CERBUNG: BIAS RINDU - EPISODE 3

Jumat, 12 Juni 2020

BIAS RINDU - EPISODE 3

Judul : “Bias Rindu”
Penulis :Naya R
Terima kasih admin/moderator telah menyetujui tulisan ini.
Hanafi melipat surat yang baru dibacanya dan meletakkannya di atas meja. Rumah sakit swasta tempat Hanafi mengabdi ini membuka cabang di Bukit Tinggi. Dan Hanafi ditugaskan untuk ikut merintis di rumah sakit baru tersebut.
Bagi Hanafi, tugas dan amanah yang diberikan padanya dianggap sebagai sebuah penghargaan dan kepercayaan. Tetapi, jika ia pindah ke Bukit Tinggi, itu berarti ia akan berjauhan dengan Bella. Karena Bella tugas dan praktiknya di kota Padang. Dan jika ia memang akan pindah, maka Bella juga harus ikut pindah ke Bukit Tinggi. Besok Hanafi akan coba bicara dengan Bella. Semoga Bella mau menuruti keinginannya.
Esok malamnya, sebelum Hanafi pulang ke Bukit Tinggi, Hanafi membicarakan masalah kepindahannya kepada Bella. Hanafi juga menawarkan untuk pindah tugas pada Bella. Jawaban Bella sungguh membahagiakan hati Hanafi. Bella megatakan akan meminta izin kepada kedua orang tuanya untuk ikut pindah ke Bukit Tinggi. Karena dari dulu Bella memang ingin tinggal dan menetap di kota wisata tersebut. Kota yang memiliki keindahan alam mempesona itu, selalu membangkitkan rindu di hati Bella. Ditambah lagi dengan cuacanya yang dingin dan sejuk, membuat tubuh nyaman sepanjang hari.
Sampai di Bukit Tinggi, Hanafi melihat rumah gadang telah dihias dengan dengan berbagai kain warna khas Minangkabau. Di dalam rumah, pelaminan sederhana sudah terpasang dengan indahnya. Padahal hari pernikahannya dengan Arini masih dua minggu lagi. Melihat itu semua, tulang-tulang Hanafi serasa begitu lemah seperti tak bertenaga.
“Wah, Uda dokter sudah pulang.” Annisa menyambut Hanafi di ruang tengah. Hanafi hanya membalas ucapan adiknya dengan senyum yang terlihat patah.
“Uda dokter kenapa? Kok seperti tidak bersemangat gitu? Annisa bikinkan teh hangat ya, da?” Annisa mengikuti langkah kaki udanya ke meja makan di ruang tengah. Hanafi duduk di salah satu kursinya. Meja makan ini telah ada di rumah gadang ini sejak Hanafi masih duduk di sekolah dasar dulu.
“Mau teh hangat, da?” Annisa masih penasaran dengan sikap udanya.
“Ya, boleh. Gulanya satu sendok aja, ya.” Hanafi mencoba tersenyum pada adiknya. Annisa mengangguk senang. Akhirnya udanya bersuara juga.
“Siap, Uda dokter!” Annisa mengacungkan jempolnya pada Hanafi. Hanafi kembali tersenyum, adiknya telah beranjak dewasa sekarang. Dan dia tumbuh menjadi gadis yang cantik, pintar, juga periang. Meski kondisi keluarga mereka jauh dari kata senang, tetapi adiknya ini tidak pernah murung ataupun minder dengan kondisi keluraga mereka. Di sekolah, Annisa menjadi anak yang berprestasi. Karena umi mereka selalu berpesan, mereka tidak memiliki harta, tetapi mereka bisa mendapatkannya kelak asal punya ilmu. Maka dari itu, pendidikan bagi umi adalah yang nomor satu.
Sekarang, Hanafi telah mampu mengambil semua beban dan tanggung jawab umi. Biaya kuliah Harun dan sekolah Annisa, Hanafi yang memberikan. Untuk hidup umi sehari-hari, juga Hanafi yang menanggung. Hanafi tidak ingin uminya bekerja keras lagi mengurus petak-petak sawah mereka yang tidak seberapa itu. Sudah cukup perjuangan uminya selama ini kepada Hanafi dan kedua adiknya. Kini saatnya Hanafi membalas semua jasa dan pengorbanan uminya.
“Ini, Da. Minum dulu.” Annisa meletakkan gelas berisi the hangat di hadapan Hanafi.
“Ya, Dek. Makasih, ya.” Hanafi mengaduk gelas di depannya dengan sendok kecil yang telah disediakan Annisa di dalam gelasnya.
“Ya, Da. Sama-sama.”
“Umi kemana, Dek?”
“Katanya tadi ke rumah Uni Arini, Da. Tadi menemani Uni Arini mengambil baju nikahnya di tukang jahit.”
“Oh.” Hanafi menjawab enggan. Ah, andai semua ini hanya mimpi, Hanafi menggumam dalam hati.
“Annisa dan Umi juga dibikinkan baju sama Uni Arini, Da. Cantik sekali.”
“Ya.”
“Da, kok Uda nggak pergi nyari baju nikah berdua dengan Uni Arini, sih, Da? Kayak yang di cerita-cerita itu lho, Da.” Annisa menatap udanya dengan mata bulatnya.
“Kebanyakan baca cerita kamu.” Hanafi mentowel hidung mancung adiknya dengan gemas.
“Ish, Uda payah. Nggak romantis. Padahal Uni Arini kan cantik, Da. Baik hati lagi. Aku sering lihat lho, Da, Uni Arini manggil anak-anak pulang dari surau. Diajak ke rumahnya, lalu disediakan makan, minum, pulangnya masih dikasih kue lagi.” Annisa bercerita dengan suara menggebu-gebu.
“Sudah, ah. Uda mau mandi dan istirahat dulu. Ngobrol sama kamu mah nggak akan pernah selesai-selesai.” Hanafi bangkit dan berjalan menuju kamarnya di ujung rumah gadang.
“Ya, si Uda. Payah, nggak punya selera bagus.” Annisa memonyongkan mulutnya dengan kesal pada sang uda. Hanafi tidak lagi menghiraukan ucapan adiknya, dengan langkah lebar laki-laki itu masuk ke kamarnya. Ucapan dan omongan Annisa tentang Arini semakin membuat Hanafi sakit kepala.
Usia Hanafi dan Arini terpaut cukup jauh. Hanafi tahun ini genap 33 tahun, sementara Arini baru 23 tahun. Mereka terpaut sepuluh tahun. Hanafi ingat, dulu ketika ia telah duduk di bangku SMA, mamaknya, Datuak Sutan Bandaro, setiap bulan memanggilnya dengan Harun untuk datang ke rumah mamaknya itu. Mereka disuruh makan dan pulangnya diberi uang untuk jajan sebulan. Dan setiap datang ke sana, Hanafi selalu bertemu dengan Arini kecil. Gadis kecil itu dulu selalu sembunyi di balik gorden setiap Hanafi dan Harun datang.
Terkadang Arini hanya memakai singlet dan celana dalam. Lalu sekarang, bagaimana Hanafi akan memiliki rasa lain pada gadis kecil itu? Ya, di mata Hanafi, Arini masih tetap gadis kecil yang masih ingusan. Sangat berbeda dengan Bella yang dewasa dan matang. Ditambah lagi dengan status dirinya yang seperti “dibeli” oleh sang mamak untuk menikahi anaknya. Hanafi merasa benar-benar kehilangan harga diri.
************
Hanafi dan Bella duduk bersisian menghadap ke laut. Ombak datang dan pergi bersama angin. Deburannya seperti alunan musik. Sementara angin yang menerpa kulit terkadang terasa sejuk dan terkadang juga terasa hangat. Matahari semakin condong ke barat. Bias warnanya yang kemerahan terlihat amat indah.
“Jadi tinggal seminggu lagi, ya, Da?” Bella berucap lirih dengan mata yang mulai mengabur. Ternyata begini rasanya melepas orang yang kita cintai untuk menikah dengan orang lain. Perih … sangat perih.
“Iya, Sayang. Tapi hanya untuk sementara kan?” Hanafi mencoba tersenyum, meski senyumnya juga patah.
“Kenapa tidak kita coba saja untuk menemui Umi Uda?” Bella menoleh pada Hanafi. Dan kali ini pipinya benar-benar telah basah oleh air mata.
“Jangan … jangan, Sayang. Umi memang sangat baik, sebagian hatinya amat lembut, tetapi ada juga sebagian hatinya yang amat keras, yang tidak bisa kita bantah.” Hanafi berkata dengan suara parau. Kerongkongannya terasa sakit menahan gejolak perasaannya. Antara cinta pada gadis di sampingnya ini dan cinta pada uminya, sang pejuang hidupnya.
“Sabar ya, Bella. Kita hanya perlu sedikit bersiasat. Apalagi, gadis itu juga tidak mencintai Uda. Tidak akan terlalu sulit membuatnya menyerah pada pernikahan ini.” Hanafi berkata dengan penuh keyakinan.
“Baiklah, tetapi tidak ada yang berubah kan dalam hubungan kita? Kita akan tetap bertemu, mengirim pesan, dan saling menelepon kan?” Bella menatap Hanafi dengan luruh.
“Iya, Uda janji.” Hanafi mengangguk yakin.
“Lalu besok, Uda sudah dinas di Bukit Tinggi, kan?”
“Ya, dan Uda tunggu kepindahan kamu dua hari berikutnya. Jangan mungkir.” Hanafi menatap gadis di sampingnya dengan penuh kasih.
“Memang Uda nggak cuti nikah?” Bella menatap Hanafi dengan wajah sendu. Tidak terlihat lagi keceriaan dan keriangan di wajah cantiknya.
“Tidak lah, ngapain Uda ngambil cuti. Baru juga bertugas di sana.” Hanafi berkata dengan suara tegas. Hati Bella kembali terasa hangat mendengar jawaban Hanafi.
“Kalau gitu, berangkatlah sekarang.” Bella mengalihkan tatapannya pada laut di depannya.
“Ayo, Uda antar sebelum pulang ke Bukit.”
“Aku masih ingin di sini, Da. Pergilah, nanti aku pulang sendiri.”
“Tapi …”
“Pergilah, Da. Pergilah sebelum aku menahan langkah Uda untuk selamanya.” Bella masih menatap lurus ke depan. Laut di depannya seakan mengejek nasib dan takdir dirinya.
“Baiklah, Uda berangkat ya. Jangan pulang terlalu lama, sebentar lagi magrib.” Dengan enggan Hanafi bangkit lalu berjalan perlahan meninggalkan Bella yang tak sedikitpun menoleh padanya. Hanafi menuju motornya yang terparkir tidak jauh dari tempat mereka duduk. Meski berat hatinya meninggalkan Bella sendirian, tetapi Hanafi tetap harus pergi. Hanafi menatap punggung Bella sekali lagi. Hanafi bisa melihat punggung gadis itu turun naik, pastilah ia sedang menangis sekarang. Menangisi kepergian Hanafi, sang kekasih hati. Mata Hanafi mendadak juga terasa kabur.
Telah begitu banyak yang mereka lalui berdua. Berjuang mendapatkan gelar dokter, mengerjakan tugas-tugas bersama, berjuang mengikuti program internship di daerah terpencil. Ah, begitu banyak yang telah mereka lalui bersama. Sebagai sesama anak kos di rantau orang, mereka juga kerap berbagi uang belanja jika kiriman masing-masing ada yang datang terlambat. Dengan hati yang patah, Hanafi menaiki motornya dan beberapa saat kemudian laki-laki itu meninggalkan pantai dengan mata yang juga basah. Untuk pertama kali, ia menangis karena cinta.
Setelah Hanafi pergi, Bella pun bangkit dari duduknya. Gadis itu berjalan menyusuri pantai. Dibukanya sandal yang dipakainya dan ditentengnya dengan tangan kirinya. Bertelanjang kaki, Bella menapaki pasir putih pantai Padang. Anak-anak masih terlihat asyik mandi dan berkejaran di bibir pantai. Para orang tua menenami anak-anaknya dengan ikut mandi dan basah-basah. Pemandangan yang selalu ada di setiap akhir pekan.
Bella mengusap matanya dengan tangan kanan. Hatinya mendadak terasa lengang. Bella merasa cintanya telah berakhir. Berakhir dengan teramat tragis. Saling mencintai, tetapi tidak bisa saling memiliki. Cinta ternyata begitu kejam untuknya. Takdir ternyata begitu jahat padanya. Bella berhenti di tempat yang agak lengang.
Dipungutnya sebuah batu dan dengan sekuat tenaga dilemparkannya batu di tangannya itu ke laut. Air matanya kembali tumpah. “Tuhan, mengapa begitu sakit rasanya!” Bella berteriak di antara derai air matanya. Lalu sesaat kemudian gadis itu luruh di atas pasir. Bella menangis sesugukkan. Ombak sesekali datang menjilati kaki dan lututnya. Bella membiarkan separuh badannya basah oleh air laut.
*****
Akhirnya hari yang paling menakutkan bagi Hanafi itu pun tiba. Bersanding di pelaminan dengan gadis yang sama sekali tidak dicintainya. Pagi tadi mereka telah melangsungkan akad nikah. Datuak Sutan Bandaro benar-benar mempersiapkan alek gadang (pesta besar) untuk anak dan kemenakannya. Mengundang seluruh orang kampung tanpa terkecuali. Mengundang panti-panti asuhan yang ada di sekitar kampung mereka.
Berbagai prosesi yang terasa memuakkan bagi Hanafi telah mereka lewati. Berbalas pantun oleh para niniak mamak, tari persembahan dengan membawa carano yang berisi sirih dan pinang, dilanjutkan dengan tari piring dan ditutup dengan atraksi menginjak kaca beling tanpa alas kaki. Hanafi menyaksikan semua itu tanpa ekspresi. Sesekali Arini mencuri pandang pada laki-laki yang sedang duduk bersanding di sampingnya itu. Dan Arini hanya dapat meneguk ludahnya dengan kerongkongan yang terasa sakit. Tak ada senyum di wajah laki-laki yang telah berstatus sebagai suaminya ini.
Ya, suami. Tetapi hati mereka seperti berjarak ribuan kilo. Mereka seperti berada di dua kutub yang berbeda. Ketika menyalami para tamu undangan, barulah terlihat sedikit senyum di ujung bibir Hanafi. Itupun terlihat amat dipaksakan. Ah, sudahlah, Arini menepis segala rasa yang tengah berkecamuk di hatinya. Yang penting ayahnya bahagia dengan pernikahannya ini. Apapun nanti yang akan dialaminya setelah ini, Arini pasrah. Bagi Arini kebahagiaan ayahnya adalah segala-galanya.
Umi Halimah terlihat yang paling sibuk. Meskipun kursi disediakan untuknya di samping pengantin, tetapi wanita paruh baya itu tidak bisa duduk diam di kursinya. Ia masih juga mondar mandir mengurus segala sesuatunya ke bawah pentas. Padahal untuk urusan masak, hidangan, dan tamu telah ada yang mengurusnya. Semua sanak saudara dengan giat membantu mereka. Karena ini merupakan pernikahan pertama keluarga Datuak Sutan Bandaro.
Sementara Datuak Sutan Bandaro terlihat duduk tenang dengan wajah bahagia di samping kedua mempelai. Laki-laki itu merasa, kebahagiannya telah lengkap. Tugas dan tanggung jawabnya pada Arini telah sampai di batas akhir. Telah ada suami yang akan menjaga dan melindungi anak semata wayangnya itu. Kelak jika ia harus pergi, Datuak Sutan Bandaro bisa pergi dengan hati tenang. Sebab ia telah menitipkan Arini pada keluarganya sendiri. Kepada kemenakan kandungnya sendiri.
Pukul 22.00 Arini baru dapat bernapas lega. Suntiangnya telah dibuka. Baju anak daronya juga telah dilepas. Begitulah kalau pesta di kampung. Sampai isya pun masih ada tamu yang datang. Arini memakai pakaian tidur setelan celana panjang dengan blus lengan pendek. Baju tidur berbahan satin itu terlihat cantik di tubuh sintalnya. Kulitnya yang putih mulus terlihat amat kontras dengan warna baju hijau lumutnya. Rambut sepunggungnya tergerai indah.
Sejak masuk ke kamar tadi, belum ada satu katapun yang terucap dari bibir mereka. Entahlah, Arini merasa takut untuk menegur Hanafi. Wajah Hanafi benar-benar terlihat tidak bersahabat padanya. Akhirnya Arini memilih duduk di kursi meja rias dan mulai membersihkan wajahnya.
Hanafi masuk kamar mandi tanpa bersuara. Pikiran laki-laki itu hanya satu, bagaimana keadaan kekasih hatinya saat ini. Baru empat hari Bella pindah tugas juga ke kota ini, dan telah ia tinggal menikah. Hanafi mandi dan berganti pakaian di kamar mandi. Dan begitu ke luar dari kamar mandi, terdengar ponselnya berbunyi. Tergesa Hanafi mengambil ponselnya dan langsung menerima panggilan yang masuk.
“Apa?” Hanafi berteriak panik begitu mendengar suara di seberang telepon.
“Baik, saya segera ke rumah sakit.” Hanafi menutup teleponnya dan menyambar kunci motornya yang digantung di samping pintu kamar. Hanafi membuka pintu kamar dan dengan tergesa melangkah keluar kamar menuju pintu depan. Arini ikut bangkit dan sedikit berlari mengejar Hanafi.
“Uda!” Arini memanggil Hanafi dengan berani. Hanafi menghentikan langkahnya sebelum laki-laki itu mencapai pintu depan. Rumah sudah terlihat sunyi. Mungkin sudah pada kecapean, sehingga beberapa saudara terlihat tertidur di depan pelaminan.
“Ada apa?” Hanafi berbalik dan menatap perempuan yang telah sah menjadi istrinya itu.
“Uda mau kemana?” Arini bertanya dengan suara bergetar tanpa berani menatap mata Hanafi.
“Aku mau ke rumah sakit. Bella masuk IGD. Aku akan mengurus dan menjaganya.” Hanafi berkata dengan lantang tanpa menjaga sedikit saja perasaan Arini. Arini tergugu. Bella. Diakah kekasih hati suaminya ini? Hanafi berbalik dan membuka pintu. Lalu ke luar dan berjalan menuju garasi. Arini terpaku menatap kepergian Hanafi. Laki-laki itu benar-benar membencinya. Laki-laki itu meninggalkannya di malam pertama mereka.
“Arini … kenapa, Nak?” tiba-tiba Datuak Sutan Bandaro telah berada di samping anaknya. Arini menoleh dengan kaget. Cepat Arini menghapus air mata yang ternyata telah membasahi pipinya.
“Tidak ada apa-apa, Ayah.” Arini mencoba tersenyum pada ayahnya.
“Dia pergi?” suara Datuak Sutan Bandaro terdengar bergetar.
“Tidak apa-apa, Ayah. Tidak apa-apa.” Arini kembali tersenyum pada ayahnya. Tapi kembali bening itu mengalir di pipinya, meski sudah ditahannya sekuat tenaga.
“Ternyata Ayah menyakitimu. Ternyata keputusan Ayah salah.” Laki-laki paruh baya itu terhuyung ke belakang seraya memegang dadanya.
“Ayah!” Arini merangkul tubuh ayahnya dengan kuat.
“Maafkan, Ayah, Nak.” Suara Datuak Bandaro hilang bersama tubuhnya yang luruh ke lantai.
“Ayah!” Arini menjerit seraya memeluk tubuh ayahnya yang jatuh bersama tubuhnya di lantai. Untung Arini bisa memeluk bagian atas tubuh ayahnya sehingga kepala ayahnya tidak terhempas ke lantai.
“Ada apa, Nak?” Etek Pia dan beberapa orang yang sudah mulai terlelap berhamburan ke arah Arini dan ayahnya.
“Etek, ambilkan jilbab panjang dan kunci mobil di kamar Arini, Tek.” Arini berkata pada Etek Pia dengan tangisan.
“Baik, Nak.” Etek Pia bergegas menuju kamar Arini. Sementara saudara-saudara jauh yang masih berada di rumah Arini mencoba menyadarkan Datuak Sutan Bandaro dengan mengoleskan minyak kayu putih ke hidungnya. Tetapi tidak membantu apa-apa. Etek Pia datang dengan membawa jilbab dan kunci mobil. Arini menerimanya dan langsung memakai jilbab panjang itu dengan tergesa.
“Pak Etek, Uda Jafar, dan Amin, tolong bantu angkat ayah ke mobil, ya.” Arini yang masih belum berhenti menangis berkata dengan panik.
“Ya, Nak. Ayo,” Pak Etek Munin mengkomando Uda Jafar dan Amin. Dibantu dengan Etek Pia dan juga Arini, mereka mengangkat Datuak Sutan Bandaro ke mobil. Arini bergegas masuk ke mobil dan meminta Pak Etek Munin dan Uda Jafar untuk ikut dengannya ke rumah sakit. Arini mencoba menenangkan diri agar bisa menyetir dengan baik. Ayahnya harus segera mendapatkan bantuan.
Bersambung ….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar