CERBUNG: BIAS RINDU - EPISODE 5

Sabtu, 13 Juni 2020

BIAS RINDU - EPISODE 5

Judul : “Bias Rindu”
Penulis : Naya R
Terima kasih admin/moderator telah menyetujui tulisan ini.
Datuak Sutan Bandaro telah dipindahkan ke kamar perawatan. Selain karena permintaannya sendiri, kondisi kesehatan ayah Arini ini juga terlihat makin membaik. Datuak Sutan Bandaro menempati kamar VIP di lantai lima. Rumah sakit ini merupakan rumah sakit swasta terbesar yang baru diresmikan di kota Bukit Tinggi. Di rumah sakit ini juga Hanafi dan Bella bertugas.
Setiap jam bezuk, Etek Halimah dan Etek Pia datang ke rumah sakit. Etek Halimah yang sekarang telah menjadi mertuanya itu selalu membawakan makan siang dan makan malam untuk Arini. Sedangkan Etek Pia membawakan baju ganti untuk Arini. Beberapa kerabat dan saudara-saudara jauh Datuak Sutan Bandaro juga datang membezuk. Pisang, jeruk, papaya, dan roti telah penuh di atas meja. Arini menyuruh Etek Pia untuk membawa pulang sebagian.
Sementara Hanafi sudah dua kali datang membezuk bersamaan dengan uminya, Etek Halimah. Barangkali etek Halimah yang mengajak anaknya itu atau malah memaksanya. Arini tidak tahu. Hubungan Arini dan Hanafi juga masih tetap kaku. Tidak ada kemajuan apa-apa.
Ini hari kedua Datuak Sutan Bandaro berada di ruang perawatan. Kamar yang lumayan besar dan nyaman, membuat Arini tidak terlalu suntuk menunggui ayahnya. Apalagi sebagai anak tunggal, Arini sadar ia tidak punya tempat untuk berbagi tugas. Jadi ia harus dengan iklas menjalani semuanya. Harus iklas seorang diri menunggui dan menjaga ayahnya.
Arini berjalan ke arah jendela. Ayahnya tidur lagi setelah melaksanakan sholat subuh. Dari jendela kamar, gadis itu bisa melihat Gunung Merapi yang berdiri kokoh di kejauhan, matanya juga menangkap puncak jam gadang yang terlihat berkilau ditimpa sinar matahari pagi. Hotel, home stay, distro, gedung-gedung, rumah makan, semua berjejer rapi di sepanjang jalan. Arini tersenyum, kota ini selalu indah di matanya.
Dari lantai lima kamarnya, Arini juga bisa melihat halaman samping rumah sakit yang dijadikan taman. Beberapa orang terlihat sedang duduk di kursi taman. Mungkin ingin berjemur atau sekedar menghabiskan waktu karena suntuk semalaman menunggui keluarga yang sakit.
Sedetik berikutnya, Arini menyipitkan matanya. Dari arah koridor rumah sakit terlihat dua orang yang sedang menuju kursi taman. Seorang perempuan yang duduk di kursi roda dan seorang laki-laki yang sedang mendorongnya. Mendadak dada Arini bergemuruh. Dua orang itu adalah Hanafi dan Bella. Lagi-lagi ia harus menyaksikan pemandangan yang tidak mengenakkan itu.
Arini berbalik dan berjalan ke sisi ranjang sang ayah. Terlihat ayahnya sudah bangun dan sedang melihat juga ke arah Arini.
“Ayah sudah bangun?” Arini mencoba tersenyum manis pada ayahnya. Ayahnya tidak boleh tahu dengan perasaannya.
“Ya, Nak. Kamu sudah sarapan?”
“Belum Ayah. Ayah ingin makan sesuatu?”
“Iya, Ayah nggak selera makan sarapan yang disediakan rumah sakit. Ayah ingin makan lontong.”
“Baiklah, Ayah. Arini belikan di kantin sebentar, ya.”
“Ya, kamu langsung sarapan aja di kantin. Setelah itu baru belikan pesanan Ayah.”
“Nggak apa-apa Ayah sendirian di kamar?”
“Haha, kamu ini, Ayah sudah sehat. Kamu lihat kan?”
“Hehe, iya Ayah. Kalau gitu, Arini ke kantin bentar, ya, Yah.”
“Ya, nggak usah terburu-buru. Kamu juga perlu angin segar.”
“Ya, Ayah.” Arini mengangguk.
Setelah merapikan selimut ayahnya, Arini pun melangkah ke luar kamar. Arini memilih turun melalui tangga untuk ke kantin di lantai satu. beberapa hari hanya duduk diam di rumah sakit, membuat tubuhnya terasa pegal dan kaku. Mungkin dengan turun naik tangga beberapa lantai bisa melemaskan otot-otot tubuhnya.
Sampai di kantin yang penuh oleh pengunjung, Arini kembali memesan bubur ayam kesukaannya. Lalu Arini mengedarkan pandangan mencari meja yang masih kosong. Hanya tersisa satu meja lagi, tetapi … deg … jantung Arini kembali berdegup kencang. Di samping meja itu sudah duduk Hanafi dan kekasihnya, Bella. Namun Arini mencoba tidak peduli.
Dengan menenangkan gemuruh di dadanya, Arini melangkahkan kakinya ke meja yang kosong. Hanafi dan Bella sama-sama terlihat kaget melihat kehadiran Arini di samping mereka. Tak bisa dipungkiri, melihat sikap cuek dan santai Arini, Hanafi menjadi salah tingkah juga. Laki-laki itu meneguk ludahnya yang tiba-tiba terasa pahit.
Arini menghenyakkan pantatnya di kursi tanpa menoleh pada Hanafi dan Bella. Tidak berapa lama pesanan Arini pun datang, bubur ayam dan teh hangat. Baru saja Arini mengucapkan terima kasih pada pelayan yang mengantarkan pesanannya, seseorang menarik kursi di hadapan Arini tanpa permisi. Arini mengangkat wajahnya.
Dan sosok ganteng dokter Adrian telah duduk di hadapan Arini. Berkemeja biru terang dengan lengan kemeja yang dilipat sampai siku. Beberapa detik netra Arini terpaku menatap laki-laki di depannya ini. Tidak malam tidak siang, dokter muda satu ini selalu saja terlihat segar.
“Tehnya diganti susu, ya. Biar kamu kuat menjaga Ayah.” Dokter Adrian mengambil teh di hadapan Arini dan menggantinya dengan segelas susu hangat yang baru saja dibawanya. Arini tertegun. Sendok yang baru akan masuk ke mulutnya terhenti di udara.
“Sejak kapan seorang dokter begitu perhatian pada keluarga pasien.” Tiba-tiba terdengar suara sinis dari samping Arini dan Dokter Adrian. Rasa kaget Arini karena kehadiran dokter Adrian belum hilang dan kini rasa kagetnya bertambah lagi dengan ucapan yang baru saja didengarnya. Arini dan Adrian serentak menoleh pada sosok Hanafi yang telah berdiri di samping meja mereka. Mengenakan kemeja berwarna maroon dan celana jeans biru tua, laki-laki itu terlihat amat gagah.
“Hai, Dokter Hanafi, maaf … kita sepertinya tidak jauh berbeda bukan. Dokter begitu perhatian dengan pasien dokter dan saya begitu perhatian dengan keluarga pasien saya. Apa ada yang salah?” Dokter Adrian membalas ucapan Hanafi dengan santai. Entah mengapa, dada Hanafi bergemuruh mendengar ucapan dokter muda di depannya ini. Dia memang tidak mencintai Arini. Tetapi meski bagaimanapun, Arini telah menjadi istrinya. Ia harus menjaga kehormatan istrinya sampai kelak mereka berpisah. Beberapa pengunjung yang sedang sarapan di kantin tidak dapat menahan diri untuk tidak melihat ke meja Arini.
“Jelas ada yang salah, karena saya suaminya.” Entah bisikan dari mana yang membuat Hanafi mengucapkan kata-kata itu. Mata Arini membulat. Banyak sekali kejutan pagi ini. Ada rasa haru, bahagia, sedih, mendengar pengakuan Hanafi tersebut. Sementara mulut Adrian terbuka lebar karena rasa kaget. Sungguh Adrian merasa amat kaget mendengar ucapan Hanafi. Arini istri Hanafi? Adrian mengalihkan tatapannya pada Arini. Tetapi Arini menghindar. Perempuan itu meraih gelas tehnya dan meminumnya beberapa teguk.
Bella yang melihat semua adegan di sampingnya itu serasa dihantam ribuan gelombang pasang. Dadanya terasa sakit. Baru saja ia menikmati semua perhatian dan kasih sayang hanafi padanya. Dan sekarang ia harus mendengar pengakuan dari laki-laki itu tentang statusnya sebagai suami dari wanita lain. Bella memegang kursi rodanya dan mulai memutar rodanya dengan kedua tangannya. Perlahan kursi rodanya bergerak meninggalkan meja yang ditempatinya dengan Hanafi.
Hanafi yang menyadari Bella telah meninggalkan meja bergegas mengejar Bella. Tetapi beberapa detik kemudian, laki-laki itu kembali ke meja Arini.
“Bungkus sarapanmu dan sarapanlah di kamar. Kasihan Ayahmu sendirian di kamar.” Hanafi berkata tegas pada Arini. Arini hanya diam tanpa menjawab apa-apa. Setelah itu, Hanafi kembali mengejar Bella yang telah ke luar dari kantin.
“Maafkan, aku tidak tahu kalau kamu telah menikah.” Adrian menatap Arini dengan penuh rasa bersalah.
“Tidak apa. Kami baru menikah beberapa hari.” Arini berkata pelan dengan mata yang kembali berkaca-kaca.
“Lalu Dokter Bella?” Adrian tidak dapat menyembunyikan rasa penasarannya.
“Dia kekasihnya.” Arini mencoba tersenyum meski senyumnya teramat patah.
“Kekasih?” Alis Dokter Adrian terangkat. Jawaban Arini semakin membuatnya bingung.
“Kami dijodohkan sementara Dokter Hanafi telah memiliki kekasih.” Dan kali ini tetes bening di kedua mata Arini benar-benar jatuh. Setetes … dua tetes … pipi mulusnya pun telah basah oleh air mata. Sdatu dua orang pengunjung masih ada yang memperhatikan Arini. Hati Adrian merasa diremas-remas melihat kesedihan perempuan di depannya ini. Sungguh tega Hanafi menyakiti dua wanita sekaligus.
“Maafkan, aku membuatmu sedih.” Adrian mengulurkan dua lembar tissu. Arini menerimanya dan kembali mencoba tersenyum.
“Tidak apa. Esok atau lusa, orang-orang di rumah sakit ini pasti akan tahu juga dengan kondisi kami. Dokter Hanafi memang tidak mengundang satupun dokter dan pegawai di sini pada pesta minggu lalu.” Entah mengapa Arini bisa bicara sebanyak ini dengan orang yang baru dikenalnya. Dan dadanya terasa sedikit lapang setelah mengungkapkan semua itu pada laki-laki di depannya ini. Dokter Adrian mengangguk.
“Ya, kamu benar. Dan aku berharap kamu cepat mengambil sikap. Kamu harus pikirkan apa yang terbaik untuk hidupmu. Kamu masih sangat muda, jalan masih terbentang panjang di depanmu.” Dokter Adrian berkata dengan sedikit emosi. Lagi-lagi Arini tersenyum.
“Pernikahan kami baru hitungan hari. Aku masih berharap ada keajaiban dalam pernikahan ini.”
“Kamu mencintainya?”
“Entahlah, tetapi yang pasti saat ini aku telah menjadi istrinya. Aku harus tetap taat dan patuh padanya.”
“Luar biasa. Dokter Hanafi akan menyesal jika menyia-nyiakan wanita baik sepertimu.”
“Terima kasih Dokter, saya pamit balik ke kamar.” Arini bangkit dan mengangkat mangkuk buburnya.
“Makan lah di sini.” Dokter Adrian menatap Arini penuh harap.
“Dokter sudah dengar kan pesan Dokter Hanafi tadi?”
“Tetapi buburnya sudah dingin.” Dokter Adrian ikut bangkit.
“Tidak apa, dari kecil saya tidak pernah pilih-pilih makanan. Karena seorang Ayah tidak seperti seorang Ibu ketika mengurus anaknya. Jadi kami biasa makan nasi yang sudah dingin atau kuah soto yang sudah hampir beku.” Arini berkata dengan binar mata yang kembali terlihat karena beberapa peristiwa masa kecil dan remaja dengan sang ayah kembali terlintas di kepalanya. Sampai di meja kasir, Arini memberikan mangkuk buburnya dan meminta untuk dibungkuskan. Arini juga minta dibungkuskan lontong sayur. Sementara Adrian lagi-lagi hanya terbengong mendengar ucapan Arini.
Setelah menerima pesanannya, Arini mengambil satu lembar uang lima puluh ribu dari dalam dompetnya. Tetapi ia kalah cepat dengan Adrian, dokter berkulit putih bersih itu telah duluan memberikan uang pada kasir.
“Dok.” Arini memanggil Adrian dengan nada protes.
“Tidak apa-apa, anggap saja traktiran seorang kakak kepada adiknya.” Adrian berkata lembut. Hati Arini terenyuh. Dia memang tidak punya saudara. Selama ini, ia juga membatasi diri dengan laki-laki yang berada di sekitarnya. Baik semasa sekolah dulu maupun ketika berada di kampus. Tapi entah mengapa, saat ini, Arini merasa membutuhkan seorang teman.
“Terima kasih, Dok.” Akhirnya hanya itu yang mampu diucapkan oleh Arini.
“Ya, sama-sama. Cuma lontong aja kok.” Dokter Adrian tersenyum.
“Saya pamit ke kamar ya, Dok.”
“Bareng saya aja, saya juga mau visit ke Bapak Datuak.”
“Oh, masih jadwal dokter, ya.”
“Ya, sebelum pulang, saya mau lihat kondisi Bapak datuak dulu.”
“Ya, Dok. Makasih.” Arini mengangguk. Berdua mereka berjalan beriringan ke luar kantin dan menuju lift.
******
“Bella, mengertilah, ucapan tadi bukanlah menjadi sebuah ukuran kalau aku telah mencintainya.” Hanafi berusaha meyakinkan Bella sesampainya mereka di kamar. Tetapi Bella tidak bisa menerimanya.
“Bagaimana mungkin aku mencintainya, sementara kami menikah baru hitungan hari.” Hanafi berkata dengan putus asa karena Bella tak memberikan reaksi sedikitpun dengan semua ucapan dan pembelaan dirinya.
“Jadi kalau sudah hitungan bulan, tahunan, baru bisa mencintainya?” Bella berkata dengan amarah yang masih memuncak.
“Bukan begitu maksudnya. Duh, kan salah lagi.” Hanafi menggusar wajahnya dengan kasar.
“Ya sudah, sekarang kamu tinggal pilih, pilih aku atau dia.” Suara Bella makin tinggi.
“Ya Tuhan, jangan sekarang Bella. Kamu sudah janji kan memberi aku waktu satu atau dua tahun.”
“Sekarang aku berubah pikiran.”
“Kamu kan tahu, ayah Arini masih dirawat. Kamu juga tahu gimana kerasnya Umi.” Hanafi menatap Bella dengan tatapan minta belas kasih. Bella melengos.
“Aku ke poli dulu, ya. Pagi ini ada beberapa pasien yang telah mendaftar. Nanti sore kamu sudah bisa pulang kata Dokter Alfian. Tunggu aku jemput nanti, ya.” Hanafi berdiri dan menyentuh sekilas tangan Bella yang tertutup selimut. Bella hanya diam tak menjawab. Dengan menarik napas berat, hanafi berjalan menuju pintu dan bergegas ke luar kamar.
Sepeninggal Hanafi Bella terisak. Dadanya masih diliputi oleh rasa cemburu. Sakit hati dan juga amarah. Pernikahan yang telah mereka impikan harus berantakan. Cinta mereka harus berakhir seperti ini. sejak hanafi menyampaikan berita perjodohannya, sudah tidak bisa dihitung pertengkaran demi pertengkaran yang terjadi di antara mereka. Bella ingin mengakhiri semuanya, tetapi rasanya ia juga tidak sanggup berpisah dengan laki-laki itu.
Bella memejamkan matanya. Kepalanya kembali terasa berat. Ia telah berkorban meninggalkan kedua orang tuanya untuk pindah bekerja di rumah sakit ini, meninggalkan kota Padang untuk menetap di Bukit Tinggi. Semua itu dilakukannya karena cintanya pada Hanafi. Tetapi, sepertinya pengorbanannya sia-sia.
Kedua orang tuanya juga tidak tahu kalau ia sedang dirawat. Bella sengaja merahasiakan keadaannya saat ini. Bella tidak ingin membuat orang tuanya cemas.
*******
“Selamat pagi, Pak.” Dokter Adrian menyapa Datuak Sutan Bandaro dengan ramah. Entah mengapa, melihat dan berkomunikasi dengan laki-laki paruh baya ini, Adrian serasa melihat sosok ayahnya. Sosok ayahnya yang dua tahun lalu telah meninggalkannya dan meninggalkan ibu serta ketiga adiknya.
“Pagi, Dokter.” Datuak Sutan Bandaro menjawab dengan senyum senang.
“Bagaimana rasanya hari ini, Pak?” Adrian mengambil kursi dan duduk di samping ranjang.
“Alhamdulillah, Bapak merasa paling sehat hari ini. Kalau bisa, Bapak pulang hari ini ya, Nak Adrian.”
“Oh, kenapa, Pak?”
“Bapak kasihan dengan Arini, dia nggak bisa istirahat dengan baik di sini.” datuak Sutan Bandaro menoleh pada Arini yang sedang berdiri di depan meja kecil di samping ayahnya. Arini terlihat menuangkan lontong ke piring.
“Baik, Pak. Kita periksa kondisi Bapak dulu, ya. Kita tunggu perawat sebentar lagi datang.” Adrian tersenyum lembut. Datuak Sutan Bandaro terenyuh melihat kebaikan dan ketulusan dokter muda ini. Dari awal masuk rumah sakit, Dokter Adrian lah yang mengurusnya. Padahal ia punya menantu yang juga seroang dokter di rumah sakit ini. Seharusnya Hanafi lah yang mengurus dan merawatnya. Mata tua Datuak Sutan Bandaro tiba-tiba mengabur.
“Nak Adrian, bolehkah Bapak meminta sesuatu pada Nak Adrian?” Pak Datuak menatap Dokter Adrian dengan ragu.
“Apakah itu, Pak? Seandainya bisa saya kabulkan, insyaAllah akan saya kabulkan.” Lagi-lagi Dokter Adrian tersenyum lembut. Pak Datuak mencoba menguatkan dirinya sebelum berucap.
“Maukah Nak Adrian menganggap Arini sebagai saudara? Sebagai Adik?” Datuak Sutan Bandaro bertanya dengan suara bergetar. Dokter Adrian terpana. Begitu juga dengan Arini.
“Arini tidak memiliki saudara. Jika kelak dia mengalami kesulitan atau kesusahan, bersediakah Nak Adrian membantunya?” belum sempat Adrian menjawab, Datuak Sutan Bandaro telah melanjutkan ucapannya.
“Baik, Pak, insyaAllah saya akan selalu ada untuk Arini.” Adrian berkata dengan yakin.
Hanafi yang baru saja membuka handel pintu kamar, berdiri mematung. Ucapan dan janji Dokter Adrian begitu jelas di telinganya.
“Hanya sebagai saudara.” Datuak Sutan Bandaro memberikan ketegasan.
“Ya, Pak. Hanya sebagai saudara.” Adrian tersenyum pahit. Datuak Sutan Bandaro tersenyum bahagia.
“Terima kasih.” Mamak Hanafi itu berkata lirih.
“Arini …” suara Datuak Sutan Bandaro terdengar seperti tercekat. Arini yang sedang menuangkan air ke gelas, meletakkan gelasnya begitu saja dan langsung mendekat pada ayahnya.
“Ayah, kenapa Ayah?”Arini langsung panik melihat wajah ayahnya yang seperti menahan sakit. Hanafi bergegas masuk dan langsung memegang tangan dan dada mamaknya. Adrian ikut berdiri. Datuak Sutan Bandaro terlihat kesulitan bernapas.
Adrian segera mengambil selang oksigen yang tergantung di belakang ranjang. Tetapi begitu dokter Adrian akan memasangkan selang oksigen, Datuak Sutan Banadaro mengangkat tangannya untuk menolak. Dokter Adrian menoleh pada Hanafi meminta pendapat. Hanafi mengangguk.
“Arini, tolong tuntun Ayah.” Datuak Sutan Bandaro berkata dengan napas yang makin sesak.
“Ayah, tidak, Ayah sudah sehat. Jangan seperti ini. Jangan membuat Arini cemas, Ayah.” Arini telah bersimbah air mata. Perempuan itu memeluk tubuh ayahnya dengan erat. Sementara Datuak Sutan Badaro terlihat makin kesusahan. Hanafi mendekat. Laki-laki itu menduduk di sisi kanan mamaknya. Dokter Adrian memberikan ruang pada dokter Hanafi.
“Laillahaillallah …” Hanafi mengucapkan kalimat tauhid itu di telinga mamaknya. Mulut Datuak Sutan Bandaro terlihat bergerak. Tetapi belum ada suara yang terdengar. Arini mengangkat wajahnya dan menatap Hanafi dengan mata berkilat.
“Uda, kenapa Uda membacakan kalimat itu pada Ayah? Uda ingin Ayah secepatnya pergi?” Arini berkata parau di antara isak tangisnya. Hanafi menegakkan tubuhnya dan berjalan cepat ke arah Arini. Dipeluknya pundak perempuan yang sedang terlihat kacau itu.
“Arini, dengarkan Uda. Iklaskan Ayah untuk pergi kalau memang itu yang terbaik untuk Ayah. Arini orang beriman bukan? Paham dengan ketentuan Allah?” Hanafi berkata dengan lembut namun tegas. Arini seperti disihir mendengar ucapan Hanafi. Perempuan itu luruh, tapi sekuat tenaga ia menguatkan diri. Arini mendekatkan wajahnya pada sang ayah.
“Laillahaillallah …” Arini berbisik lirih di telinga ayahnya. Mulut Datuak Sutan Bandaro kembali terlihat bergerak. Arini menoleh pada Hanafi. Hanafi mengangguk. Arini kembali mengucapkan kalimat Laillahaillallah di telinga ayahnya.
“Laillahaillallah …” pelan dan amat lirih suara itu ke luar dari mulut Datuak Sutan Bandaro. Lalu selanjutnya senyap. Laki-laki paruh baya itu menutup matanya dengan satu helaan napas.
“Innalillahi wainna ilaihi rojiun.” Dokter Adrian dan Hanafi mengucapkan kalimat istirja secara bersamaan. Arini mengangkat wajahnya dan menatap Hanafi serta Dokter Adrian bergantian. Kemudian Arini menatap wajah ayahnya yang telah pucat seperti tak berdarah. Padahal beberapa menit yang lalu ayahnya masih segar, masih bicara, masih tersenyum. Mengapa begitu cepat perubahannya. Hanya hitungan menit bahkan hanya hitungan detik. Arini menubruk dada ayahnya dan menangis memeluk laki-laki terkasihnya itu.
“Ayah … “ Arini menangis di dada ayahnya. Sekarang ia benar-benar seorang diri. Tak ada lagi ayah yang selalu menjaganya, tak ada lagi ayah yang selalu menyayanginya, tak ada lagi ayah yang selalu memanjakannya, mendampinginya. Ia sendiri, tanpa saudara, tanpa siapa-siapa. Pada siapa lagi ia akan berbagi, akan berkeluh kesah, akan mengadu. Pada siapa lagi ia akan mengungkapkan duka dan kepiluannya.
“Bagaimana Arini akan melewati semua ini seorang diri Ayah.” Arini berbisik di dada ayahnya. Setelah itu hanya terdengar isak tangisnya. Hanafi dan Adrian menatap kepiluan Arini dengan mata yang juga basah. Hanafi menarik tubuh Arini dan memeluknya dengan erat.
“Sabar, iklaskan Ayah agar jalannya tenang.” Hanafi berbisik di telinga Arini. Arini menggigit bibirnya menahan isak tangisnya agar tidak lagi terdengar. Tetapi sekuat tenaga ia menahan tangisnya, sekuat itu juga air matanya berhamburan membasahi pipinya.
Perawat datang membawa beberapa perlengkapan pemeriksaan. Dokter Adrian terlihat memeriksa dada Datuak Sutan Bandaro dengan stetoskop. Kemudian dokter Adrian memegang pergelangan tangan Datuak Sutan Bnadaro yang terasa mulai dingin.
Setelah memastikan kondisi Ayah Arini itu benar-benar sudah tidak ada, Dokter Adrian pun segera melipat tangannya. Kemudian dokter Adrian mengintruksikan beberapa hal kepada kedua perawat yang berdiri terpaku di samping ranjang. Kedua perawat itu mengangguk paham dan segera ke luar untuk melaksanakan intruksi dokter Adrian.
Hanafi menenangkan Arini. Adrian melihat semua itu dengan hati yang tidak nyaman. Terlintas dalam pikiran Adrian, apakah Hanafi tulus melakukan semua itu.
Bersambung ….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar