CERBUNG: BIAS RINDU - EPISODE 8

Sabtu, 13 Juni 2020

BIAS RINDU - EPISODE 8

Judul: “Bias Rindu”
Penulis: Naya R
Terima kasih admin/moderator telah berkenan menyetujui tulisan ini.
Arini menatap Hanafi dan Etek Halimah dengan ragu. Etek Halimah tersenyum.
“Duduklah, Nak.” Etek Halimah melambaikan tangan pada Arini dan menepuk sofa di sampingnya. Hanafi menggeser duduknya memberi tempat pada Arini. Arini pun mendekat dan duduk di antara Hanafi dan Etek Halimah.
“Ini ibunya dokter Adrian. Beliau ingin bicara denganmu.” Etek Halimah merengkuh bahu Arini lembut.
“Ya, Bu. Ada yang bisa saya bantu?” Arini menatap perempuan yang juga sedang menatap ke arahnya. Wanita paruh baya itu menatap Arini dengan mata berkaca-kaca. Sementara Adrian dan Hanafi sama-sama terlihat kaku.
“Ibu, Maknya Adrian, Nak. Maaf kalau Ibu baru sempat datang ke sini. Kemarin malam, Adrian tanpa sengaja bercerita tentang seorang laki-laki yang bernama Datuak Sutan Bandaro. Ingatan Ibu langsung melayang pada kejadian delapan tahun silam. Waktu itu, anak Ibu Adrian lulus di jurusan kedokteran di salah satu universitas di tanah Jawa. Ibu tidak punya biaya. Ibu pergi ke tempat Pak Munin dengan membawa seekor sapi. Ibu bermaksud untuk menjual sapi tersebut kepada Pak Munin. Hanya sapi itulah harta ibu satu-satunya kala itu.” Ibu Adrian berhenti sejenak. Perempuan dengan dandanan sederhana itu mengusap matanya yang basah. Arini menyodorkan kotak tisu pada Adrian. Adrian mengambilnya dan memberikan pada ibunya. Dokter muda itu kemudian memeluk ibunya memberi kekuatan.
“Kebetulan saat itu, ada induak samangnya (bosnya) Pak Munin, Datuak Sutan Bandaro. Pak Datuak bertanya pada Ibu, kenapa sampai menjual sapi. Entah mengapa, Ibu menceritakan tentang kondisi Ibu saat itu, yang sedang membutuhkan uang untuk biaya Adrian. Mendengar cerita Ibu, Pak datuak menyuruh membawa sapi itu pulang kembali. Ibu bingung. Ibu pikir Pak datuak tidak mau membeli sapi Ibu. Tetapi ternyata …” Ibu Adrian kali ini terisak. Hanafi, Arini dan Etek Halimah menunggu kelanjutannya dengan rasa penasaran.
“Tetapi, ternyata … Pak Datuak memberikan bantuan untuk Adrian. Pak Datuak membayarkan uang masuk Adrian ke universitas, membayarkan ongkos Adrian ke Jawa. Dan setiap semester Pak Datuak selalu memberikan bantuan SPP pada Adrian dengan mengirimkannya langsung ke rekening Adrian. Pak Datuak hanya minta satu hal, untuk merahasiakan bantuannya, baik pada Adrian sendiri atau pada siapa pun. Jadi Adrian tidak pernah tahu jika biaya kuliahnya selama ini berasal dari seorang dermawan yang bernama Datuak Sutan Bandaro.” Suara Ibu Adrian bercampur dengan tangisan lirih. Arini terpaku, begitu juga dengan Hanafi dan Etek Halimah.
Dada Arini terasa penuh oleh rasa kagum dan bangga. Ternyata ayahnya seorang laki-laki yang hebat. Laki-laki luar biasa yang membantu sesama tanpa pamrih. Barangkali masih ada Adrian Adrian yang lainnya, salah satunya Udin, anak yatim piatu yang dibawa ayah ke rumah ini, disekolahkan dan dibiayai kebutuhan sehari-harinya. Mata Arini terasa panas. Ada rasa haru, bangga, dan takjud di hatinya. Semua campur aduk jadi satu.
“Jadi, bisa dikatakan, Adrian adalah anak asuh dari Pak Datuak. Meski Adrian tidak pernah tahu akan hal itu. Dan ketika Adrian bercerita kalau ia memiliki seorang pasien yang bernama Datuak Sutan Bandaro, hati ibu langsung menebak kalau itu adalah orang yang sama yang telah membantu Adrian. Adrian bilang, sebelum Pak Datuak pergi, Pak Datuak berpesan pada Adrian agar mau menganggap anaknya sebagai saudara. Padahal Pak datuak tidak pernah bertemu Adrian sebelumnya. Rahasia Allah memang luar biasa.” Wanita yang memakai baju kurung berwarna kuning pudar itu kembali terisak. Arini pun sama, perempuan berhati lembut itu ikut menangis. Terbayang lagi saat ayahnya menitipkan dirinya pada Adrian.
Allah memang penulis scenario yang paling hebat. Sementara Hanafi merasa malu hati mendengar cerita Ibu Adrian. Ternyata mamaknya itu orang yang sangat tulus. Berarti laki-laki itu menjodohkan Hanafi dengan anaknya, semata-mata bukan karena ingin meminta balas budi. Tetapi benar apa yang dikatakannya. Ia hanya mempercayai Hanafi dan ibunya untuk menitipkan Arini jika ia telah tiada.
“Ibu dan Adrian minta maaf, kami belum sempat membalas kebaikan dan jasa-jasa almarhum Pak Datuak. Karena Pak Datuak memang melarangnya. Setelah pertemuan pertama di rumah Pak Munin, Ibu hanya bertemu dua kali dengan Pak Datuak, yakni ketika Pak Datuak memberikan uang untuk Adrian dan yang kedua ketika Pak Datuak meminta no rekening Adrian. Setelah itu kami tidak pernah bertemu lagi. Jadi Nak Arini jangan salah paham.”
“Tidak, Bu. Saya sangat tahu bagaimana Ayah. InsyaAllah saya percaya dengan Ayah dan saya percaya dengan cerita Ibu.”
“Namun sekarang, Ibu ingin Arini menganggap Ibu dan Adrian sebagai saudara. Katakan saja jika ada yang bisa kami bantu.” Ibu Adrian menatap Arini dengan tatapan penuh rasa terima kasih.
Arini menghapus air matanya. Sementara jari tangan Hanafi mengepal. Laki-laki itu mencoba merilekskan tubuhnya dengan bersandar ke sandaran sofa.
“Ya, Bu. InsyaAllah Ayah melakukannya dengan iklas. Ibu dan dokter Adrian jangan sampai merasa terbebani karena pernah dibantu Ayah. Bukankah muslim sejati harusnya seperti itu, membantu sesama tanpa mengharapkan imbalan apa-apa.” Arini berkata dengan suara parau.
Hanafi merasa tertohok mendengar kata-kata Arini. Kata-kata Arini serasa menyindirnya, bukankah ia pernah pernah mengatakan mamaknya membeli dirinya dengan harta dan uang?
“Adrian juga cerita kalau Nak Arini telah menikah. Ibu ucapkan selamat semoga kalian berbahagia. Dan Ibu harap, suami Nak Arini tidak salah paham jika kelak Ibu atau Adrian sesekali datang menemui Arini.” Ibu Adrian menangkupkan tangannya ke dada dan mengangguk pada Hanafi. Hanafi mencoba tersenyum. Laki-laki itu tidak tahu harus menjawab apa. Sementara Etek Halimah terlihat masih takjud dengan apa yang baru didengarnya. Ternyata udanya itu telah menghasilkan dua orang dokter. Semoga kemurahan hati udanya memudahkan jalannya menuju surga, Etek Halimah berdoa dalam hati.
“Baiklah, kalau begitu, kami pamit dulu. Ibu dan Adrian mengucapkan bela sungkawa yang sedalam-dalamnya atas berpulangnya Pak Datuak. Semoga Allah menempatkan beliau di tempat yang sebaik-baiknya.”
“Aamiin.” Arini dan Etek Halimah mengaminkan doa Ibu Adrian bersamaan. Terlihat Ibu Adrian bangkit, diikuti oleh anaknya. Arini ikut bangkit disusul oleh Etek Halimah dan Hanafi. Bertiga mereka mengantarkan Adrian dan Ibunya ke pintu.
“Boleh Ibu memelukmu?” Ibu Adrian mengembangkan tangan pada Arini. Arini maju dan menerima pelukan dari wanita yang mungkin sebaya dengan almarhum ibunya itu. Mata Adrian terlihat berkaca-kaca. Adrian sebenarnya juga baru mendengar semua cerita tentang Pak Datuak Sutan Bandaro malam lalu. Ibunya merahasiakan semua itu selama delapan tahun lebih. Sedangkan Hanafi terlihat memalingkan wajahnya ke samping.
“Terima kasih ,ya, Nak. Berbahagialah kamu memiliki seorang ayah yang sangat hebat.” Ibu Adrian melepaskan pelukannya.
“Ya, Bu. Terima kasih telah datang.” Arini tersenyum dengan pipi yang masih basah bekas air mata.
Setelah itu, Ibu Adrian menyalami Etek Halimah dan Hanafi. Adrian melakukan hal yang sama. Tak ada kata-kata yang terucap ketika mereka berdua bersalaman. Padahal mereka berdua adalah rekan sejawat yang sudah beberapa kali terlibat dalam pekerjaan yang sama.
Arini dan Etek Halimah mengantar sampai ke halaman. Setelah Adrian dan ibunya meninggalkan halaman, Arini dan Etek Halimah baru masuk ke dalam. Mereka menuju ruang keluarga. Terlihat Hanafi dan Annisa sedang duduk di sofa ruang keluarga. Annisa dengan rasa gembira memperlihatkan sepatu dan tas barunya pada Hanafi.
“Dapat duit dari mana?” Hanafi memperhatikan tas dan sepatu baru adiknya. Etek Halimah ikutan duduk di dekat anak-anaknya.
“Dibeliin Uni Arini.” Annisa menjawab dengan mata berbinar.
“Oh.” Hanafi hanya ber-oh saja. Annisa mengangkat bahu merasa tidak mendapat respon apa-apa.
“Jangan menyusahkan Unimu.” Etek Halimah akhirnya bicara.
“Annisa nggak minta Umi. Uni Arini yang suruh beli.” Annisa manyun.
“Iya, Tek. Nggak apa-apa. Kebetulan baru dapat rezeki, Tek.” Arini menjawab seraya melirik Hanafi. Hanafi terlihat sedang memainkan ponselnya. Diam-diam Hanafi sebenarnya menyimak juga pembicaraan adiknya, uminya dan Arini. Ternyata uang yang diberikannya tadi pagi diberikan Arini sebagian untuk adiknya.
“Uda mau makan sekarang?” Arini berdiri di samping Hanafi.
“Ya.” Hanafi menjawab singkat. Arini segera menuju meja makan. Sebelum menyiapkan makan siang untuk Hanafi, Arini menyerahkan kantong berisi kue pada Etek Pia. Etek Pia menerimanya dan segera memindahkannya ke piring.
Arini mengambil piring dan gelas di dapur lalu menatanya di meja makan. Dibukanya tudung saji dan terlihat pangek ikan yang menggugah selera. Ada goreng teri dengan petai dicabe hijau. Rebus daun singkong yang terlihat segar. Duh, Arini jadi pengen makan lagi.
“Etek sudah makan?” Arini bertanya pada Etek Pia.
“Udah, Nak. Etek makan dengan Etek Halimah dan Udin tadi.”
“Oh, iya, Tek.” Arini pun berjalan menuju ruang keluarga.
“Ayo, Da, Etek. Makan.” Arini memanggil Hanafi dan Etek Halimah. Hanafi mengangkat wajahnya dan melihat Arini sekilas.
“Etek udah makan tadi, Nak. Kalian makan aja berdua.” Etek Halimah tersenyum pada Arini. Tanpa bicara, Hanafi bangkit dan mengikuti langkah Arini menuju meja makan. Etek Halimah menarik napas berat, sikap Hanafi terlihat masih tidak bersahabat pada Arini.
Arini ikutan duduk di samping Hanafi. Tiba-tiba ia ingin kembali makan. Setelah menyendokkan nasi ke piring Hanafi, Arini mengambilkan pangek ikan, sayur dan goreng teri. Hanafi hanya diam memperhatikan gerak gerik Arini. Arini biasanya juga seperti itu mengurus ayahnya.
“Kamu nggak makan?” Hanafi melirik Arini sekilas.
“Aku makan ikan dan sayur aja. Tadi udah makan nasi kapau dengan Annisa.” Arini mengambil ikan dan sayur untuk dirinya sendiri. Hanafi terlihat mulai menyuap nasi ke mulutnya. Arini melakukan hal yang sama. Perempuan itu makan daging ikan yang terasa amat enak di lidahnya. Etek Pia memang jagonya kalau bikin pangek. Mereka pun makan dalam diam.
Setelah selesai makan, Hanafi bangkit dan bersiap meninggalkan meja makan. Tetapi sebelum melangkah, Hanafi menatap Arini yang sedang merapikan meja makan.
“Kamu sebagai seorang perempuan harus bisa menjaga sikap dengan baik. Jangan mentang-mentang Adrian dan Ibunya mau menganggap kamu sebagai saudara, kamu tidak memperhatikan batas-batas antara seorang laki-laki dan perempuan. Kamu harus paham laki-laki itu tidak memiliki hubungan apa-apa denganmu.” Suara datar Hanafi membuat gerakan tangan Arini terhenti.
Perempuan yang terlihat sangat cantik dengan gamis hijau dan hijab coklat mudanya itu menatap Hanafi dengan takjud. Sungguh luar biasa hebatnya ucapan laki-laki ini. Mulut Arini sudah bergerak-gerak hendak bicara. Tapi, ia kembali ingat nasihat sahabatnya, Fitri. Arini harus jadi istri yang sholeha, istri yang baik, dan patuh pada suami. Arini hanya akan melakukan apa yang menjadi bagiannya. Bagian Hanafi biar menjadi urusan laki-laki itu. Melihat Arini hanya diam, Hanafi pun segera berbalik dan melangkah lebar menuju ruang depan.
*********
Setelah selesai membereskan meja makan, Arini masuk kamar. Tidak lama kemudian, Hanafi pun menyusul. Arini membuka jilbabnya dan meletakkan jilbabnya di keranjang pakaian kotor. Melihat Hanafi akan melangkah menuju kamar sebelah, Arini memanggil Hanafi.
“Da.” Hanafi menghentikan langkahnya dan berpaling pada Arini.
“Uda di kamar ini aja, ya. Biar aku yang di sebelah.” Arini menatap Hanafi dengan ragu.
“Kenapa?” Entah mengapa Hanafi merasa menyesal kenapa harus bertanya.
“Aku merasa lebih nyaman di kamar sebelah, karena dari kecil aku tidur di sana.”
“Oh.” Hanafi menjawab singkat. Lalu laki-laki itu berbalik dan berjalan menuju tempat tidur besar di belakang Arini. Hanafi merebahkan tubuhnya dengan santai di atas kasur. Arini menarik napas lega, alasan sebenarnya, perempuan itu tidak ingin kejadian tadi pagi terulang kembali. Kalau di kamar sebelah, kemungkinan hal seperti itu lebih kecil.
Arini membuka lemari dan mengambil pakian gantinya. Sekalian diambilkannya celana pendek dan baju kaos untuk Hanafi.
“Ini, Da. Ganti dulu bajunya, baru tidur.” Arini meletakkan baju ganti Hanafi di atas kasur. Tanpa menunggu jawaban Hanafi, Arini bergegas menuju kamar sebelah. Setelah Arini tidak terlihat, Hanafi pun bangkit dan mulai membuka pakaiannya satu persatu. Lalu laki-laki itupun menggantinya dengan pakaian yang telah disediakan oleh Arini. Beberapa saat kemudian, Hanafi terlihat telah lelap dalam tidurnya.
*********
Esok paginya Arini terlihat sibuk menyiapkan pakaian kerja untuk Hanafi. Khusus untuk pakaian Hanafi, kemeja, celana dan jas putihnya, Arini sendiri yang menyuci dan menyetrika. Arini takut jika dikerjakan oleh Etek Pia, hasilnya tidak maksimal. Celana dan kemeja serta pakaian dalam diletakkan Arini di atas kasur. Sementara jas dokternya digantung Arini di pintu lemari pakaian.
Ketika Hanafi mandi, Arini juga telah merapikan kamar dan kasur dengan sigap. Sehingga dalam waktu beberapa menit, kamar telah kembali terlihat rapi. Sedari kecil, Arini memang terbiasa mandiri. Meski Arini anak tunggal dan berasal dari keluarga berkecukupan, Arini tidak terbiasa manja dan berdiam diri. Sebelum ada Etek Pia yang membantu mereka, Arini dan ayahnya selalu berbagi tugas mengerjakan pekerjan rumah tangga.
Begitu mendengar pintu kamar mandi terbuka, Arini bergegas ke luar kamar. Arini menuju dapur dan mendapati Etek Pia telah berkutat di dapur.
“Bikin sarapan apa, Tek?” Arini mendekat.
“Soto, Nak. Uda Hanafi suka soto nggak?” Etek Pia balik bertanya pada Arini.
“Kayaknya suka, Tek.” Arini mengambil panci kecil untuk merebus air.
“Etek Halimah kok belum ke luar, ya, Tek?”
“Nggak tau juga, biasanya habis subuh sudah ikut di dapur.”
“Apa mungkin kurang sehat, ya, Tek.”
“Nanti setelah selesai masak, Etek lihat ke kamarnya.”
“Biar aku aja Tek, sekalian mau ngantar susu buat Etek Halimah.”
“Baiklah. Oh, iya, Nak, nanti Etek mau ke pasar sama Udin. Stok di kulkas sudah habis.”
“Ya, Tek. Habis bikin minum aku kasih duit belanja, ya, Tek.” Etek mengangguk. Arini mulai memasukkan gula dan teh ke dalam cangkir. Lalu menuangkan air panas. Wangi aroma teh menguar ke udara memenuhi ruangan dapur. Tiga cangkir teh dan segelas susu. Arini meletakkan cangkir-cangkir itu di meja makan. Sementara gelas susunya dibawanya langsung ke kamar tamu. Arini mengetuk pintu dengan tangan kirinya. Pintu di depannya terbuka. Annisa berdiri di depan pintu masih memakai mukena.
“Baru selesai sholat, Dek?” Arini masuk dan melihat tempat tidur kosong. Etek Halimah terlihat sedang duduk di sajadah.
“Iya, Ni. Kami telat bangun. Umi tadi malam susah tidur.”
“Oh, apa Umi sakit?” Arini meletakkan gelas susu di meja.
“Nggak, Ni. Lagi banyak pikiran aja mungkin, Ni.” Annisa berbisik di telinga Arini. Arini mengangguk.
“Suruh Umi minum susunya, ya. Uni mau antar minuman Uda Hanafi dulu.” Arini berbalik.
“Ya, Ni. Makasih.” Annisa berucap sebelum Arini hilang di balik pintu.
Arini kembali ke meja makan dan mengambil cangkir teh untuk Hanafi. Sampai di kamar, Hanafi telah terlihat rapi dengan pakaian kerjanya.
“Ini tehnya, Da.” Arini meletakkan cangkir teh di atas meja.
“Ya, makasih.” Hanafi menjawab tanpa menoleh. Laki-laki itu mengambil jas putihnya, melipatnya dan memasukkannya ke dalam tas kulit berwarna coklat.
“Nggak bawa mobil aja, Da, biar bawa bajunya bisa digantung. Kasihan nanti jadi kusut.” Arini memperhatikan Hanafi yang terlihat begitu hati-hati memasukkan jasnya ke dalam tas.
“Nggak usah, aku naik motor aja.” Hanafi menjawab datar. Arini menelan ludahnya, kerongkongannya terasa kering. Hanafi duduk di kursi dan mengambil tehnya. Laki-laki yang terlihat amat tampan dengan celana coklat tanah dan kemeja warna krem tua.
“Da, sepertinya Etek kurang sehat.” Arini duduk di pinggir kasur. Hanafi mengangkat wajahnya dan melihat pada Arini sekilas.
“Aku sudah ada janji dengan pasien pagi ini. Nanti setelah selesai, aku segera pulang untuk melihat keadaan Umi.” Hanafi bangkit dan mengambil tasnya. Tanpa pamit, laki-laki itu ke luar dari kamar. Tidak berapa lama terdengar deru sepeda motornya ke luar dari halaman. Arini menarik napas berat. Diusapnya wajahnya dengan gusar. Udah lebih tiga minggu mereka menikah, tetapi hubungan mereka masih juga belum ada kemajuan. Hanafi benar-benar menutup dirinya. Arini tersenyum pedih. Bukan seperti ini pernikahan yang diimpikannya.
Bersambung ….
Catatan: Ini episode bonus di hari minggu. Tapi episode berikutnya tetap tayang hari Sabtu ya. Jangan tagih mak author lagi sebelum sabtu ya. Love you all.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar