ia tidak pernah mengira mereka akan bertemu di sini, dalam keadaan seperti ini. Dan tidak pernah terlintas di pikiran Hanafi  jika Arini hamil.

Ia memang laki-laki bodoh, sekian tahun mempelajari ilmu kedokteran, tetapi seperti tidak memiliki ilmu apa-apa tentang dunia medis. Apa yang tidak mungkin dalam dunia kedokteran. Semua atas kehendak yang maha kuasa. Tidak ada teori yang mengatakan bahwa perempuan baru bisa hamil jika telah melakukan hubungan untuk kesekian kalinya. Satu kali saja, jika memang jadi kata Allah, maka pastilah akan jadi.

“Dokter, tidak apa-apa?” seorang perawat ICU telah berdiri di samping Hanafi.

“Oh, tidak. Saya baik-baik saja.” Hanafi mencoba mengendalikan diri. Beberapa keluarga pasien terlihat memperhatikan Hanafi dari ruang tunggu tidak jauh dari tempatnya berdiri. Hanafi melangkah masuk ke ruangan untuk menemui uminya seperti tujuannya tadi datang ke sini.

Bersambung ….😊

BIAS RINDU - EPISODE 17

Judul: “Bias Rindu”
Penulis: Naya R
Terima kasih admin/moderator telah berkenan menyetujui tulisan ini.
Terima kasih pembaca setia Arini.
Arini duduk sendiri di bangku taman Malioboro. Ucapan dokter kandungan benar-benar mengganggu pikirannya.
“Selamat, ya. Usia kandungan Mbak telah memasuki minggu keenam.”
Arini merasa semesta sedang memandang iba padanya. Bagaimana ia akan menjalani kehidupannya selanjutnya? Hamil tanpa sang suami di sampingnya, memiliki anak di tengah pernikahan yang tidak jelas ini. Ah, mengapa hidupnya terasa begitu runyam.
Andai ia menghubungi Hanafi lalu mengatakan jika ia hamil, apa yang akan dikatakan laki-laki itu? Percayakah dia kalau Arini benar-benar hamil meski baru sekali berhubungan? Tetapi, bukankah suaminya itu seorang dokter? Tentu ia lebih tahu tentang hal ini.
Nah, jika Hanafi telah mengetahui, lalu apa yang diharapkan Arini? Mengharapkan laki-laki itu mendampinginya sampai hari melahirkan tiba? Mengharapkan laki-laki itu menerima buah hati mereka? Atau mengharapkan belas kasihani dari laki-laki yang tidak mencintainya itu?
Tidak. Arini tidak akan menjatuhkan harga dirinya lagi di hadapan Hanafi. Arini tidak akan menjadikan janin di perutnya sebagai senjata untuk mendapatkan perhatian laki-laki itu. Ia akan mengurus bayinya seorang diri. Ia akan menjadikan anaknya kelak teman dan sahabat. Tentu amat menyenangkan, karena ia tidak memiliki sanak saudara. Lalu tiba-tiba akan memiliki anak.
Seketika mata Arini berbinar. Pelan dielusnya perutnya yang masih datar. Arini tersenyum.
“Baik-baik di sini, ya, Nak. Kelak kita akan menjalani hari-hari indah dan bahagia berdua.” Arini berbisik pelan pada janinnya.
Senja di Malioboro terlihat makin temaram. Para pejalan kaki masih terlihat ramai di sepanjang emperan toko. Para pedagang makin semangat menawarkan dagangannya. Arini bangkit dan berjalan menuju masjid terdekat. Sebentar lagi azan magrib berkumandang. Ia akan sholat dulu sebelum pulang ke rumah kos.
Tadi Arini izin sama Dona untuk jalan-jalan sebentar menikmati angin sore Kota Jogja. Dona sudah menawarkan diri untuk menemani. Tetapi, Arini mengatakan ingin jalan sendiri. Entahlah, tiba-tiba ia ingin menikmati kesendirian untuk beberapa saat.
*****
Arini baru saja akan menutup pintu ketika matanya menangkap sosok laki-laki gagah di depan pagar rumah. Laki-laki itu baru saja turun dari minibus berwarna silver. Mata Arini menyipit. Dokter Adrian. Tetapi, dokter Adrian tidak sendirian. Di sampingnya telah berdiri seorang wanita cantik. Arini membuka kembali pintu yang sudah setengah tertutup. Arini memperhatikan keduanya melangkah menuju rumah. Adrian terlihat menenteng sebuah kantong kertas yang cukup besar.
“Assalammualaikum.” Dokter Adrian dan wanita cantik itu mengucapkan salam bersamaan.
“Waalaikumsalam.” Arini tersenyum manis. “Silakan masuk.” Arini memberi ruang pada Adrian dan wanita itu.
“Sendirian?” Dona mana?” Adrian masuk diikuti oleh si wanita cantik.
“Dona masih di kampus, Da. Silakan duduk, Da, Mbak.”
“Oh, iya, kenalkan Arini, ini Sandra, teman Uda.” Adrian memeluk pundak Sandra lembut.
Arini mengulurkan tangan, Sandra menyambutnya dengan ramah. Mereka bersalaman dan saling menyebutkan nama. Entah mengapa, tiba-tiba Arini merasa lega melihat sikap mesra Adrian pada Sandra.
“Pacar Uda, ya?” Arini bertanya dengan mata berbinar setelah mereka bertiga sama-sama duduk di ruang tamu.
“Calon istri kalau dia bersedia.” Adrian menjawab dengan tertawa seraya melirik Sandra. Sandra tersenyum.
“Wah, semoga Mbak Sandra bersedia, ya, Uda. Uda kan keren, baik, perhatian. Mbak Sandra insyaallah beruntung jika mendapatkan Uda Adrian.” Arini berkata dengan penuh semangat.
“Ya, kamu bantu dengan doa aja.” Adrian menjawab dengan santai.
“Insyaallah, Da.” Arini mengangguk. “Bentar ya, Da, Mbak, aku tinggal dulu.” Arini pamit ke belakang.
“Ini oleh-oleh dari kampung buat kamu dan Dona.” Adrian menyerahkan kantong yang dibawanya tadi pada Arini.
“Apa ini, Da?” Arini menerimanya seraya menatap kantong yang sudah berpindah ke tangannya.
“Ada rendang, gelamai dan sanjai. Dibuatkan khusus oleh Ibu untuk kamu.” Adrian menjawab seraya mengeluarkan ponselnya.
“Ya Allah, makasih, ya, Da.” Arini meneguk ludahnya. Sudah beberapa hari ini tiba-tiba ia sangat ingin makan rendang yang asli dari kampungnya. Rendang yang dimasak di atas tungku. Dimasak hingga berwarna kehitaman. Rasanya sangat lezat jika dimakan dengan nasi panas.
“Ya, nanti bilang sama Ibu langsung, ya.” Adrian mengedikkan bahunya. Sandra memperhatikan semua sikap Adrian pada Arini dengan hati bingung.
Arini tidak menjawab. Tergesa perempuan muda itu berlalu ke belakang. Adrian menyandarkan punggungnya seraya meluruskan kaki. Perjalanan dari Bukit Tinggi – Padang – Jogja ternyata cukup melelahkan.
Sandra mengedarkan pandangan. Ruang tamu yang sangat sederhana. Isinya hanya selembar karpet dan meja osin dengan alas berwarna merah marun. Sebuah jam di dinding dan dua buah kaligrafi bertulisan nama Allah dan Muhammad.
Tidak berapa lama, Arini ke luar lagi dengan sebuah nampan berisi dua gelas teh hangat. Arini jongkok dan meletakkan ke dua gelas minuman itu di depan Adrian dan Sandra.
“Silakan diminum, Da, Mbak.” Arini mengangguk seraya tersenyum pada Adrian dan Sandra.
“Makasih.” Adrian menjawab seraya langsung mengambil gelas di depannya. Sandra mengikuti Adrian , meraih gelas dan meminumnya beberap teguk.
“Bagaimana kandunganmu?” Adrian tiba-tiba bertanya dan itu membuat Arini kaget.
“Tau dari mana, Da?” Arini menatap Adrian dengan heran.
“Ya, taulah. Masa Adik sendiri hamil nggak tau.”
“Pasti dari Dona, ya?”
“Hhhmmm.”
“Padahal sudah dipesan jangan bilang sama siapa-siapa.”
“Nggak boleh gitu, Arini. Berita baik itu harus dibagi.” tiba-tiba Sandra ikut bicara.
“Eh, iya, Mbak.” Arini menunduk. Entah mengapa tiba-tiba ia merasa sedih. Teringat jika ia hanya seorang diri di negeri orang.
“Ayo kita periksa ke dokter sekarang.” Adrian bersiap untuk bangkit.
“Tetapi, belum jadwalnya, Da. Masih seminggu lagi.” Arini menolak dengan halus.
“Nggak apa. Sandra ini juga dokter. Nanti dia akan bawa kamu ke dokter kandungan terbaik di kota ini. Senior dia dulu.” Adrian melirik Sandra meminta dukungan.
“Benar, Arini. Nanti aku kenalkan sama Dokter Rahmah. Aku sarankan sampai melahirkan kamu dengan dia aja.” Sandra mencoba meyakinkan Arini. Arini menjadi ragu.
Dalam hati Arini menimbang-nimbang, mungkin sekarang ia tidak perlu merasa khawatir lagi dengan dokter muda yang ganteng ini. Toh dia telah memiliki kekasih. Mana kekasihnya cantik lagi. Dan mereka pergi bertiga. Tentu tidak akan menimbulkan fitnah.
“Baiklah. Tapi, boleh nggak kalau aku makan bentar? Aku pengen nyoba rendang yang Uda bawa.” Arini berkata seraya menelan ludahnya yang tiba-tiba terasa encer. Adrian dan Sandra tersenyum mendengar ucapan Arini. Jauh di lubuk hati dokter ganteng itu, ada rasa pilu melihat kondisi Arini seperti ini.
“Makanlah. Bawa ke sini. Kami ingin lihat kamu makan.” tiba-tiba mata Adrian terasa panas.
“Aku makan di belakang aja, Da. Uda dan Mbak Sandra ngobrol aja dulu tentang masa depan di sini.” Arini tersenyum seraya mengedipkan mata pada Adrian dan Sandra. Adrian dan Sandra balas tersenyum. Arini lalu bangkit dengan tergesa. Bayangan nasi panas yang mengepul dengan rendang yang lezat menari-nari di pelupuk matanya.
“Kenapa harus membohonginya?” Sandra menoleh pada Adrian. Adrian terdiam untuk beberapa saat.
“Maafkan telah melibatkanmu.” Adrian berkata gusar pada Sandra.
“Tidak apa, bukankah dari dulu aku selalu melakukan apa yang kamu inginkan?” suara Sandra sedikit sinis.
“Aku hanya ingin dia merasa nyaman denganku, Sandra. Tanpa ada prasangka apa-apa.”
“Dengan menjadikan aku kekasih pura-pura kamu?”
“Hanya dengan begitu ia akan menerima perhatianku. Aku hanya ingin dianggap sebagai kakaknya yang bisa menolongnya kapanpun dia membutuhkan aku.”
“Sebegitu besarnya kamu mencintainya.”
“Kondisinya sedang tidak baik saat ini, Sandra. Dia butuh seseorang yang bisa dipercayainya, dan aku sudah berjanji pada diri sendiri kalau aku tidak akan melampaui batas.”
“Andai aku adalah Arini.”
“Maafkan aku, Sandra.” Adrian menatap Sandra dengan rasa bersalah.
“Tidak apa. Cinta memang penuh misteri.” Sandra mencoba tersenyum. Meski ada yang terasa perih di hatinya. Sudah bertahun-tahun perempuan cantik ini memendam rasa pada teman sejawatnya ini. Sejak mereka masih sama-sama menjadi mahasiswa kedokteran. Sampai sekarang, saat keduanya telah sama-sama menjadi dokter.
Adrian tidak pernah memberi harapan padanya. Akhirnya mereka menjadi sahabat baik. Dan entah mengapa, ia selalu tidak bisa menolak apapun yang dikatakan oleh Adrian. Sebagai dua orang sahabat mereka memang kerab sekali saling membantu.
“Aku sudah selesai makan. Ayo!” tiba-tiba Arini telah berdiri di depan mereka dengan wajah ceria. Adrian dan Sandra mengangkat wajahnya. Mata Adrian tidak bisa menyembunyikan kekagumannya. Arini terlihat makin mempesona. Barangkali karena sedang hamil muda. Gamis berwarna abu-abu muda dengan hijab berwarna kuning lembut. Entah mengapa, apapun yang dipakai perempuan muda ini selalu terlihat cantik di mata Adrian. Sandra bangkit, dengan sudut matanya ia bisa melihat tatapan terpesona Adrian.
“Ayo!” Sandra menggamit lengan Arini. Adrian tadi sempat bercerita sedikit di mobil, jika Arini sedang ada masalah dengan suaminya. Rekan Adrian juga di rumah sakit Bukit Tinggi.
“Ayo, Mbak.” Arini menggandeng tangan Sandra. Arini senang, ia mendapatkan teman lagi di sini.
Mereka ke luar rumah beriringan. Adrian mengikuti dari belakang.
“Kata Uda Adrian kamu sedang ambil program magister. Sudah mulai kuliah?”
“Iya, Mbak. Aku sudah mulai kuliah tiga minggu ini.”
“Oh, syukurlah. Semoga sukses, ya. Terus masih suka pusing dan mual?”
“Masih, Mbak. Kira-kira sampai berapa lama seperti ini, ya, Mbak?”
“Di trimester pertama, biasanya memang begitu. Tetapi, nanti begitu memasuki trimester kedua, biasanya sudah tidak mual dan pusing lagi.”
“Tidak lama lagi berarti.” Arini tersenyum senang.
Mereka sampai di samping mobil Sandra. Adrian membukakan pintu untuk keduanya. Sandra duduk di depan, sementara Arini di belakang. Bertiga mereka menuju ke rumah sakit tempat dokter Rahma praktik.
*****
Sudah empat hari Adrian berada di Jogya. Adrian menginap di salah satu hotel terdekat dengan rumah kontrakan Dona dan Arini.
Selama empat hari berada di Jogja, Adrian melakukan banyak hal untuk Arini. Mereka benar-benar terlihat seperti kakak adik. Arini ternyata benar-benar merasa nyaman sejak mengetahui Adrian telah memiliki kekasih. Arini tidak sungkan lagi mengatakan jika ingin makan sesuatu pada Adrian. Sebaliknya, Adrian dengan senang hati akan mencarikan pesanan Arini.
Setiap malam, mereka berempat pergi makan ke luar. Arini merasa amat senang. Perempuan itu serasa memiliki keluarga. Setelah makan, Arini minta menikmati kota Jogja di malam hari. Mereka berempat duduk di bangku-bangku jalanan Malioboro. Entah mengapa, bumil yang satu ini sangat menyukai suasana Malioboro.
Siang hari, Adrian membersihkan halaman rumah dan membersihkan bagian dalam rumah dibantu Dona. Arini hanya kebagian membuatkan teh hangat. Adrian juga mengantar jemput Dona dan Arini ke kampus. Selama di Jogja, Sandra meminjamkan mobilnya pada Adrian.
Entah terbuat dari apa hati dokter cantik ini. Ia mencintai Adrian, tetapi ia bisa tulus juga pada perempuan yang disukai laki-laki itu. Sandra begitu baik pada Arini. Dan Adrian merasa bahagia melihatnya. Adrian merasa tenang meninggalkan Arini dalam kondisi hamil seperti ini di sini.
Siang nanti Adrian akan kembali ke Bukit Tinggi. Cutinya telah habis. Sebelum ke bandara, Adrian masih menyempatkan diri mengantar Dona dan Arini ke kampus. Kebetulan, kampus Dona mereka lewati pertama. Setelah itu, baru kampus Arini.
Adrian menghentikan mobil di depan gedung pasca Ilmu Gizi. Arini bersiap untuk turun.
“Arini, setelah ini, Uda langsung ke bandara.” Adrian menatap Arini dengan tatapan yang sulit diartikan.
“Ya, Da. Hati-hati.” Arini menjawab pelan. Entah mengapa Arini tiba-tiba merasa sedih. Hatinya benar-benar telah menganggap Adrian sebagai kakaknya.
“Kamu baik-baik, ya, di sini. Jaga kandunganmu. Jika ada apa-apa, jangan sungkan-sungkan menghubungi Dokter Sandra. Uda sudah menitipkan kamu kepada Sandra.”
“Insyaallah, Da. Makasih.” Mata Arini tiba-tiba terasa kabur.
“Arini pamit, Da.” Arini turun dari mobil. Adrian ikutan turun dan berjalan menuju Arini.
“Arini, maaf … apa tidak sebaiknya Hanafi tahu tentang kondisi kamu?” Adrian berkata dengan ragu. Arini mendongak dan menatap Adrian dengan mata yang sudah basah.
“Tidak perlu, Da. Biarlah seperti ini. Jika suatu saat Allah mempertemukan kami kembali, aku tidak akan menolak takdir-Nya.” Arini berkata seraya tersenyum.
“Baiklah.” Adrian mengangguk. Ia memang mencintai perempuan di depannya ini. Tetapi, ia tidak akan melakukan hal busuk pada Arini dan Hanafi. Cintanya terlalu tulus. Karena itulah, ia tidak ingin melihat perempuan ini menderita.
“Uda pamit. Baik-baik di sini.” Adrian berbalik dan masuk ke mobil. Arini mengangguk. Perlahan mobil yang dikendarai Adrian melaju dan menghilang di belokan ujung pasca. Arini menghapus matanya yang basah. Ucapan Adrian barusan mengingatkannya kembali pada suaminya itu. Bagaimanakah kabar laki-laki itu sekarang? Tuhan, di mana pun dia berada, lindungilah dia selalu ya, Allah. Arini memohon dalam hati.
*****
Sudah hampir tiga bulan Arini pergi. Hanafi benar-benar menyibukkan diri dengan pekerjaannya. Beberapa hari ini, Hanafi mulai praktik lagi di sebuah rumah sakit swasta di Kota Padang. Hanafi membagi waktunya empat hari di Bukit Tinggi dan dua hari di Padang. Laki-laki itu benar-benar tidak punya waktu lagi untuk memikirkan dirinya sendiri.
Sesekali Hanafi masih mampir ke rumah Arini untuk menjenguk Etek Pia dan Udin. Hanafi sudah mulai terbiasa juga memberikan uang belanja pada mereka berdua. Meski Etek Pia selalu menolaknya. Tetapi, Hanafi tetap memaksa.
Banyak yang telah berubah pada diri Hanafi. Setiap malam minggu, laki-laki yang terlihat sedikit kurus ini mengikuti kajian rutin di masjid Ar Rahman. Hanafi kini memilki kelompok kajian dengan beberapa dokter muda lainnya. Hidupnya saat ini hanya untuk kerja dan ibadah.
Hari minggu pun digunakan Hanafi untuk keliling daerah. Hanafi tidak sendirian, ada dua orang temannya yang bergantian menyertai Hanafi. Mereka membuka posko berobat gratis. Obat-obatan mereka bawa sendiri dari hasil patungan mereka bertiga. Hanafi merasa bahwa ia harus memiliki manfaat untuk orang lain. Dan profesinya sebagai seorang dokter membuka peluang lebih besar padanya untuk melakukan hal itu.
Masyarakat yang kurang mampu akan mendatangi posko mereka. Biasanya mereka menumpang membuka praktik gratis tersebut di rumah kepala desa. Pernah juga mereka buka di halaman masjid atau musala. Mulai dari Solok, Batu Sangkar, Lintau, Payakumbuh, Pangkalan, Pariaman, Pasaman, dan Bukit Tinggi. Semua mendapat giliran. Kehadiran mereka di tiap daerah akhirnya menyebar dari mulut ke mulut.
Tidak jarang, meski mereka telah mengatakan berobatnya gratis, masih ada juga yang memberikan buah tangan. Pisang, jeruk, papaya, tomat, berbagai macam sayur, beras, sampai jengkol. Sikap tulus masyarakat kepada mereka bertiga menjadi kebahagiaan tersendiri bagi Hanafi dan teman-temanya.
Cuma akhir-akhir ini Hanafi merasa sedikit heran. Laki-laki ini sering ingin makan sesuatu ketika malam hari tiba. Ingin makan lontong, ingin makan dengan rendang, ingin makan sate. Sesuatu hal yang selama ini tidak pernah dialaminya. Umi Halimah sedikit heran melihat perubahan Hanafi. Ada saja makanan yang dipesan anaknya itu.
Dengan kesibukannya yang sangat padat, Hanafi bisa sedikit melupakan Arini. Tetapi jika rasa rindu itu hadir, Hanafi akan pulang ke rumah istrinya. Laki-laki itu akan tidur di kamar Arini.
Dalam doa-doanya di sepertiga malam, Hanafi memohon kepada Allah, agar suatu saat Allah mempertemukannya kembali dengan istrinya itu.
Bersambung ….