CERBUNG: BIAS RINDU - EPISODE 6

Sabtu, 13 Juni 2020

BIAS RINDU - EPISODE 6

Judul : “Bias Rindu”
Penulis : Naya R
Terima kasih admin/moderator telah menyetujui tulisan ini.
Arini duduk di pinggir tempat tidur. Hatinya terasa begitu lengang. Pemakaman ayahnya telah selesai selepas asyar tadi. Ada beberapa prosesi adat yang harus dilakukan sebelum penyelenggaraan jenazah sang ayah. Karena ayahnya adalah seorang datuak untuk kaumnya. Sehingga gelar datuknya harus diturunkan langsung sebelum ayahnya dikuburkan.
Hanafi dan keluarganya mengurus semua hal menyangkut penyelenggaraan jenazah sampai pemakaman. Dokter Adrian juga menjadi orang yang paling sibuk.
Beberapa kerabat masih berada di luar, mungkin ada juga yang akan menginap untuk beberapa hari. Tapi semuanya adalah kerabat jauh. Etek Halimah dan Annisa juga sudah berjanji akan menemani Arini untuk beberapa hari ke depan.
Meski duka yang dirasakan Arini amat dalam, tetapi dalam hati Arini tidak henti bersyukur, penyelenggaraan jenazah dan pemakaman ayahnya berlangsung dengan baik dan lancar. Baru terasa hidup di tengah-tengah masyarakat yang kekeluargaannya masih sangat erat.
Tanpa berniat mengganti pakaiannya, Arini merebahkan tubuhnya di kasur. Setelah berbaring, baru terasa kalau tubuhnya amat lelah. Arini mencoba memejamkan mata. Dalam satu minggu ini begitu banyak peristiwa-peristiwa besar yang menimpanya. Dan yang terberat adalah kepergian ayahnya.
Teringat lagi dengan kenangan-kenangan indah semasa kecil dulu. Pernah ayahnya menyewa bendi satu hari penuh hanya untuk mengajak Arini keliling kota Bukit Tinggi. Ayahnya langsung yang menjadi kusirnya. Padahal sebelumnya Datuak Sutan Bandaro tidak pernah membawa bendi. Hanya belajar beberapa menit dengan kusir aslinya dan ayahnya langsung mahir menguasai kudanya. Ayahnya memang hebat. Arini tersenyum, namun bening itu kembali mengalir dari sudut-sudut matanya.
Pernah juga Arini kecil sakit karena harus berpisah dengan kucing kesayangannya. Entah menagap, tiba-tiba kucingnya hilang tak berbekas. Seharian ayahnya keliling kota Bukit Tinggi untuk mencari kucing tersebut. Sebelum magrib, ayahnya pulang dalam keadaan basah kuyub karena bukit tinggi diguyur hujan lebat. Di tangan ayahnya telah tertidur si Missy, kucing kesayangan Arini. Esoknya Arini langsung sembuh karena telah bertemu lagi dengan kucingnya.
Terlalu banyak kenangan indah dan juga pahit Arini dengan ayahnya. Arini mengusap air matanya dengan telapak tangannya. Ia harus kuat. ia tidak boleh menangisi terus kepergian ayahnya. Arini tidak ingin memberati jalan ayahnya. InsyaAllah Arini telah mengiklaskan ayahnya. Kini hanya doa yang bisa dikirimkan Arini untuk ayah dan ibunya.
Malam makin larut. Dingin semakin menusuk tulang. Arini mengambil selimut dan membungkus seluruh tubuhnya dengan kain tebal itu. Hanafi tadi pamit pada uminya untuk kembali ke rumah sakit. Karena ada pasien yang harus dioperasi malam ini juga. Akhirnya karena rasa lelah, Arini tertidur juga.
Pukul 03.30, Arini terbangun. Arini menggeser selimutnya dan segera duduk. Masih ada waktu untuk salat malam. Bergegas Arini turun dari tempat tidur. Sebelum masuk ke kamar mandi, Arini melangkah ke kamar masa kecilnya yang hanya dibatasi oleh pintu kaca transparan. Arini melihat lampu di kamar itu menyala. Ayahnya membangun rumah ini ketika Arini duduk di kelas lima sekolah dasar.
Dan ayahnya merancang kamar untuk Arini dengan dua kamar yang bersisian. Satu kamar diperuntukkan untuk Arini kecil dan satu kamarnya lagi untuk Arini dewasa. Karena menurut ayahnya, Arini tidak punya saudara, jadi dua kamar untuk Arini sendiri rasanya tidak terlalu berlebihan. Setelah kuliah, Arini baru menempati kamarnya yang sekarang. Namun kamar masa kecil dan remajanya itu masih tetap terawat dengan baik. Ayanya memang ayah terbaik sedunia menurut Arini.
Dengan rasa penasaran, Arini menggeser pintu kacanya. Arini terpaku, di spring bed kecil bergambar hello kitty, Hanafi tertidur masih dengan pakaian kerjanya. Sedikit ragu Arini melangkah pelan menuju sring bednya. Arini memandangi wajah Hanafi yang terlihat amat tenang dalam tidurnya. Baru kali ini Arini melihat dan memperhatikan wajah suaminya itu. Ternyata laki-laki ini benar-benar tampan. Arini berdecak kagum dalam hati.
Takut Hanafi akan menyadari kehadirannya, Arini segera mengambil selimut yang terlipat di bawah kaki Hanafi. Hati-hati Arini menggeser kaki Hanafi. Akhirnya ia bisa juga mendapatkan selimutnya. Pelan Arini membuka selimut berwarna biru muda itu dan membentangkannya dengan lembut pada Hanafi. Arini menghembuskan napas lega dan segera bergegas meninggalkan kamarnya.
Arini masuk ke kamar mandi dan mulai membersihkan diri. setelah itu, ia pun berwudu. Meski dari kecil tinggal di kota berhawa dingin ini, tetapi setiap kali menyentuh airnya di waktu malam atau dini hari, Arini masih juga menggigil kedinginan.
Arini mengambil sajadah dan mukenanya dari dalam lemari. Dibentangkannya sajadah berwarna coklat tua itu di samping lemari. Lalu Arini memakai mukenanya. Rasa dingin sedikit berkurang setelah ia memakai pakaian sholatnya. Pelan Arini mulai bertakbir. Ia pusatkan hati dan pikirannya hanya pada Allah semata. Dan kedamaian mulai mengalir memasuki seluruh tubuhnya.
Sampai sholat subuh tiba, Arini masih duduk di atas sajadahnya. Pipinya kembali basah ketika memohonkan doa untuk kebaikan ayah dan ibunya.
Begitu azan subuh berkumandang, Arini segera menutup doanya dan bersiap-siap untuk melaksanakan sholat subuh. Baru saja Arini bangkit, terdengar pintu di belakangnya digeser. Arini menoleh, matanya menangkap sosok Hanafi yang terlihat amat kusut. Arini mencoba mengumpulkan keberanian sebelum menyapa Hanafi.
“Uda mau sholat ke masjid atau di rumah aja?”
“Di rumah aja.” Hanafi menjawab singkat tanpa melihat pada Arini. Laki-laki itu berjalan menuju kamar mandi. Arini bergegas menuju lemari. Mengambil sarung baru dan baju bersih untuk Hanafi. Dipilihnya juga sebuah sajadah berwarna merah maroon. Sebelum pesta kemarin, ayah memberikan beberapa helai kain sarung pada Arini. Kata ayah simpan untuk keperluan Uda Hanafi. Sementara pakaian, Hanafi sebelum pesta ada membawa sebuah koper ke rumah Arini. Isinya beberapa helai kemeja, celana panjang, baju kaos, dan pakaian dalam. Arini telah memindahkan isi tas Hanafi kedalam lemarinya.
Hanafi ke luar dari kamar mandi dengan wajah dan rambut yang basah. Beberapa detik Arini terpana melihat sosok tampan itu. Arini cepat-cepat memalingkan wajahnya untuk mengusir debar di daadnya yang tiba-tiba berdentang lebih riuh dari biasanya.
“Ini sarung dan sajadah, Da.” Tanpa melihat pada Hanafi, Arini mengangsurkan kain di tangannya pada laki-laki itu.
“Ya, makasih.” Hanafi menerimanya lalu kembali berjalan menuju kamar di sebelahnya. Setelah Hanafi benar-benar hilang di balik pintu dorong, Arini mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Laki-laki dingin
, Arini merutuk dalam hati.
Selesai sholat subuh, Arini mengambil jilbabnya dan beranjak ke luar kamar. di ruang keluarga, beberapa kerabat jauh terlihat telah duduk dengan cangkir-cangkir berisi kopi panas yang asapnya terlihat mengepul. Goreng pisang dan ubi rambat yang juga terlihat masih panas. Arini berjalan menuju dapur. Etek Pia dan Etek Halimah terlihat sudah mulai sibuk di depan kompor. Arini mendekat.
“Masak apa, Tek?” Arini bertanya pada Etek Halimah.
“Oh, sudah bangun, Nak? Etek mau bikin nasi goreng. Kamu mau bikin teh atau susu?” Etek Halimah menoleh pada Arini.
“Mau bikin minum untuk Uda, Tek. Uda biasanya minum apa kalau pagi, Tek?” Arini mengambil panci perebus air.
“Bikinkan teh aja, gulanya 1 sendok ya. Air panas sudah ada di termos.” Etek Halimah mengambil termos dan memberikannya pada Arini. Sementara Etek Pia mengambilkan gula dan teh. Arini mengambil cangkir dan memasukkan satu sendok gula seperti instruksi Etek Halimah. Setelah itu menuangkan air panas dari termos dan memasukkan teh celup. Wangi pucuk teh melati menguar memenuhi ruangan dapur. Arini mengaduknya beberapa kali dan mengeluarkan teh celup dari cangkir.
“Ini bawain pisang goreng sekalian. “ Etek Halimah memberikan sepiring kecil pisang goreng. Arini menaruhnya di napan.
“Arini ke kamar dulu, ya, Tek.” Arini pamit pada Etek Halimah. Etek Halimah tersenyum dan mengangguk.
Sampai di kamar, Arini memegang napan dengan tangan kiri lalu mengetuk pintu kaca dengan tengan kanannya. Hanya terdengar jawaban ‘ya’ dari dalam kamar. Arini menggeser pintu kaca lalu melangkah masuk. Terlihat Hanafi tengah duduk bersandar di kepala tempat tidur. Arini meletakkan napan di atas meja belajarnya di samping kepala ranjang.
“Tehnya, Da.” Arini berkata pelan.
“Ya, makasih.” Hanafi memutar duduknya dan menurunkan kakinya dari tempat tidur.
“Aku mau bicara.” Hanafi menahan langkah Arini yang sudah akan berranjak ke luar kamar. Arini membalikkan tubuhnya.
“Duduklah.” Hanafi memberikan tempat pada Arini. Dengan sedikit ragu dan juga gugup, Arini melangkah ke kasur dan duduk di samping Hanafi. Terdengar Hanafi menghela napas panjang. Arini hanya diam menunduk.
“Aku ikut berduka atas kepergian Datuak. Kita sama-sama kehilangan. Datuak seorang Mamak yang baik untuk kami dan pasti juga seorang yang baik untuk kamu. Aku minta maaf, mungkin sikap dan kata-kataku yang telah menjadi penyebab Datuak sakit, sampai akhirnya pergi. Aku benar-benar menyesal dan minta maaf atas semua itu.” Hanafi menoleh pada Arini sekilas. Arini masih terlihat menunduk.
“InsyaAllah aku juga telah memaafkan Mamak. Meski bagaimanapun, Mamak seorang yang paling berjasa dalam hidupku.” Hanafi berkata tulus.
“Aku juga minta maaf jika pernikahan kita ini akan menjadi berat untukmu. Aku tidak bisa menjanjikan apa-apa dengan pernikahan kita ini. kamu boleh melakukan apapun yang kamu suka selagi itu baik menurutmu. Aku juga tidak ingin dibatasi dan dikekang. Kita biarkan saja dulu semuanya mengalir apa adanya. Aku akan memberikan uang belanja bulanan setiap bulannya. Namun …” Hanafi mengentikan ucapannya. Laki-laki itu kembali terlihat menarik napas panjang, tetapi kali ini terlihat begitu berat. Arini masih masih diam. Pelan-pelan perempuan muda itu mencoba mencerna semua kata-kata Hanafi.
“Aku minta maaf, mungkin untuk nafkah batin aku belum bisa memberikan sampai kita sama-sama memiliki rasa yang sama.” Hanafi akhirnya mengungkapkan juga apa yang menjadi bebannya sejak akad nikah minggu lalu. Prinsip laki-laki ini mungkin sedikit saklek. Baginya ‘Sex without love’ itu sesuatu yang impossible.
Arini memejamkan matanya untuk beberapa detik, kata-kata terakhir Hanafi sungguh telah merobek harga dirinya sebagai seorang wanita. Seperti sebuah pedang tipis yang sangat tajam yang mengiris halus dinding hatinya. Arini memberanikan diri menoleh dan menatap Hanafi dari samping.
“Lakukan apapun yang ingin Uda lakukan. Kelak, jika kita sudah sama-sama lelah, kita bisa sama-sama mundur dan pergi menjauh.” Arini berkata pelan namun tajam. Setelah itu Arini bangkit dan berjalan meninggalkan Hanafi. Hanafi tercenung sendiri. Kata-kata Arini seperti cambuk yang melecut jantungnya. Karena apa yang diucapkan perempuan itu sama seperti keinginannya yang pernah disampaikannya pada Bella.
Hanafi menjangkau cangkir tehnya dan meminumnya beberapa teguk. Rasa hangat mengalir memenuhi rongga dada Hanafi. Sebenarnya, dia bukan laki-laki jahat yang tidak punya hati nurani. Tetapi, jika mengingat latar belakang ia harus menikahi Arini, ia merasa tidak memiliki harga sebagai seorang laki-laki. Ia adalah laki-laki yang telah dibeli dengan uang. Adakah yang lebih rendah dari hal tersebut? Karena telah menerima kebaikan, karena telah menerima biaya pendidikan dan kuliah sampai tamat dari mamaknya, Hanafi harus membalasnya dengan menikahi anak sang mamak. Setiap mengingat hal itu, hati Hanafi menjadi sakit.
Sementara Arini masuk ke kamar ayahnya. Kamar ayahnya terlihat rapi dan bersih. Sebelum pesta, ia dan Etek Pia telah merapikan dan membersihkan kamar ayahnya ini. Arini duduk di pinggir tempat tidur. Kata-kata Hanafi tadi masih terngiang-ngiang di telinga Hanafi. Sebuah penolakan yang amat menyakitkan. Bagaimana ia harus menghadapi laki-laki itu selanjutnya? Arini benar-benar bingung. Apa yang harus dilakukannya. Akhirnya Arini merebahkan tubuhnya yang terasa amat lelah di kasur ayahnya. Ditariknya selimut dan ditutupnya seluruh tubuhnya sampai ke leher. Ia benar-benar ingin tidur dan istirahat sejenak.
********
Pukul 10.00, Arini terbangun. Perempuan itu menyibakkan selimutnya dan turun dari tempat tidur. Dilipatnya kembali selimut dan dirapikan seprai bekas tidurnya. Masih mengenakan baju tidur setelan celana panjang dan blus lengan panjang serta jilbab instan yang juga masih terpasang. Arini bergegas menuju kamarnya. Etek Pia dan dua orang ibu-ibu terlihat menggulung tikar di ruang keluarga. Sementara Etek Halimah dan Annisa masih berada di dapur. Arini membuka pintu kamar dan matanya terpaku melihat sosok yang sedang berdiri di depan lemari. Hanafi yang hanya memakai handuk terlihat sedang membolak-balik pakaian yang ada di depannya.
Meski dadanya bergemuruh, Arini memberanikan diri mendekat.
“Uda cari apa?” Suara Arini sedikit bergetar.
“Kemeja dan celana panjang ditaruh di mana?” Hanafi menjawab tanpa menoleh pada Arini.
“Biar aku cariin.” Arini maju selangkah lagi. Hanafi menggeser tubuhnya ke kanan memberi tempat untuk Arini. Kini mereka berdiri bersisian. Cukup dekat. Arini menahan napasnya, entah mengapa ia merasa udara di sekitar mereka tiba-tiba menjadi sesak. Sementara Hanafi memperhatikan jemari tangan Arini yang sibuk memilih pakaian untuknya. Hanya butuh beberapa detik, Arini telah mendapatkan celana panjang warna abu-abu dan kemeja berwarna biru muda, lengkap dengan pakaian dalamnya.
“Ini, Da.” Arini mengangsurkan pakaian di tangannya pada Hanafi tanpa berani memandang pada laki-laki yang hanya memakai handuk itu.
“Ya, makasih.” Hanafi menerimanya lalu beranjak menuju kamar sebelah. Arini pun mengambilkan pakaian gantinya dan segera masuk ke kamar mandi. Guyuran air yang dingin membasahi kepala dan tubuh Arini. Rasa dingin masuk ke setiap pori-pori kulit kepala sampai ke ujung kakinya. Kesegaran langsung mengaliri seluruh tubuh perempuan bertubuh langsing itu.
Keluar dari kamar mandi dengan rambut yang basah, Arini mengambil hair dryer dan bersiap untuk mengeringkan rambutnya. Tetapi baru saja ia akan duduk di meja riasnya untuk mengeringkan rambut, Hanafi datang mendekat dengan pakaian yang sudah rapi. Arini mematikan kembali hair dryernya. Matanya terpaku menatap sosok laki-laki tampan di depannya.
“Ada Bella mau takziah.” Hanafi berkata datar. Arini hampir terlonjak mendengar nama perempuan itu.
“Bentar, keringkan rambut dulu.” Arini kembali menghidupkan pengering rambut dan mulai mengeringkan rambutnya tanpa melihat lagi pada Hanafi. Hanafi masih berdiri terpaku di samping Arini. Rambut sepunggung Arini yang basah menguarkan bau harum shampoo yang masuk ke indra penciuman Hanafi. Rambut yang indah, Hanafi berbisik dalam hati.
Beberapa detik kemudian, Hanafi tersadar dan segera berbalik. Laki-laki bergegas ke luar kamar. Bella telah duduk menunggu di ruang tamu. Hanafi mengambil tempat di depan Bella.
“Sebentar ya, Arini baru selesai mandi.” Hanafi berkata lembut dan tersenyum pada Bella. Bella mencoba membalas senyum Hanafi. Meski dalam hati ada yang terasa sakit membayangkan laki-laki tercintanya baru ke luar dari kamar. Kamar yang sama tentunya dengan sang istri. Entah dorongan dari mana yang membuat Bella melangkahkan kaki ke rumah ini.
“Bagaimana kondisimu sekarang?” Hanafi menatap Bella lekat.
“Seperti yang Uda Dokter lihat, aku sehat walafiat.” Bella menjawab dengan keceriaan seperti biasanya. Hal yang selalu Hanafi suka dari perempuan di depannya ini.
“Syukurlah. Jangan lupa obatnya diminum, istirahat yang cukup dan jangan banyak pikiran.” Hanafi menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa.
“Siap Uda Dokter.” Bella mengangkat tangannya memberi hormat pada Hanafi. Hanafi tersenyum. Bella selalu mampu membuat hatinya penuh bunga.
“Aku turut berduka cita.” Bella mengulurkan tangan pada Arini. Arini tersenyum.
“Terima kasih.” Arini tersenyum tipis.
“Silakan duduk.” Arini mempersilakan Bella untuk duduk kembali. Bella kembali duduk diikuti dengan Etek Pia yang meletakkan gelas berisi sirup di depan Bella, Hanafi, dan Arini. Setelah mengucapkan terima kasih pada Etek Pia, Arini mempersilakan Bella untuk minum. Bella mengangguk dan mengambil gelasnya. Dokter cantik itu meminum sirup di gelasnya beberapa teguk. Lalu meletakkan gelasnya kembali.
“Apa Uni ada perlu dengan saya?” Arini menatap lekat dokter Bella. Dokter Bella terkesiap menerima pertanyaan dari Arini.
“Tidak, aku hanya ingin bersilaturahmi dan menyampaikan bela sungkawa.” Bella menjawab lugas.
“Oh, iya, Ni. Saya ucapkan terima kasih atas perhatian Uni.” Arini mencoba tersenyum meski dalam hati ada yang terasa tidak nyaman dengan kondisi seperti ini.
“Assalammualaikum.” Terdengar ucapan salam di depan pintu. Arini menoleh dan langsung bangkit begitu melihat siapa yang sedang berdiri di depan pintu.
“Fitri!” Arini menghambur ke dalam pelukan sahabat terbaiknya itu.
“Sabar …” Fitri menepuk lembut pundak Arini. Arini tak dapat lagi menahan isaknya. Perempuan itu menangis di pelukan sahabatnya. Fitri bagi Arini tidak hanya seorang sahabat baik, tetapi juga seorang guru. Fitri banyak memberikan nasihat, memberikan kekuatan dan siraman kalbu kepada Arini.
“Ayo, masuk.” Arini merenggangkan pelukannya dan menghapus air matanya. Fitri mengangguk dan mengikuti langkah Arini masuk ke dalam rumah. Di ruang tamu, Arini berhenti.
“Fit, ini Uda Hanafi, sudah kenal, kan?” Arini memperkenalkan Hanafi kepada Fitri.
“Ya, kamu kan sudah sering cerita tentang dokter ganteng ini. Aku sudah kenal nama, meski belum kenal wajahnya.” Fitri berkata dengan santainya. Wajah Arini langsung bersemu merah. Sementara Bella terperangah mendengar ucapan sahabat Arini tersebut. Hanafi bangkit dan mengulurkan tangan pada Fitri. Tetapi Fitri hanya menangkupkan tangannya di dada.
“Dan ini Dokter Bella, kekasihnya Uda Hanafi.” Arini memperkenalkan Bella pada Fitri dengan gaya yang terlihat santai. Mulut Fitri langsung membulat dan matanya melotot. Sungguh gadis itu merasa amat kaget mendengar ucapan sahabatnya itu. Arini memang belum sempat bercerita tentang bagian yang satu ini. Jadi wajar kalau Fitri kaget seperti itu.
“Fitri.” Fitri mengulurkan tangan pada Bella dengan mimik yang sulit diartikan.
“Bella.” Bella menerima uluran tangan Fitri dan mencoba tersenyum.
“Maaf, Uni, saya tinggal dulu.” Arini pamit pada Bella dan menggamit lengan Fitri untuk masuk ke dalam.
“Arini, mau ke mana?” Hanafi menghentikan langkah Arini.
“Kenapa?”
“Ya, masa kami ditinggal berdua?” Hanafi merasa tidak enak jika nanti Umi, adiknya dan orang-orang di sekitar rumah Arini melihat dirinya hanya berdua dengan Bella. Sementara ia telah sah menjadi suami Arini.
“Lha, bukannya biasanya juga selalu berdua?” Arini menjawab sinis. Hanafi mengusap wajahnya dengan gusar. Bella yang merasa suasana makin tidak enak segera bangkit.
“Saya juga mau pamit.” Bella tersenyum dan mengangguk pada Arini.
“Ya, Ni. Terima kasih telah datang.” Arini berkata tulus.
“Sama-sama. Maafkan jika tidak berkenan dengan kehadiran saya.” Bella menangkupkan tangannya ke dada.
“Tidak, sama sekali tidak mengganggu.” Arini kembali tersenyum. Lalu Arini yang masih menggandeng tangan Fitri, berbalik dan melangkah berdua dengan Fitri menuju kamarnya.
Tinggallah Hanafi yang kebingungan, sementara Bella telah melangkah meninggalkan ruang tamu. Hanafi akhirnya tersadar dan segera menyusul Bella.
“Langsung pulang?” Hanafi telah berdiri di samping mobil Bella. Tenda untuk orang takziah masih terpasang di halaman rumah.
“Ya, aku pamit.” Bella membuka pintu mobilnya.
“Hat-hati, ya.” Hanafi menutupkan pintu mobil Bella begitu Bella telah duduk di belakang kemudi. Bella tersenyum dan mengangguk. Perlahan mobilnya mundur lalu berbelok ke luar dari halaman rumah Arini yang sangat luas. Hanafi berbalik dan segera masuk ke dalam. Tubuh Hanafi membeku begitu melihat uminya telah berdiri di ruang tamu dengan kilatan amarah di matanya.
“Siapa tadi?” Umi menatap Hanafi tajam. Hanafi meneguk ludahnya dan mendadak kerongkongannya terasa sakit.
Bersambung ….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar