CERBUNG: BIAS RINDU - EPISODE 13

Sabtu, 13 Juni 2020

BIAS RINDU - EPISODE 13

Judul: “Bias Rindu”
Penulis: Naya R
Terima kasih admin/moderator telah berkenan menyetujui tulisan ini.
Setelah Hanafi berangkat ke rumah sakit, Annisa dan Udin pergi sekolah, Arini mencari Etek Halimah ke kamar tamu. Etek Halimah terlihat sedang melipat sajadahnya, sepertinya baru selesai sholat duha. Etek Halimah mengangguk pada Arini, menyuruh Arini masuk. Arini masuk dan duduk di pinggir tempat tidur. Tidak lama, mertuanya pun datang mendekat. Perempuan yang memakai daster batik itu duduk di samping Arini.
“Apa Etek sudah merasa benar-benar sehat?” Arini memperbaiki posisi duduknya sehingga ia bisa menghadap pada mertuanya itu.
“Alhamdulillah, saat ini Etek merasa sangat sehat.” Perempuan yang beberapa helai rambutnya sudah mulai terlihat putih itu tersenyum dengan wajah cerah pada Arini.
“Syukurlah, Tek.” Arini balas tersenyum.
“Ada apa mencari Etek pagi-pagi?” Etek Halimah menatap ke manik-manik mata Arini. Arini menunduk menghindari tatapan sang mertua. Setelah menarik napas dalam, Arini membuka mulutnya.
“Tek, Arini berniat untuk melanjutkan kuliah.” Arini berkata tanpa berani menatap pada Etek Halimah.
“Kuliah? Ke mana? Ke Padang?” Etek Halimah memburu Arini dengan beberapa pertanyaan. Arini menggigit bibirnya, menahan gejolak di dalam hatinya.
“Tidak, Tek. Arini akan melanjutkan ke pulau seberang.” Arini menjawab pelan.
“Ke Jawa?” Etek Halimah langsung merasa dadanya ditimpa ribuan ton godam. Terasa sesak sekali.
“Iya, Tek.” Arini mengangguk.
“Kenapa? Apa kamu sudah tidak sanggup lagi menghadapi Hanafi?” mata Etek Halimah mulai terasa panas. Begitu juga dengan Arini.
“Tidak, Tek. Aku …” Arini memalingkan wajahnya ke samping. Satu bulir bening menetes dari matanya. Diikuti oleh bulir bening kedua. Arini menggigit bibirnya menahan isak.
“Pergilah … Pergilah, Nak, jika itu yang akan membuatmu bahagia.” Kali ini pipi keriput Etek Halimah pun telah basah oleh air mata.
“Etek … maaf …” Arini sungguh sudah tidak dapat lagi menahan isaknya.
“Tidak, Nak. Tidak perlu meminta maaf. Kamu tidak salah.” Etek Halimah menggeleng dan mengambil tangan Arini. Digenggamnya erat tangan menantunya itu.
“Arini mungkin mengecewakan Etek.” Arini membalas genggaman tangan mertuanya.
“Kamu sudah melakukan apa yang semestinya kamu lakukan. Etek mengerti jika akhirnya kamu menyerah, karena Hanafi telah bersikap tidak adil padamu.”
“Tidak, Tek. Arini iklas menerima semua sikap Uda Hanafi pada Arini. Karena Uda Hanafi telah menjadi bagian dari hidup Arini. Hanya saja …” Arini mencengkram kasur yang didudukinya. Dadanya kembali terasa sakit mengingat ucapan Bella di kantin Bunda dua hari lalu.
“Apapun itu, Nak. Etek merestui dan meridhoi langkah apapun yang akan kamu ambil. Jika itu untuk kebahagianmu, pergilah, Nak.” Etek Halimah menarik tubuh Arini ke dalam pelukannya. Arini menyandarkan kepalanya ke dada sang mertua dengan pipi yang telah basah oleh air mata. Berdua mereka bertangisan dengan dada yang sama-sama sesak.
“Maafkan Etek, Nak.” Etek Halimah mencium puncak kepala Arini berulang kali. Arini memejamkan mata mencoba menikmati kasih sayang seorang ibu yang sudah lama tidak dirasakannya.
“Etek tidak salah apa-apa.” Arini berkata dengan suara parau. Dua hati yang sama-sama terluka, mencoba saling menguatkan dalam pelukan hangat penuh kasih sayang.
Tuhan, andai boleh meminta, ingin sekali Etek Halimah menahan langkah menantunya ini. Tetapi, Etek Halimah sadar, ia tidak punya alasan untuk menahan Arini agar jangan pergi. Etek Halimah sadar, sikap dan perlakuan anaknya tentu telah melukai hati menantunya ini. Jika akhirnya Arini memilih untuk pergi dan menyerah, Hanafilah yang patut dipersalahkan. Arini tidak salah apa-apa.
********
Sehabis magrib, ketika Hanafi masih duduk di atas sajadahnya, Arini ke luar kamar. Masih dengan memakai mukena, Arini menuju kamar Udin. Ternyata Udin baru pulang dari masjid. Arini duduk di kursi meja belajar adik asuhnya itu.
“Uni ada perlu sama Udin?” Udin membuka pecinya dan duduk di atas kasur.
“Iya, Udin. Uni mau bicara.” Arini tersenyum lembut pada Udin.
“Ya, Uni.” Udin menatap Arini dengan saksama. Arini menarik napas dalam mencoba menenangkan hatinya. Apa yang akan disampaikannya tentu akan mengejutkan anak yatim piatu ini.
“Udin, beberapa hari lagi, Uni akan berangkat ke Jawa. Uni akan melanjutkan kuliah.” Arini berhenti sejenak. Udin terpana. Apa yang baru didengarnya seperti berita kematian yang pernah diterimanya beberapa tahun lalu.
“Uni akan pergi?” Suara Udin tercekat di kerongkongan.
“Iya, Udin.” Arini mengangguk dengan mata yang juga mulai mengabur.
“Lalu Udin?” kali ini Udin sudah tidak dapat menahan air matanya. Meski dulu bapaknya pernah berpesan, anak laki-laki tidak hebat kalau menangis, tetapi sungguh kali ini Udin merasa dunianya berakhir. Satu-satunya orang yang tersisa, yang masih peduli padanya, juga akan pergi meninggalkannya.
Pulau Jawa. Pastilah itu tempatnya amat jauh sekali. Udin tidak sanggup membayangkannya.
“Udin, Uni pergi tidak akan lama. Di sini masih ada Etek Pia. Tahun ini insyaAllah Udin akan tamat dari SMP dan akan masuk ke SMA. Uni telah memikirkan semuanya. Udin tenang saja.” Arini kembali mencoba tersenyum pada Udin. Tetapi, Udin tidak membalas senyumnya.
“Ini, Uni telah membuatkan ATM untuk Udin. Setiap bulan, Uni akan mengirim biaya sekolah dan jajan buat Udin. Juga Uni titip belanja untuk Etek Pia. Besok setelah Udin pulang dari sekolah, kita ke ATM. Uni akan ajarkan Udin menggunakan kartu ini, ya.” Arini mengulurkan sebuah kartu ATM pada Udin. Udin menatap Arini dengan ragu. Arini mengangguk. Dengan tangan gemetar, Udin menerima kartu tersebut dan menggenggamnya erat.
“Satu pesan Uni, belajar yang rajin, sekolah baik-baik. Udin harus menjadi orang yang sukses.” Arini menepuk bahu Udin lembut. Udin mengangguk. Tetapi air matanya kembali tumpah. Apa benar anak laki-laki tidak boleh menangis? Udin tidak tahu, yang dia tahu saat ini, hatinya merasa takut, merasa nelangsa. Udin merasa tidak punya siapa-siapa lagi. Sementara Arini merasakan pipinya juga telah basah oleh air mata.
“Udin anak laki-laki. Anak laki-laki harus kuat. Tidak boleh lemah.” Arini memberikan semangat pada anak laki-laki berusia empat belas tahun itu. Udin mengusap wajahnya yang basah oleh air mata dengan punggung tangannya. Sejurus kemudian Udin tersenyum pada Arini.
“Nah, gitu dong. Harus semangat.” Arini mengepalkan tangannya dan mengangkatnya ke atas.
“Iya, Ni. Terima kasih.” Udin mengangguk. Suaranya masih terdengar parau. Arini bangkit.
“Ya, Udah. Uni tinggal dulu, ya. Siap-siap mau makan malam sama Etek Pia.” Arini berjalan menuju pintu dan keluar dengan mengangkat sedikit kain sarungnya.
Tinggallah Udin sendiri menatap kartu di tangannya. Meski sedih, meski kadang merasa sendirian, tidak punya siapa-siapa yang menyayanginya, Udin bersyukur, masih ada yang mau menampung dirinya sehingga ia tidak perlu menjadi gelandangan di jalan. Udin bersyukur masih ada yang mau menyekolahkannya sehingga ia tidak perlu menjadi berandalan.
Dari kamar Udin, Arini menuju kamar Etek Pia yang berada di samping ruang keluarga. Setelah mengetuk pintu dan mendengar suara Etek Pia mempersilakan masuk, Arini pun memutar gagang pintu. Terlihat Etek Pia sedang duduk di kursi samping lemari.
“Belum tidur, Tek?” Arini melangkah menuju tempat tidur. Arini duduk di sana berhadapan dengan Etek Pia.
“Belum, Nak.” Etek Pia tersenyum.
“Oh, iya, Tek.” Arini balas tersenyum.
“Ada apa, Nak.” Etek Pia bertanya pada Arini.
“Tek, dalam dua hari ini, Arini akan berangkat ke Jawa. Arini melanjutkan kuliah di sana, Tek.”
“Ke Jawa?” Etek Pia menatap Arini dengan tatapan tidak percaya.
“Iya, Tek.” Arini mengangguk. Etek Pia tergugu.
“Lalu bagaimana rumah ini, bagaimana usaha-usaha ayahmu, bagaimana Udin, bagaimana Etek?” tiba-tiba Etek Pia udah langsung menangis.
“Etek, insyaAllah Arini sudah mengurus semuanya. Masalah toko bahan bangunan, Arini telah berbicara dengan Pak Uwo Syafril. Pak Uwo telah berjanji akan mengurusnya dengan baik, akan melaporkan masalah keuangan setiap bulannya dan akan mentransfer keuntungan toko yang menjadi bagian Arini setiap bulannya.” Arini berhenti sejenak.
“Arini juga sudah berbicara dengan Uda Jafar. Setiap bulan, Uda Jafar akan mengantarkan beras ke sini, Tek. Dan Uda Jafar juga telah berjanji akan mengirimkan bagi hasil heler pada Arini setiap bulannya.” Arini menatap Etek Pia yang sepertinya sudah sulit untuk berbicara.
“Ya, Nak. Kalau itu sudah menjadi keputusanmu, Etek bisa apa.” Etek Pia berkata lirih. Arini tercenung.
“Lalu bagaimana dengan rumah ini? Bagaimana dengan suamimu, mertuamu?” Etek Pia merasa bingung sendiri.
“Rumah ini dan semua isinya menjadi tanggung jawab Etek. Setiap bulan, aku akan mengirimkan uang untuk belanja dapur, keperluan rumah tangga, listrik, dan kebutuhan Etek lainnya.” Arini menyampaikan jawaban atas apa yang menjadi kebingungan dan keraguan Etek Pia. Etek Pia mencoba mencernanya.
“Baiklah, Nak. InsyaAllah Etek akan melakukan semua tanggung jawab Etek dengan baik.” Etek Pia menerima dengan senang hati tanggung jawab yang diberikan oleh Arini.
“Terima kasih, Tek. Dan ini telepon genggam untuk Etek. Simpan baik-baik. Nanti aku yang akan menghubungi Etek setiap minggu. Etek nanti juga bisa menghubungiku jika ada sesuatu hal yang perlu Etek sampaikan.” Arini bangkit dan menyodorkan sebuah ponsel pada Etek Pia. Etek Pia menatap Arini sekian detik. Arini tersenyum dan mengangguk. Akhirnya Etek Pia menerima benda pipih yang canggih itu. Selama ini.Etek Pia tidak pernah mau menggunakan telepon genggam. Jadi kalau anak-anaknya ingin berbicara dengan Etek Pia, maka mereka akan menelpon ke ponsel Arini.
********
Dalam waktu beberapa hari, Arini telah mengurus semua hal menyangkut usaha ayahnya, urusan rumah dan sekolah Udin. Tekad Arini telah bulat untuk pergi. Jika ia tetap di sini, maka ia tidak bisa menjamin hatinya akan seperti apa. Bertemu setiap hari dengan Hanafi, membuat Arini mulai merasakan desiran-desiran halus di dadanya.
Arini tidak ingin membuat desiran itu semakin bergelora, sehingga akan sulit memadamkannya. Sebab Arini sadar, perasaannya tidak akan bersambut. Buktinya enam bulan bersama, hanya rasa sakit demi rasa sakit yang diterima Arini. Penolakan demi penolakan, pengkhianatan demi pengkhianatan. Arini tidak yakin hatinya akan kuat menghadapi semua itu dalam jangka waktu yang lebih lama lagi.
Arini menemui Fitri untuk berpamitan. Mereka berdua bicara banyak. Arini sempat bertanya, apakah ia berdosa jika memilih pergi dari Hanafi? Fitri hanya terdiam tidak menjawab apa-apa.
“Mungkin aku tidak sekuat Asiyah yang bisa tetap sabar meski suaminya seorang Firaun. Mungkin aku tidak setegar Layya istri nabi Ayub, yang tetap mendampingi suaminya meski suaminya menderita penyakit yang tidak bisa disembuhkan. Karena aku bukanlah manusia pilihan, aku manusia biasa. Dan aku menyerah Fit.” Arini terisak dalam pelukan Fitri. Fitri mengangguk dengan pipi yang juga telah basah. Fitri menepuk lembut pundak Arini.
“Jika memang Uda Hanafi telah memberi izin, pergilah.” Fitri merenggangkan pelukannya. Ditangkupkan wajah cantik di depannya dengan kedua tangannya.
“Tapi, ada satu hal yang ingin aku pesankan untukmu.” Fitri menatap mata indah Arini yang penuh oleh air mata.
“Apa?” Arini mengusap kembali mata dan pipinya untuk kesekian kalinya. Fitri mendekatkan wajahnya pada sahabatnya itu. Lalu dengan pelan, Fitri berbisik di telinga Arini. Seketika wajah Arini memerah.
“Tidak … tidak … aku tidak akan melakukan hal bodoh itu.” Arini menggeleng berulang kali.
Mereka kembali duduk di atas kasur. Fitri mengatakan banyak hal pada Arini. Meski ada beberapa hal yang Arini tidak sependapat dengan sahabatnya itu, tetapi Arini berusaha tetap menyimak dan mendengarkan dengan baik. Arini hanya meminta satu hal pada Fitri agar Fitri mau membantu Udin dan Etek Pia jika mereka membutuhkan bantuan. Fitri dengan senang hati menyanggupi permintaan Arini.
Arini telah memasukkan pakaiannya ke dalam koper. Ada dua buah koper yang akan dibawanya. Sejak Arini mengatakan akan pergi, Hanafi seperti selalu menghindarinya.
Arini mengedarkan pandangannya. Begitu banyak kenangan di kamar ini. Teringat ketika ia sedang belajar sampai akhirnya tertidur di meja belajar. Sang ayah akhirnya yang mengangkat Arini kecil ke tempat tidur. Pernah juga Arini kecil menangis karena tidak bisa mengerjakan PR matematika yang diberikan oleh guru. Ayahnya datang memeluknya dan berusaha menenangkannya. Kemudian Datuak Sutan Bandaro menjemput keponakannya, Hanafi, yang ketika itu telah duduk di bangku SMA. Hanafi pun mengajari Arini dengan sabar sampai Arini mengerti.
Arini memang tidak terlalu akrab dengan anak bakonya itu. Tetapi, ketika Arini kecil, Hanafi cukup sering datang ke rumahnya. Hanafi selalu datang berdua dengan adiknya Harun. Merek makan siang di rumahnya. Setelah itu, Datuak Sutan Bandaro akan meminta Hanafi dan Harun untuk bercerita tentang sekolah, teman-teman, dan juga umi mereka. Lalu ketika pulang, ayah Arini akan memberikan bekal uang sekolah dan uang jajan untuk keduanya.
Mata Arini kembali terasa panas begitu mengingat ayahnya. Tadi siang Arini telah ziarah ke makam sang ayah untuk meminta izin. Lama Arini duduk di depan pusara ayahnya, menceritakan banyak hal, mengingat masa-masa indah mereka berdua, dan untuk terakhir kalinya Arini berdoa di makam laki-laki kesayangannya itu.
*********
Ini malam terakhir Arini berada di sini. Besok, ia sudah berada di pulau seberang. Arini mematut sekali lagi dirinya di depan kaca. Debaran di dadanya semakin menjadi-jadi. Tangannya terasa dingin. Tubuhnya gemetar. Ini benar-benar gila, tetapi Arini akan mencoba melakukannya. Entah demi apa. Arini menutup tubuhnya dengan jubah tidur berwarna merah menyala, sama dengan warna baju tidur yang dikenakannya.
Arini memejamkan matanya dan berdoa dalam hati. Pukul 22.00. Dengan berjingkat, Arini mendekati pintu dorong kamarnya. Menggeser pintunya ke kiri dan melangkah memasuki kamar Hanafi. Tubuh Arini membeku melihat Hanafi yang baru keluar dari kamar mandi, Memakai celana pendek dan bertelanjang dada. Keberanian yang telah dikumpulkannya sejak siang tadi seperti lenyap tanpa bekas. Arini meneguk ludahnya.
“Arini …?” suara Hanafi bergetar. Arini menatap Hanafi sejenak dan mulai berjalan mendekat. Mereka semakin dekat. Deburan di dada Arini semakin bertalu kencang. Sementara Hanafi menatap Arini tanpa berkedip. Dada laki-laki itu naik turun, entah mengapa tiba-tiba ia merasa sesak. Arini berdiri tepat di hadapan Hanafi.
“Arini, ada apa?” Hanafi merasakan badannya panas, tetapi sedetik kemudian menjadi dingin.
“Ini malam terakhir aku di sini. Besok aku akan berangkat.” Suara Arini juga bergetar.
“Ya, aku tahu.” Hanafi mengangguk lemah.
“Aku ingin Uda menyempurnakan diriku sebagai seorang istri, malam ini.” Arini seperti melepaskan sebuah bongkahan batu besar dari dadanya. Pelan dibukanya jubah tidur yang menutup seluruh tubuhnya. Jubah berwarna merah itu jatuh ke lantai tepat di belakang kaki Arini. Hanafi terpana. Di depannya, Arini berdiri dengan baju tidur berwarna merah menyala. Dengan belahan rendah di bagian dadanya. Lekuk tubuh Arini, kulit putih mulusnya, dan wajah cantiknya membuat sesuatu di dalam diri Hanafi bergejolak. Harum citrus fruity yang begitu segar menghidupkan kelelakiannya yang telah lama diam dan tertidur.
“Arini …” Hanafi merasa sudah tidak berpijak lagi di bumi. Arini semakin dekat. Kini mereka benar-benar sudah tidak berjarak. Hanafi bergetar. Entah siapa yang memulai, bibir mereka pun bertemu. Bibir yang hangat dan kenyal, berpagut dalam hangatnya gairah yang semakin panas. Tak ada kata-kata yang terucap, hanya debaran di dada yang semakin tidak menentu. Gairah yang telah menemukan tempat bertaut, membawa mereka pada pusaran yang makin liar. Hanafi mengangkat tubuh Arini ke atas kasur.
Meski gejolak di dalam tubuh Hanafi telah sampai ke ubun-ubun, tetapi Hanafi masih sempat memejamkan mata dan merapalkan doa yang pernah diajarkan pegawai KUA ketika memberikan materi pranikah beberapa bulan lalu. Setelah itu, Hanafi kembali mengecup lembut bibir Arini. Hanafi pun melakukan apa yang semestinya dilakukan seorang suami terhadap istrinya. Hanafi menunaikan kewajiban yang telah sekian lama diabaikannya.
Hanafi dan Arini merasakan gelora yang lama-lama terasa begitu indah. Penuh kelembutan, Hanafi memperlakukan Arini. Untuk beberapa saat, Arini merasa menjadi perempuan yang amat dipuja. Masih kah Hanafi mempertanyakan cinta? Masihkah cinta diperlukan untuk sebuah penyatuan dua raga yang ternyata telah sama-sama mendamba?
Ah, manisnya malam pertama yang mereka nikmati setelah sekian purnama. Hanafi mereguk semua kenikmatan yang disuguhkan oleh wanita halalnya. Tidak ada cela, tidak ada keraguan, mereka mencapai puncak gairah dalam cawan madu yang begitu indah.
Hanafi mencium kening Arini untuk pertama kalinya.
“Terima kasih, kamu telah mempersembahkan sesuatu yang paling berharga untukku.” Hanafi menatap Arini dengan mata beriak. Entahlah tiba-tiba Hanafi merasa terharu.
Arini mengangguk dan memejamkan matanya. Hanafi mengambil selimut dan menyemuti tubuh Arini. Mereka serasa tidak punya tenaga lagi untuk berkata-kata. Malam yang dingin menjadi begitu hangat untuk keduanya. Hanafi melingkarkan tangannya pada Arini.
Ia telah membuang enam bulan waktunya dengan sia-sia. Ia telah menelantarkan Arini begitu lama. Masih adakah kesempatan untuk memperbaiki semuanya? Hanafi menatap wajah Arini yang sudah tertidur pulas. Wajah lelah namun puas. Hanafi tersenyum. Tidak pernah menyangka Arini akan melakukan semua ini untuknya. Penyerahan diri Arini membuat Hanafi merasa tersanjung.
Hanafi tertidur dengan senyum bahagia di sudut bibirnya. Masa depan yang indah dan bahagia hadir dalam mimpi malamnya. Arini membuka matanya begitu merasakan Hanafi telah terlelap dalam tidurnya. Arini melepaskan pelukan tangan Hanafi di perutnya. Perlahan Arini turun dari tempat tidur. Dipungutnya jubah tidurnya yang terserak di lantai. Setelah memakainya dengan tergesa, Arini bergegas kembali ke kamarnya.
Arini masuk ke kamar mandi. Melepaskan jubah yang menutup tubuhnya dan menghidupkan shower. Air hangat menyiram puncak kepalanya hingga ke seluruh tubuh. Di bawah siraman air hangat, air mata Arini mengalir membasahi pipi. Arini terisak. Akhirnya Hanafi menyempurnakan dirinya sebagai seorang istri. Jika kelak mereka bercerai, Arini tidak akan menjadi janda yang masih perawan.
Tetapi, ada luka yang bertambah dalam di ceruk hatinya. Arini merasa telah menjadi seorang lacur. Lacur yang menyerahkan diri pada seorang laki-laki yang tidak memiliki perasaan apa-apa padanya. Bedanya, Arini tidak menerima bayaran dan laki-laki itu adalah suami sahnya. Air mata Arini telah bercampur dengan derasnya air shower. Puas menangisi kebodohannya, Arini mematikan shower. Rasa dingin kembali menyergap begitu tubuhnya tidak lagi berada di bawah siraman air hangat. Dengan memakai handuk mandinya, Arini ke luar dari kamar mandi.
Arini memakai pakaian tidur setelan celana panjang dan blus dengan lengan yang juga panjang. Rasa dingin sedikit demi sedikit mulai berkurang. Beberapa menit, Arini mengeringkan rambutnya dengan pengering rambut. Setelah itu, Arini segera naik ke atas tempat tidur dan bergelung di dalam selimut tebalnya.
Esok, Arini akan meninggalkan semua duka laranya. Ia akan pergi sejauh-jauhnya dari laki-laki yang telah mengambil separuh hatinya ini. Telah ia serahkan segalanya. Telah ia tunaikan kewajibannya sebagai seorang istri. Jika kelak ia diminta mempertanggungkan amal perbuatannya di hadapan Allah, insyaAllah Arini telah siap. Karena Arini telah menyempurnakan tugas dan kewajibannya sebagai seorang istri.
Bersambung …..
Dilarang membully Arini. Jika tidak suka, harus pura-pura suka. wkwkwk

Tidak ada komentar:

Posting Komentar