CERBUNG: BIAS RINDU - EPISODE 4

Jumat, 12 Juni 2020

BIAS RINDU - EPISODE 4

Judul : “Bias Rindu”
Penulis : Naya R
Terima kasih admin/moderator telah menyetujui tulisan ini.
Hanafi duduk terpekur di sisi ranjang Bella. Hanya dalam waktu lima hari, kondisi Bella terlihat jauh berubah. Badannya terlihat lebih kurus, wajahnya pucat dan ada lingkaran hitam di sekitar matanya. Menurut dokter jaga di IGD yang ditemui Hanafi tadi, sebelum pulang dinas tadi tiba-tiba Bella ambruk dan pingsan di ruang praktiknya. Perawat yang mendampingi Bella segera membawa Bella ke IGD. Diagnosa sang dokter, Bella sepertinya menderita tipes. Tetapi menurut Hanafi sakit Bella lebih cendrung kepada depresi klinis Sakit yang disebabkan karena depresi, kelelahan, dan rasa sedih yang berlebihan. Dan semua itu tentu karena dirinya, karena pernikahannya. Hanafi merasa amat berdosa.
Bella terlihat membuka matanya. Matanya kosong menatap langit-langit kamar rumah sakit. Hanafi meneguk ludahnya yang terasa pahit.
“Bella, Alhamdulillah kamu sudah bangun.” Hanafi menyentuh puncak kepala Bella yang tertutup hijab. Bella membuang mukanya. Sungguh, melihat wajah tanpa dosa Hanafi hatinya terasa main sakit.
“Kenapa kamu ke sini? Bukankah ini malam pertamamu?” Bella berkata tanpa melihat wajah Hanafi.
“Jangan menghukum aku seperti ini Bella. Kamu pasti sangat paham dengan kondisi tubuhmu sendiri. Kenapa tidak istirahat jika telah merasa sedang tidak sehat? Mengapa tidak makan dengan baik, tidak minum vitamin. Apa kamu cuma bisa membantu pasien tetapi tidak bisa membantu dirimu sendiri?” Hanafi mencecar Bella dengan tidak sabar. Hanafi tahu, sakit yang diderita perempuan ini pastilah karena kurang tidur, banyak pikiran, tidak makan, dan mengabaikan semua hal tentang dirinya.
“Tidak usah berpura-pura perhatian padaku.” Bella berkata dengan mata berkaca-kaca. Pelan Bella memutar tubuhnya membelakangi Hanafi. Lalu satu persatu air matanya pun tumpah. Gadis itu terisak dengan dada yang terasa sesak. Hanafi terpaku. Laki-laki itu bisa melihat pungggung Bella yang naik turun.
“Sayang, bukan kah kita telah sepakat dari awal. Kita akan bersabar satu atau dua tahun ini. Kamu sudah janji kan akan memberi aku waktu sampai Arini memilih pergi dariku.”
“Pulang lah, biarkan aku sendiri. Datanglah satu tahun lagi dengan membawa janji yang telah kamu ucapkan itu.” Bella menarik selimutnya sampai ke leher. Gadis itu mencoba memejamkan mata. Saat ini yang ingin dilakukannya hanyalah tidur agar bisa melupakan semua rasa sakitnya. Hanafi mengusap wajahnya dengan kasar. Tapi ia tetap duduk diam di kursinya. Ia tidak akan beranjak dari sisi Bella. Akhirnya karena rasa lelah dan kantuk yang mendera, Hanafi pun tertidur di kursinya. Bella yang tidak bisa tidur mencoba telentang. Dan matanya langsung menangkap sosok Hanafi yang tertidur bersandar di kursinya. Tak bisa dipungkiri, hati Bella pun terenyuh melihat kondisi laki-laki yang amat dicintainya itu.
Sementara di ruangan lain, di rumah sakit yang sama, Arini juga tercenung seorang diri. Dari IGD, ayahnya dipindahkan ke ruang ICU. Berbagai macam alat terpasang di tubuh ayahnya. Arini sungguh tidak tega melihatnya. Arini dan Etek Pia menungggu di ruang tunggu ICU. Etek Pia telah tertidur beralaskan bed cover yang diantarkan oleh Pak Munin. Ebberapa keluarga pasien juga terlihat telah lelap dalam tidurnya. Sementara Arini hanya duduk bersandar di samping Etek Pia.
Sebenarnya tubuh gadis itu juga lelah. Matanya juga mengantuk. Tetapi entah mengapa, ia tidak bisa memejamkan mata. Bayangan kepergian Hanafi yang telah resmi menjadi suaminya dan bayangan wajah sang ayah yang penuh penyesalan, silih berganti berkelebat di mata Arini. Ada rasa sesak mengingat semua itu.
Pukul 03.00 dini hari. Arini merapatkan jaket yang membungkus tubuhnya. Kota ini selalu terasa beku pada jam-jam segini. Ditambah lagi dengan pendingin ruangan yang pastilah dihidupkan secara sentral.
“Keluarga Datuak Sutan Bandaro.” Seseorang menyebut nama ayahnya. Arini yang sudah hampir tertidur karena kantuk yang makin kuat menyerang, langsung menegakkan kepala dan bangkit dengan tergesa. Seorang laki-laki dengan seragam berwarna hijau berdiri di depan pintu ruang ICU. Arini bergegas menghampirinya. Sekilas Arini bisa melihat nama yang terukir di baju seragam laki-laki itu. Dokter Adrian. Dengan sedikit rasa heran, Arini mengikuti langkah kaki laki-laki yang ternyata seorang dokter itu. Biasanya perawat yang memanggil dan berurusan dengan keluarga pasien. Tetapi, dokter yang satu ini langsung turun tangan. Sampai di samping ranjang sang ayah, dokter Adrian menoleh pada Arini.
“Bapak Datuak telah sadar. Tadi dia memanggil-manggil nama Arini. Apa itu anda?”
“Benar, Dok. Saya anaknya.” Arini mengangguk.
“Silakan, mungkin ada yang ingin disampaikan oleh ayah Anda. Saya beri waktu sepuluh menit. Setelah itu, Bapak harus segera istirahat.” Dokter Adrian yang bertugas jaga malam itu di ICU berlalu meninggalkan Arini. Arini mendekat pada sang ayah.
“Ayah …” Arini mengusap lembut lengan ayahnya. Datuak Sutan Bandaro mencoba tersenyum. Pelan laki-laki itu mengangguk pada anaknya. Arini membalas senyum ayahnya. Sekuat tenaga perempuan itu menahan bulir-bulir bening yang terasa sudah berdesakan hendak keluar dari matanya. Arini tidak ingin menangis di hadapan ayahnya. Arini tidak boleh kelihatan sedih.
“Ayah, Arini baik-baik saja. Ayah harus sembuh ya, demi Arini.” Arini mengusap kepala ayahnya dengan penuh kasih. Diciumnya kening ayahnya sepenuh perasaan. Sekali lagi Datuak Sutan Bandaro mengangguk. Sudut-sudut mata laki-laki paruh baya itu mengeluarkan setetes bening. Arini menghapusnya dengan jemari tangannya.
“Ayah nggak boleh sedih. Jangan pikirkan apapun. Ayah lihat kan, Arini baik-baik saja.” Arini mengembangkan tangannya dan kembali mencoba tersenyum. Terlihat bibir Datuak Sutan Bandaro bergerak.
“Maaf …” lirih suara itu ke luar dari mulutnya. Arini terpana, ayahnya bisa bicara. Ya Allah, Alhamdulillah. Ternyata ayahnya tidak separah dua bulan lalu. Waktu itu Datuak Sutan Bandaro tidak bisa bicara. Hati Arini merasa sedikit tenang.
“Ayah, Ayah tidak salah apa-apa. Ayah percaya kan dengan ketetapan Allah? InsyaAllah apapun yang dipilihkan dan diberikan Allah untuk Arini, berarti itulah yang terbaik.” Kali ini Arini tidak dapat lagi menahan air matanya. Tetesan bening itu mengalir juga di pipinya. Sekuat tenaga Arini mencoba untuk kuat dan tegar. Tetapi peristiwa demi peristiwa yang menimpanya, tak ayal membuatnya lemah juga.
Seorang perawat berjalan menghampiri Arini.
“Uni, waktunya habis. Kita beri kesempatan kepada Bapak untuk istirahat dulu ya, Uni. Bapak baru sadar, beliau butuh istirahat.” Perawat berseragam toska dengan hijab warna pastel berkata sopan. Arini mengangguk.
“Baik, Sus. Tolong jaga Ayah saya. Kalau ada apa-apa, tolong panggil saya, ya, Sus.” Arini menghapus pipinya yang basah dengan ujung jaketnya.
“Ayah, Arini tunggu di luar ya. Ayah cepat sehat, biar Ayah bisa pulang. Kalau di sini, Arini nggak bisa nunggui Ayah.” Arini memeluk ayahnya dan mencium kening laki-laki tercintanya itu berulang kali.
“Ya …” Datuak Sutan Bandaro menjawab pelan. Mata laki-laki itu terlihat berkaca-kaca. Arini melepaskan pelukannya dan berjalan lunglai meninggalkan ranjang sang ayah. Di pintu ICU, Arini berpapasan dengan dokter Adrian. Laki-laki itu menatap Arini sekilas. Arini mengangguk dengan sopan. Dokter Adrian membalasnya dengan senyuman.
Arini berjalan menuju toilet yang disediakan khusus untuk keluarga pasien ICU. Sedikit menggigil, Arini membasuh mukanya dengan air wudu. Dingin air yang seperti es menusuk sampai ke tulang sum-sumnya. Setelah selesai berwudu, Arini mengambil mukena dan sajadahnya. Arini membentangkan sajadahnya di sudut ruang tunggu ICU. Pelan perempuan itu mulai melaksanakan salat malamnya. Sejak duduk di bangku SMP, Arini telah terbiasa melaksanakan salat malam. Namun kali ini entah mengapa, salat malamnya terasa amat berbeda. Air mata tak henti mengalir di kedua pipinya.
Seharusnya ini menjadi malam pertamanya yang mendebarkan. Seharusnya ia tidur di ranjang pengantinnya dengan laki-laki yang telah berstatus sebagai suaminya itu. Tetapi, di manakah laki-laki itu sekarang? Arini mencoba membuang semua pikiran yang mengganggu kekhusukannya. Sekuat tenaga Arini kembali memusatkan hati, jiwa dan pikirannya hanya kepada pemilik hatinya yang hakiki. Dan rasa tenang serta nyaman mulai merambati hati dan dadanya. Sesaat Arini melupakan dunia dan segala persoalannya. Ia khusuk dan tunduk di hadapan sang penggenggam hati.
*******
Arini berjalan pelan menuju kantin rumah sakit. Walau bagaimana pun, ia harus bisa menjaga dirinya sendiri. Ia harus tetap sehat dan kuat agar bisa mengurus dan menjaga ayahnya. Mereka hanya hidup berdua. Untuk itu, meski tidak berselera, Arini tetap akan memaksakan diri untuk makan dan sarapan. Etek Pia telah pulang dari habis salat subuh tadi dijemput oleh Amin. Etek Pia bilang hari ini ia akan membersihkan rumah bekas alek (pesta) kemarin.
Arini merapatkan jaketnya begitu masuk ke dalam kantin. Kantin terlihat cukup ramai. Arini memesan bubur ayam dan air mineral. Setelah itu, Arini mencari tempat duduk yang masih kosong. Tidak berapa lama pesanannya datang. Arini membuka air mineralnya dan meminumnya beberapa teguk. Baru saja perempuan itu akan menyendok buburnya, seseorang meminta izin padanya.
“Boleh saya duduk di sini?” Arini mengangkat wajahnya. Sosok laki-laki yang telah berganti kostum itu berdiri dengan senyum menawan di hadapan Arini.
“Silakan, Dok.” Arini menjawab kaku. Memang sepertinya meja dan kursi yang lain telah penuh terisi. Sisa meja yang di depan Arini ini saja yang masing kosong.
“Terima kasih.” Dokter Adrian duduk di hadapan Arini.
“Ayo, lanjutkan saja sarapanmu.” Dokter Adrian mempersilakan Arini yang terlihat bingung mau menyendok kembali buburnya.
“Ya, Dok.” Arini mengangguk pelan.
“Namamu Arini, kan?”
“Iya, Dok.”
“Nama saya Adrian.”
“Iya, Dok.”
“Kamu seperti ketakutan melihat saya. Tenang saja, saya tidak akan menyuntikmu.” Adrian mencoba mencandai Arini yang terlihat amat kaku menghadapinya. Tak ayal Arini tersenyum juga, dan mata yang tadi terlihat sayu sedikit bersinar. Adrian terpana.
“Dari kecil aku memang paling takut dengan dokter dan polisi.” Arini membuka suara.
“Wow, kenapa?” Adrian merasa takjub akhirnya gadis di depannya ini mau juga berbicara dengannya. Entahlah, sejak malam tadi, ketika Adrian masuk ke ruang ICU dan melihat gadis itu duduk tertunduk di ruang tunggu ICU, ada rasa iba yang menyusup ke hati Adrian. Gadis itu terlihat amat bersedih dan juga rapuh.
“Entahlah, mungkin memang seperti yang dokter katakan tadi, aku takut disuntik dan aku takut ditangkap.” Arini tertawa renyah di ujung ucapannya.
“Ternyata benar dugaanku.” Dokter Adrian ikut tertawa. Bersamaan dengan itu sarapan yang dipesannya pun datang. Bubur ayam dan segelas susu. Arini melirik sekilas pesanan laki-laki di depannya ini. Ternyata pesanan mereka sama. Sebelum dokter Adrian mulai menyendok sarapannya, Arini pamit kembali ke lantai tiga.
“Maaf, Dok. Saya duluan naik.”
“Oh, ya. Silakan.” Dokter Adrian tersenyum dan mengangguk. Arini bangkit dan berjalan menuju kasir. Setelah membayar sarapannya, Arini bergegas menuju ruang tunggu ICU.
Arini menekan tombol lift. Tidak berapa lama pintu lift di depannya terbuka. Tubuh Arini membeku. Di depannya, Hanafi sedang memegang kursi roda dengan seorang perempuan cantik di atasnya. Selang infus terlihat terpasang di tangan kanannya. Hanafi pun terpaku. Ia tidak pernah menyangka akan bertemu dengan perempuan yang telah sah menjadi istrinya itu. Pelan Arini masuk ke dalam lift dan berdiri di samping Hanafi.
“Sedang apa?” Hanafi bertanya dengan perasaan yang campur aduk. Entah mengapa ada rasa tidak enak di hati Hanafi dengan keadaan seperti ini.
“Ayah dirawat di ICU.” Arini menjawab singkat.
“Di ICU? Kenapa?” Hanafi terlihat kaget mendengar jawaban Arini.
“Serangan jantung tadi malam.” Arini menjawab dingin bersamaan dengan pintu lift yang terbuka. Lantai tiga. Deg. Jantung Hanafi langsung bergedup kencang mendengar jawaban dingin Arini. Apakah karena kepergiannya tadi malam yang telah menyebabkan mamaknya itu terkena serangan jantung? Tanpa berkata dan pamit pada Hanafi, Arini ke luar dari lift. Susah payah Arini menahan air matanya agar tidak tumpah. Apakah ia mencintai Hanafi? Mengapa ada yang terasa pedih di hatinya melihat suaminya itu mengurus dan menjaga perempuan lain?
“Siapa?” Bella bertanya singkat.
“Arini.” Hanafi pun menjawab singkat. Bella terdiam, dalam hati ada yang terasa sakit. Ternyata perempuan yang telah menjadi istri kekasihnya itu sangat cantik. Cantik dan ada sesuatu di dirinya yang membuat orang langsung menyukainya. Entah apa itu, Bella pun tidak bisa menjelaskannya. Dan sepertinya suatu keniscayaan jika laki-laki normal seperti Hanafi tidak akan menyukai perempuan seperti istrinya itu.
Sampai di lantai enam, pintu lift terbuka. Hanafi mendorong kursi roda Bella menuju kamarnya. Sampai di kamar, Bella menolak uluran tangan Hanafi yang akan membantunya naik ke ranjang. Bella menguatkan dirinya agar bisa kembali berbaring. Akhirnya Hanafi hanya membantu meletakkan infus Bella di tiang besi di sisi ranjang. Mereka sama-sama diam tidak bicara. Padahal sebelum pergi berjemur ke halaman samping rumah sakit beberapa waktu tadi, keduanya terlihat baik dan berbahagia seperti tidak ada masalah apa-apa. Hanafi diam dengan rasa bersalah pada Arini dan mamaknya, sementara Bella diam karena rasa cemburu melihat Arini.
“Tidurlah, aku akan ke ICU sebentar.” Hanafi merapikan selimut Bella. Bella kembali diam tidak menjawab.
“Nanti aku minta tolong pada perawat untuk menemanimu di sini.” Hanafi melangkah ke luar kamar. Bella mencoba memejamkan matanya. Tetapi, matanya terasa panas dan tak dapat ditahannya buliran bening itu pun mengalir di kedua pipinya. Membayangkan Hanafi akan menemui perempuan itu, hati Bella terasa sakit. Walau bagaimanapun, saat ini perempuan itulah yang telah halal untuk Hanafi. Siapa yang bisa menjamin, Hanafi tidak akan menyentuhnya, tidak akan menyukainya? Sementara mereka akan bertemu setiap hari, setiap saat. Bella tersedu.
Hanafi sampai di ruang ICU. Dan dilihatnya Arini duduk meringkuk di kursi ruang tunggu. Beberapa orang juga terlihat duduk di kursi dan di atas karpet.
“Arini.” Hanafi memanggil nama istrinya itu untuk pertama kalinya. Arini mendongak. Dan pipinya yang basah oleh air mata, tak ayal membuat hati Hanafi terenyuh juga.
“Aku mau masuk ke dalam. Apa kamu mau ikut?” Arini mengusap pipinya yang basah dengan ujung jilbabnya. Sejurus kemudian, perempuan itu terlihat menggeleng.
“Tidak usah, aku nanti saja pas jam bezuk.” Arini menjawab pelan.
“Melihat kehadiran kita berdua akan baik untuk Mamak.” Hanafi yang masih dihinggapi rasa bersalah mencoba meyakinkan Arini. Akhirnya Arini pun bangkit dan berjalan di belakang Hanafi. Beriringan mereka masuk ke ruang ICU. Hanafi berbicara dengan seorang perawat. Mereka berdua pun dipersilakan untuk menemui ayah Arini. Sesampai di samping ranjang ayahnya Arini kembali terisak. Ayahnya terlihat tenang dalam tidurnya. Tetapi berbagai alat yang terpasang di tubuhnya itu membuat ayahnya benar-benar seperti pesakitan.
Hanafi menoleh begitu mendengar isakan perempuan di sampingnya. Entah mengapa, untuk kedua kalinya Hanafi terenyuh melihat tubuh rapuh Arini. Hanafi ingin memeluk pundak istrinya itu, tetapi sisi hatinya yang lain melarang.
“Mamak akan baik-baik saja, percayalah. Mamak telah ditangani dengan baik.” Akhirnya hanya itu yang diucapkan Hanafi untuk menenangkan Arini. Mendengar suara-suara di sampingnya, pelan mata Datuak Sutan Bandaro terbuka pelan-pelan. Arini cepat-cepat menghapus air matanya dan menggigit bibirnya.
“Kalian datang.” Datuak Sutan Bandaro berkata dengan lemah.
“Ya, Mak. Kami datang.” Hanafi menjawab dan mencoba tersenyum.
“Hanafi, Mamak ingin pindah ke ruangan yang biasa. Di sini, Arini tidak bisa menjaga Mamak. Mamak ingin melewatkan hari-hari yang masih tersisa bersama Arini.” Datuak Sutan Bandaro terlihat terengah-engah mengucapkan kata-kata yang lumayan panjang. Arini tertegun mendengar ucapan ayahnya.
“Mamak, kondisi Mamak masih belum terlalu baik. Di sini peralatan yang dibutuhkan untuk memantau kondisi Mamak lebih lengkap. Pas jam bezuk, Arini akan selalu menemani Mamak di sini.” Hanafi berkata dengan hati-hati.
“Tidak, Mamak sudah tidak mau memakai alat-alat ini. mamak sudah sehat. Kamu lihat kan? Mamak sudah bisa bernapas dengan baik, sudah bisa bicara banyak.” Mak Datuak mencabut selang oksigen di hidungnya. Hanafi mencoba menahannya, tetapi tangan mamaknya itu terasa lebih kuat. Akhirnya Hanafi menyerah.
“Baiklah, Mak. Nanti saya coba bicarakan dengan dokter yang menangani Mamak ya.” Hanafi mencoba menenangkan mamaknya. Terlihat senyum tersungging di wajah datuak Sutan Bandaro. Arini memalingkan wajahnya dan kembali tetesan-tetesan bening itu mengalir membasahi pipinya. Arini sedih melihat ayahnya seperti ini.
“Satu lagi Hanafi, tolong jangan sakiti Arini.” Datuak Sutan Bandaro berkata lirih dan kembali menutup matanya. Hanafi membeku di tempatnya berdiri. Laki-laki itu tidak tahu harus menjawab apa.
Bersambung ….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar