CERBUNG: BIAS RINDU - EPISODE 2

Jumat, 12 Juni 2020

BIAS RINDU - EPISODE 2

Judul: “Bias Rindu”
Penulis: Naya R
Terima kasih admin/moderator telah menyetujui tulisan ini.
Arini memandang wajah ayahnya yang tertidur dengan mata berkaca-kaca. Dari rumah sakit umum Bukit Tinggi, sang ayah dirujuk ke rumah sakit stroke di kota Bukit Tinggi juga. Datuak Sutan Bandaro mengalami stroke ringan. Beruntung, Arini cepat membawa ayahnya ke rumah sakit sehingga sang ayah mendapatkan penanganan dengan cepat juga. Tidak ada yang mengkhawatirkan kata dokter yang merawat ayahnya. Arini sedikit lega mendengarnya.
Saat-saat seperti ini, Arini baru merasa sendirian. Tidak punya siapa-siapa selain ayahnya. Ibunda Arini meninggal dunia ketika Arini masih duduk di bangku kelas 6 sekolah dasar. Sejak saat itu, Datuak Sutan Bandaro mengurus Arini dengan dibantu Etek Pia. Etek Pia masih kerabat jauh dari Datuak Sutan Bandaro. Perempuan paruh baya itu juga sudah lama menjanda. Ia memiliki dua orang anak laki-laki yang tinggal di rantau. Mereka tinggal bertiga di rumah yang lumayan besar dan megah.
Tiga tahun setelah sang ibunda meninggal, Datuak Sutan Bandaro menikah lagi. Tetapi pernikahan itu tidak berlangsung lama. Hanya dua tahun, mereka bercerai karena merasa tidak memiliki kecocokkan. Namun, saat ini Arini mengerti, ayahnya bercerai karena perempuan itu tidak pernah bisa menyayangi Arini dengan tulus.
Untuk ukuran di kampung mereka, Datuak Sutan Bandaro adalah seorang pengusaha yang sukses. Laki-laki berusia 50-an tahun itu memiliki toko bahan bangunan, memiliki heler penggilingan padi, puluhan hewan ternak yang dijaga oleh petani di sekitar kampung mereka. Belum lagi sawah dan ladang yang lumayan luasnya. Meski menjadi seorang yang kaya dan terpandang di kampung mereka, tidak menjadikan Datuak Sutan Bandaro seorang yang sombong dan tinggi hati. Malah sebaliknya, laki-laki yang masih terlihat gagah itu adalah orang yang dermawan. Rumah mereka selalu menjadi tempat mengadu bagi masyarakat setempat. Meminjam uang atau pun meminta bantuan lainnya.
Ketika Arini masih duduk di bangku sekolah dasar, ayahnya itu selalu menemani Arini kecil belajar dan membuat PR. Mengantar dan menunggui Arini mengaji di surau. Sampai Arini duduk di SMA, sang ayah masih selalu menemani Arini belajar dan membuat PR. Oleh sebab itu, tidak heran jika Arini sangat menyayangi ayahnya dan mengidolakan sang ayah.
Beberapa bulan lalu, Arini telah menyelesaikan sarjana SI nya di Universitas Andalas, jurusan Gizi. Selama Arini kuliah di Padang, ayahnya selalu bolak balik mengunjungi Arini ke tempat kos Arini sekali dua minggu. Sementara Arini selalu rutin pulang ke Bukit Tinggi sekali dalam sebulan. Jadi hampir setiap minggu mereka bisa bertemu. Dan agar tidak terlalu sepi, Datuak Sutan Bandaro mengajak ponakan etek Pia yang masih duduk di kelas dua SMP untuk tinggal di rumah mereka.
Arini bangkit, gadis cantik itu teringat belum melaksanakan sholat duha. Tetapi sebelum ia sampai di kamar mandi, terdengar ketukan di pintu. Arini bergegas menuju pintu dan membukanya dengan pelan. Terlihat Etek Pia dan Etek Halimah. Arini langsung menghambur memeluk Etek Pia. Etek Pia memeluk dan mengusap kepala Arini yang tertutup jilbab.
“Sudah, jangan menangis. Nanti ayah sedih melihat gadis cantiknya menangis seperti ini.” Etek Pia menepuk-nepuk pundak Arini.
“Iya, Tek. Kasihan Ayah.” Arini merenggangkan pelukannya dan mengusap air matanya dengan ujung lengan bajunya. Lalu Arini menyalami Etek Halimah.
“Sabar, ya, Nak.” Etek Halimah mengusap lembut pundak Arini.
“Iya, Tek. Insyaallah.” Arini mengangguk dan mempersilakan kedua wanita itu masuk ke dalam. Datuak Sutan Bandaro terlihat bergerak dan membuka matanya.
“Ayah … ayah sudah bangun?” Arini mendekat dan mengusap lembut kepala ayahnya. Bibir sang ayah terihat bergerak-gerak. Tetapi suara yang keluar tidak terdengar dengan jelas.
“Ini Etek Halimah dan Etek Pia datang melihat Ayah.” Arini memberikan tempat kepada Etek Halimah dan Etek Pia untuk mendekat kepada ayahnya.
“Datuak, ini kami bawakan pangek ikan kesukaan Datuak. Nanti makan ya.” Etek Halimah berkata seraya memperlihatkan rantang di tangannya pada Datuak Sutan Bandaro. Datuak Sutan Bandaro hanya menggerakkan kedua matanya. Setelah itu, Etek Halimah meletakkan rantang yang dibawanya di atas meja, di samping ranjang.
“Datuak, sebentar lagi Hanafi sampai dan langsung menuju ke sini. ia telah berangkat dari Padang habis subuh tadi. Datuak jangan banyak pikiran, insyaAllah niat baik kita akan segera terwujud.” Etek Halimah mengusap lengan abang kandungnya itu dengan lembut. Sejak kecil, abangnya ini telah banyak berjasa pada Etek Halimah. Sampai Etek Halimah sudah setua sekarang, abangnya itu tidak pernah berhenti membantu etek Halimah dan ketiga orang anaknya. Semua biaya sekolah dan kuliah Hanafi, Harun, dan Annisa berasal dari Datuak Sutan Bandaro.
Hidup Etek Halimah juga tidak mudah. Sejak Annisa berumur satu tahun, suaminya pergi merantau ke Batam. Sampai Annisa sekarang sudah duduk di bangkus kelas satu SMA, sang suami tidak pernah lagi pulang dan berkirim kabar. Jadilah Etek Halimah mengurus dan membiayai sekolah dan kuliah anaknya seorang diri. Barangkali perempuan yang masih terlihat cantik itu tidak akan bisa bertahan jika tidak dibantu oleh abangnya itu.
Dan sekarang, salah satu anaknya telah sukses menjadi seorang dokter. Dokter spesialis penyakit dalam. Semua itu berkat bantuan dan kemurahan hati saudara kandung Etek Halimah itu. Oleh sebab itulah, Etek Halimah tidak bisa menolak keinginan Datuak Sutan bandaro untuk menikahkan anaknya dengan Hanafi. Rasanya dengan menikahkan keduanya, belum juga akan bisa membalas semua kebaikan abangnya itu.
“Duduk lah, Tek.” Arini menggeserkan kursi kepada Etek Halimah dan Etek Pia. Sementara Datuak Sutan Bandaro hanya menatap kedua perempuan di samping ranjangnya itu tanpa bisa berkata apa-apa.
“Tak apa, Nak. Kami sudah lama duduk tadi di angkutan.” Etek Halimah menjawab seraya tersenyum pada Arini.
“Arini wudu dulu sebentar, ya, Tek. Tolong jaga Ayah, Tek.” Arini pamit pada kedua perempuan yang sedang menatap ayahnya dengan tatapan prihatin.
“Ya, Nak. Sholatlah dan doakan ayahmu agar cepat pulih. Kami tadi sudah duha di rumah.” Etek Halimah mengangguk pada Arini. Arini pun berlalu menuju kamar mandi. Tidak berapa lama, gadis dengan wajah lembut itu telah berdiri di atas sajadahnya melaksanakan sholat duha. Etek Halimah dan Etek Pia akhirnya duduk di kursi yang diberikan Arini tadi. Etek Halimah mencoba mengajak Datuak Sutan Bandaro untuk berkomunikasi. Meski ayah Arini itu tidak memberikan respon yang baik.
Setelah selesai melaksanakan enam rakaat duhanya, Arini kembali bergabung dengan Etek Halimah dan Etek Pia.
“Ayah mau minum?” Arini mengusap lembut wajah ayahnya. Sang ayah terlihat mengangguk. Sebelum mengambil gelas, Arini menaikkan tempat tidur ayahnya sehingga punggung sang ayah sedikit tegak. Setelah itu, Arini mengambil gelas air putih dan meminumkan airnya dengan cara menyendokkan kepada ayahnya. Hanya beberapa sendok, ayahnya pun menutup rapat mulutnya. Arini mengerti, ayahnya sudah tidak mau lagi. Gadis itu pun meletakkan gelas di tangannya di meja di samping ranjang.
“Kamu sudah sarapan, Nak?” Etek Pia bertanya pada Arini. Arini menggeleng.
“Itu Etek bawain ketupek gulai. Sarapanlah dulu. Jaga kesehatanmu agar bisa menjaga dan mengurus Ayah dengan baik.” Etek Pia menunjuk rantang yang tadi ditentengnya.
“Arini puasa, Tek.” Arini menjawab pelan.
“Oh, memang sahur tadi?”
“Ada makan roti dan minum teh tadi, Tek.”
“Kalau nggak kuat jangan dipaksakan, Nak. Kamu butuh tenaga untuk menjaga Ayahmu.” Etek Halimah angkat bicara.
“InsyaAllah kuat, Tek.” Arini mengangguk dan tersenyum pada adik ayahnya itu.
Hampir satu jam lebih Etek Halimah dan Etek Pia menemani Arini di rumah sakit. Sebelum sholat zuhur, terdengar ketukan di pintu. Arini bergegas membuka pintu. Begitu pintu terbuka, seketika Arini merasa tubuhnya menjadi kaku. Sosok Hanafi berdiri tegak di hadapannya. Arini menggeser tubuhnya memberi jalan kepada anak bakonya itu. Tanpa bicara, Hanafi masuk ke dalam. Dengan santun laki-laki itu menyalami dan mencium tangan Uminya, Mamaknya dan Etek Pia. Mata Datuak Bandaro seketika terlihat berbinar begitu menangkap sosok keponakannya itu.
“Ada temanmu yang praktik di rumah sakit ini, Nak?” Umi memberikan tempat duduk kepada anaknya.
“Ada, Mi.” Hanafi mengangguk dan tetap berdiri di samping ranjang mamaknya.
“Kamu cobalah tanyakan kondisi Mamakmu ini. Bagaimana sebaiknya dan apa yang harus kita lakukan untuk kesembuhannya.”
“Ini rumah sakit stroke terbaik di Sumatera ini, Mi. InsyaAllah Mamak akan mendapatkan penanganan yang terbaik.”
“Iya, Umi tahu. Tapi kan puas pulalah hati kita kalau kamu sesama dokter yang bicara.”
“Baik, Mi. Nanti Hanafi coba temui dokter yang menangani Mamak.” Umi Halimah menarik napas lega mendengar jawaban anaknya.
“Arini, kenapa berdiri di sana? Ayo, sini.” Etek Halimah melambaikan tangan pada Arini yang terlihat masih mematung di samping pintu kamar. Arini mencoba tersenyum pada eteknya lalu berjalan mendekat.
“Datuak, insyaAllah, jika Datuak telah sehat, kita akan segera melaksanakan pernikahan Hanafi dan Arini. Maka dari itu, secepatnya Datuak sehat ya. Bukan kah Datuak ingin menggelar pesta besar untuk anak kesayangan Datuak, ini?” Etek Halimah berkata dengan wajah riang pada abangnya itu. Terlihat bibir Datuak Sutan Bandaro bergerak-gerak. Tetapi, lagi-lagi tidak ada suara yang jelas yang terdengar.
Sementara dada Hanafi bergemuruh mendengar ucapan uminya itu. Ingin sekali laki-laki berwajah tampan itu mengungkapkan segala keberatannya. Tetapi kata-kata uminya di telepon yang telah mewanti-wanti agar Hanafi menurut demi kesembuhan sang mamak, kembali terngiang dan menyumbat mulut Hanafi. Sedangkan Arini hanya menunduk. Arini bisa melihat kilatan kebencian dan kemarahan di mata laki-laki primadona kampungnya itu. Siapa yang tidak akan menyukai laki-laki ini. Muda, berwajah tampan, berprofesi sebagai dokter pula. Benar-benar lelaki idaman untuk gadis-gadis di kampungnya. Arini juga pernah mendengar, kalau banyak orang tua di kampung mereka yang datang melamar Hanafi untuk dijadikan menantu. Tetapi tidak satupun yang diterima. Barangkali karena memang laki-laki ini telah memiliki kekasih sseperti yang diungkapkannya dua hari lalu di rumah gadang.
***********
Hampir dua minggu Datuak Sutan Bandaro dirawat di rumah sakit. Selama itu juga, Arini tidak pernah beranjak dari sisi ayahnya. Pakaian dan makan, diantarkan Etek Pia setiak hari ke rumah sakit. Hari ini, Datuak Sutan Bandaro telah diizinkan pulang. Telah banyak kemajuan yang dialami ayah Arini tersebut. Ia sudah mulai bisa bicara meski masih terpatah-patah. Sudah bisa juga berjalan meski belum sekokoh biasanya. Semua itu tidak lain karena ucapan adiknya tempo hari, bahwa kalau ia telah sehat, maka akan segera dilangsungkan pernikahan anaknya dengan kemenekannya itu. Tidak terkira bahagia dan girangnya hati laki-laki dermawan ini mengingat anaknya akan segera menikah dengan kemenakan kesayangannya, Hanafi.
Setelah mengurus segala sesuatunya, Arini ditemani Etek Pia mendorong kursi roda ayahnya ke parkiran rumah sakit. Hati Arini begitu bahagia melihat kondisi ayahnya yang telah terlihat amat sehat. Dua kali seminggu mereka harus tetap datang ke rumah sakit untuk terapi. Itu tidak masalah bagi Arini, asal ayahnya bisa kembali ke rumah dalam keadaan baik. Arini akan melakukan apapun demi kesembuhan sang ayah.
Begitulah hari-hari berikutnya. Arini dengan sabar mengurus sang ayah. Mengantarkan terapi ke rumah sakit. Dan mengantarkan kontrok ke dokter setiap dua minggu.
Dua bulan telah berlalu. Kesehatan Datuak Sutan Bandaro telah benar-benar pulih. Dan pernikahan Arini dengan Hanafi pun mulai dipersiapkan. Datuak Sutan Bandaro meminta bantuan beberapa kerabat dekat mereka untuk mengurus segala sesuatunya. Sementara Arini dan Hanafi tidak banyak terlibat. Hanafi yang praktik di salah satu rumah sakit swasta di Padang, setiap minggu selalu pulang menemui uminya.
Hari ini, sebelum kembali ke Padang, Hanafi kembali mencoba bicara kepada uminya.
“Umi, kenapa tidak dengan Harun saja Arini dinikahkan?” Hanafi berkata hati-hati pada uminya.
“Apa maksudmu, Nak?” Mata umi menatap Hanafi tajam.
“Ya, kalau Harun kan belum punya calon Umi, tidak aka nada masalah kalau Harun yang menikahi Arini. Usia mereka juga tidak jauh berbeda.” Hanafi menunduk menghindari tatapan uminya. Dalam hati, Hanafi masih bertekad untuk memperjuangkan cintanya dengan Bella sampai ijab kabul ia lakukan.
“Hanafi, pernikahanmu dengan Arini tinggal dua minggu lalu. Jangan bicara yang tidak-tidak. Semua orang kampung telah tahu kalau kalian akan menikah. Kalau kamu ingin melihat umi berkalang tanah, maka lakukanlah apa yang terbersit di hatimu itu.” Umi berkata dengan nada keras. Hanafi meneguk ludahnya yang terasa pahit. Uminya perempuan lembut, perempuan yang sangat paham agama, tetapi mengapa kata-katanya bisa sampai sekeras itu? Apakah benar-benar sudah tidak ada celah lagi bagi dirinya untuk menghindar dari perjodohan ini?
“Baiklah, Umi. Hanafi pamit. Mohon doanya untuk keselamatan dan pekerjaan Hanafi, Umi.” Hanafi bangkit dan mengulurkan tangannya pada Umi Halimah. Umi Halimah menerima uluran tangan anaknya dan mengusap lembut kepala anak sulungnya itu. Sejak masih duduk di sekolah dasar, sulungnya ini selalu berbuat seperti ini. Setiap akan pergi kemana-mana, pasti selalu meminta restu dan doa darinya. Kamu anak yang baik, Nak, umi Halimah berbisik dalam hati. Mata tuanya mengembun. Maafkan umi jika memaksakan pernikahan ini kepadamu. Tetapi maksud umi baik, agar kamu mendapatkan jodoh gadis baik-baik. Arini gadis yang baik, berbakti kepada orang tuanya, sholeha, pintar masa, santun, dan peduli pada sesama seperti ayahnya.
Hanafi berbalik dan melangkah meninggalkan uminya yang masih terduduk di kursi tengah rumah gadang. Mata Hanafi pun mendadak terasa panas. Mengapa mencinta begitu menyakitkan? Hanafi tidak ingin menjadi anak durhaka, dari kecil, Hanafi telah melihat perjuangan dan pengorbanan uminya dalam membesarkan mereka. Sejak ayah pergi meninggalkan mereka, umi seorang diri mengurus dan menghidupi mereka bertiga. Tidak sedikit kepedihan yang telah mereka alami. Tetapi umi tetap menguatkan mereka, bahwa mereka harus jadi orang berguna, harus menjadi orang sukses. Pendidikan bagi umi adalah prioritas utama. Lalu bagaiman ia akan bisa membuat wanita itu kecewa atau menangis karena ulahnya? Tetapi ini terlalu berat, cintanya untuk Bella begitu besar.
Bersambung ….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar