CERBUNG: BIAS RINDU - EPISODE 14

Sabtu, 13 Juni 2020

BIAS RINDU - EPISODE 14

Judul: “Bias Rindu”
Penulis: Naya R
Terima kasih admin/moderator telah berkenan menyetujui tulisan ini.
Hanafi terbangun dan meraba kasur di sampingnya. Kosong. Hanafi langsung bangun dan turun dari tempat tidur. Hanafi tersadar, ternyata tidak memakai apa-apa. Hanafi mengambil selimut dan melilitkan ke pinggangnya. Laki-laki itu berjalan menuju kamar Arini. Digesernya pintu kaca dan melangkah masuk ke dalam. Mata Hanafi terpaku melihat Arini yang tengah bergelung di bawah selimut tebal. Hanafi mendekat dan berdiri tepat di samping tempat tidur istrinya itu.
Hanafi berjongkok, wajahnya kini sejajar dengan wajah cantik Arini. Hanafi memperhatikan setiap inci wajah istrinya itu. Alisnya, matanya yang terpejam, hidungnya, pipinya, dan bibirnya yang terlihat menggemaskan.
Dada Hanafi kembali berdesir. Kemesraan dan penyatuan dua jiwa yang penuh gairah kembali terbayang di pelupuk mata Hanafi. Duh, indahnya. Ternyata beginilah rasanya menjadi laki-laki sejati, Hanafi tersenyum dengan raut wajah bahagia. Tak dapat menahan diri, Hanafi mendekat, lembut diciumnya kening Arini. Ciuman yang begitu dalam dan penuh perasaan.
Dan entah mengapa tiba-tiba Hanafi merasa amat takut. Bagaimana jika Arini benar-benar pergi? Apa yang harus dilakukannya? Arini menggeliat. Hanafi segera bangkit dan berbalik. Buru-buru Hanafi meninggalkan kamar Arini kembali ke kamarnya. Hanafi langsung masuk kamar mandi.
Hanafi ingin bersujud kepada sang pengasih, untuk meminta satu saja permohonan, meminta Arini untuk tetap di sini. apakah sudah terlambat untuk mengetuk pintu langit dengan memohonkan sesuatu yang memang pantas untuk dimintanya?
Setelah mandi dan berwudu, Hanafi memakai sarung dan baju kokonya. Pukul 03.40 dini hari. Ini adalah waktu yang paling mustajab untuk memohon kepada sang pemilik hati. Setelah membentangkan sajadah, Hanafi pun mulai menghadapkan wajah dan hatinya pada Yang Maha Kuasa.
Selesai dengan enam rakaat tiga kali salam, Hanafi menadahkan tangannya. Dalam hati sebenarnya ada rasa malu pada sang pemilik bumi, karena ia hanya datang ketika merasa membutuhkan pertolongan. Tetapi, Hanafi merasa tidak punya lagi tempat mengadu dan meminta. Untuk memohon kepada Arini, rasanya Hanafi belum punya keberanian. Apalagi, rasanya ia masih punya harga diri untuk mengemis pada istrinya itu.
Hanya Tuhan yang tentunya masih mendengarnya tanpa takut ditertawakan. Sampai azan subuh berkumandang, Hanafi masih duduk di atas sajadahnya. Hanafi kemudian bangkit dan mengambil sajadahnya. Pagi ini, ia rindu datang ke masjid. Sudah lama sekali ia tidak sholat berjamaah. Mungkin sejak tamat dari SMA, Hanafi tidak pernah lagi sholat di masjid. Mulai hari ini, Hanafi bertekad untuk mulai memperbaiki diri, mulai menjadi mukmin sejati. Hal pertama yang harus dilakukannya adalah dengan mulai sholat berjamaah di masjid.
Arini terbangun begitu azan berkumandang. Untuk pertama kali sejak ia mengikuti liqo di kampus, Arini melewatkan sholat malamnya. Arini turun dari tempat tidur dengan tergesa. Seluruh badannya terasa ngilu dan sakit. Tetapi, Arini mencoba mengabaikan rasa tidak nyaman itu. Arini harus cepat, pesawatnya pukul 08.30. Setelah sholat subuh, Arini sudah harus berangkat. Tadi malam Arini telah memesan taksi.
Selesai sholat subuh, Arini segera berganti pakaian. Kulot lebar berwarna milo, blus warna krem pucat dan cardigan panjang berwarna senada dengan kulotnya. Jilbab dengan warna milo juga, menutup hingga ke dada. Arini menyapukan bedak dan lipstik. Arini mengambil tas sandangnya dan mendorong kopernya. Tetapi, sebelum ia ke luar dari kamarnya, Arini menyapukan pandangannya sekali lagi ke sekeliling kamar. Ia akan meninggalkan kamar ini, rumah, dan semua kenangan yang pernah ada di sini. Entah untuk berapa lama, Arini tidak tahu. Ada yang terasa hangat di sudut-sudut matanya.
Terlalu banyak kenangan di sini. Arini tengadah dan mengerjabkan matanya mengusir bulir bening agar tidak tumpah membasahi pipinya. Ia tidak boleh lemah, tidak boleh cengeng. Ayahnya telah mengajarkan banyak hal pada Arini. Arini tahu bahwa hidup tidaklah seindah yang ada di novel atau di film.
Setelah membaca Basmallah, Arini mendorong pintu kaca dan berjalan ke luar kamar. Arini melayangkan pandangan ke kamar Hanafi. Kamar laki-laki itu kosong. Kemana suaminya subuh-subuh begini? Kening Arini berkerut. Apakah ia tidak akan sempat berpamitan sebelum pergi?
Dengan dua buah koper di kiri dan kanannya, Arini ke luar dari kamar Hanafi. Begitu berada di luar kamar, Arini mendengar suara Etek Halimah dan Etek Pia dari arah dapur. Sementara Etek Pia dan Etek Halimah juga mendengar suara gesekan roda koper di lantai. Keduanya sama-sama menoleh ke arah depan. Terlihat Arini telah rapi sedang mendorong dua buah koper yang lumayan besar. Etek Halimah dan Etek Pia saling pandang lalu sama-sama bergegas menuju ruang tamu.
Arini baru saja sampai di ruang tamu ketika pintu terbuka dari luar. Hanafi dan Udin berdiri di depan pintu. Mata Hanafi terpaku menatap Arini dan dua koper di kiri kanannya.
“Kamu tetap akan pergi?” Suara Hanafi bergetar. Arini meneguk ludahnya.
“Iya.”
“Tidak adakah yang bisa membuatmu untuk tetap di sini?”
“Entahlah.” Arini menunduk. Hatinya sedikit bimbang.
“Sampai kapan?” Mata Hanafi tidak lepas dari Arini.
“Aku juga tidak tahu.” Arini kembali mengangkat wajahnya dan mata mereka bertemu. Dada Arini berdesir halus. Bayangan kemesraan tadi malam kembali melintas di matanya.
“Apakah kamu akan kembali?”
“Tentu.” Arini mengangguk.
“Baiklah.” Hanafi juga mengangguk. Sementara Udin, Etek Pia, Etek Halimah menatap kedua orang anak manusia itu dengan hati yang perih. Etek Halimah sudah tidak dapat menahan air matanya. Pipi tuanya telah basah oleh air mata. Dadanya terasa sakit. Amat sakit.
Beberapa detik berikutnya, terdengar suara klakson mobil di luar pagar. Semua melihat ke arah luar. Dalam cahaya yang masih temaram, terlihat sebuah taksi telah berhenti di depan pagar rumah. Jantung Hanafi seakan berhenti berdetak. Akhirnya perempuan ini benar-benar pergi. Lalu apa artinya penyerahan dirinya tadi malam? Apa artinya kemesraan yang telah mereka reguk tadi malam? Apakah memang tidak berarti apa-apa sama sekali? Hati Hanafi serasa tercabik.
“Aku pamit.” Arini maju selangkah dan mengulurkan tangannya. Hanafi mengangkat tangannya yang serasa sudah tidak bertulang. Mereka berjabat tangan dan untuk beberapa detik saling menggenggam. Arini menunduk dan mencium punggung tangan Hanafi. Mata Hanafi tiba-tiba terasa panas. Dadanya menjadi begitu sesak. Bibir lembut Arini menyentuh punggung tangannya.
“Boleh aku memelukmu?” Hanafi mengembangkan tangan. Arini mengangguk. Hanafi langsung merengkuh tubuh Arini ke dalam pelukannya. Bening yang sedari tadi ditahan Arini akhirnya jatuh juga membasahi pipinya. Hanafi juga sama. Air mata telah menggenang di pelupuk matanya. Sudah berapa lama ia tidak pernah menangis. Rasanya sudah sangat lama.
Etek Pia dan Etek Halimah terisak. Mereka berdua sama-sama berdoa, semoga ada keajaiban. Semoga Arini memilih untuk tetap di sini.
“Aku pergi. Maafkan jika selama menjadi istri Uda, aku belum bisa menjadi istri yang baik.” Arini merenggangkan pelukannya. Hanafi tercekat, banyak yang ingin dikatakannya. Tetapi, kata-katanya tertahan di tenggorakan.
Pelukan Hanafi terlepas. Arini berbalik dan mengulurkan tangan pada mertuanya. Etek Halimah menyambut tangan Arini dengan tubuh bergetar. Arini memeluk mertuanya dengan erat.
“Maafkan Arini, Tek. Maafkan jika bakti Arini pada Etek belum sempurna.” Arini berkata di sela isakannya. Etek Halimah menggeleng.
“Tidak, Nak. Engkau telah melaksanakan tugasmu dengan sangat baik. Terima kasih untuk semua kebaikanmu.” Etek Halimah berkata dengan suara parau. Etek Halimah serasa akan mengantarkan anak kesayangannya ke liang lahat. Begitu perih.
Arini merenggangkan pelukannya dan menatap wajah mertuanya sekali lagi.
“Sehat terus, ya, Tek.” Arini mencoba tersenyum, meski senyumnya adalah senyum kepedihan. Etek Halimah sudah tidak sanggup lagi berkata apa-apa. Arini lalu mendekati Etek Pia. Menyalami perempuan yang telah dianggapnya sebagai pengganti ibu kandungnya itu. Lalu memeluknya untuk yang terakhir kalinya.
“Titip Udin dan Etek Halimah, ya, Tek.” Arini berbisik di telinga Etek Pia.
“Ya, Nak. InsyaAllah semua amanatmu akan Etek laksanakan.”
“Terima kasih, Tek.”
“Jaga dirimu baik-baik, Nak.” Etek Pia kembali terisak.
“Ya, Tek.” Arini mengangguk. Lalu Arini mengusap kedua pipinya dengan kedua telapak tangannya. Arini berbalik dan bersiap mengambil kopernya. Tetapi, Hanafi telah duluan melakukannya. Hanafi berjalan ke luar rumah menuju pagar. Sebelum mengikuti langkah Hanafi, Arini berhenti di samping Udin.
“Udin, Uni berangkat, ya. Ingat semua pesan Uni, ya, Dek.” Arini mengusap kepala Udin dengan sayang.
“Ya, Ni. Udin akan menjadi orang yang sukses seperti yang Uni katakan.” Udin mengangguk dengan mata yang juga basah. Arini tersenyum bahagia. Lalu Arini pun melangkahkan kakinya menyusul Hanafi yang telah berdiri di samping taksi.
Kedua kopernya telah masuk ke dalam taksi. Hanafi membukakan pintu untuk Arini. Arini menatap Hanafi beberapa saat sebelum masuk ke mobil. Hanafi mencoba tersenyum, tetapi rasanya tidak bisa. Pintu mobil ditutup. Lalu dalam hitungan detik, mobil pun bergerak meninggalkan Hanafi.
Hanafi menatap taksi yang membawa Arini, sampai taksi itu tidak lagi kelihatan. Hanafi kembali masuk ke dalam rumah. Sebelum menuju ke kamarnya, Hanafi melihat uminya duduk menangis di ruang keluarga. Hanafi tidak berani untuk mendekati. Akhirnya Hanafi masuk ke kamarnya.
Laki-laki itu duduk di pinggir tempat tidur. Hanafi tercenung. Ada yang terasa hilang dari hatinya. Dunianya mendadak terasa lengang. Hanafi serasa pulang dari pemakaman, serasa pulang dari mengantarkan orang terkasih ke liang lahat.
Hanafi melangkah menuju kamar Arini. Hanafi berdiri menatap setiap sudut kamar bernuansa merah jambu ini. Hanafi membuka lemari pakaian Arini. Masih terdapat beberapa pakaian Arini di lemari. Hanafi mengambil salah satu gamis yang pernah dipakai Arini ke rumah sakit. Gamis berwarna hijau botol.
Hanafi memegang gamis itu dengan kedua tangannya. Lalu dengan tangan gemetar, diangkatnya ke atas. Penuh perasaan Hanafi mencium gamis istrinya itu. Aroma citrus fruity memenuhi rongga hidungnya. Wangi ini yang diciumnya tadi malam ketika mereka bercinta.
Ya … baru tadi malam mereka melakukannya. Arini menyerahkan dirinya dengan sepenuh jiwa pada Hanafi. Apakah itu tidak berarti Arini mendambanya? Mencintainya?
Lalu kenapa sekarang ia tetap pergi? Apakah perempuan itu sengaja melakukan hal ini padanya? Sengaja ingin mempermainkannya? Masih terbayang pancaran penuh kerinduan di mata istrinya itu. Masih terbayang kobar api asmara di wajah cantik istrinya itu. Mereka memang baru melakukannya sekali, tetapi Hanafi bisa memastikan kalau Arini benar-benar mencintainya. Cara perempuan itu melayaninya tadi malam menunjukkan tentang perasannya pada Hanafi.
Tiba-tiba Hanafi bangkit dengan tergesa. Hanafi memeriksa meja belajar Arini mencari sesuatu. Tetapi, Hanafi tidak menemukan apa-apa. Hanafi memperhatikan dinding kamar Arini, tetapi juga kosong. Lalu dibukanya laci lemari, diacaknya isi laci dengan tergesa. Tetap tidak tetap tidak menemukan apa-apa.
Hanafi kembali ke kamarnya. Matanya menyapu seluruh isi kamar. Hanafi bersorak ketika matanya menemukan apa yang sedang ia cari. Kunci kontak mobil. Tergesa, Hanafi mengganti sarungnya dengan celana jeans, mengganti baju kokonya dengan kaos berwarna putih. Lalu disambarnya kunci mobil yang dibawahnya terdapat sebuah kertas. Hanafi membacanya sekilas. Arini menitipkan mobilnya pada Hanafi. Hanafi dipersilakan untuk menggunakannya setiap hari. Dada Hanafi kembali terasa sesak.
Hanafi ke luar kamar dan mencari uminya. Uminya sudah tidak ada di ruang keluarga. Hanafi menuju kamar tamu. Tanpa mengetuk, Hanafi membuka pintu kamar. Mata Hanafi terpaku melihat umi dan Annisa sedang membereskan barang-barangnya dan memasukkannya ke dalam sebuah tas besar. Hanafi berjalan mendekat.
“Umi mau ke mana?” Hanafi menatap Uminya dengan bingung.
“Kami mau kembali ke rumah gadang. Arini sudah tidak ada di sini. Tidak pantas lagi jika kami masih tetap tinggal di sini.” Uni menjawab datar tanpa menoleh pada Hanafi. Untuk kesekian kalinya Hanafi merasakan perih di ulu hatinya.
“Umi, Hanafi minta nomor telepon Arini.” Hanafi berkata tanpa berani menatap uminya.
“Enam bulan menikah, kamu tidak menyimpan nomor telepon istrimu? Sekarang Umi sadar, memang sudah sepantasnya Arini pergi.” Umi berkata dengan kasar. Hanafi menjatuhkan dirinya di hadapan sang ibu.
“Umi, maafkan Hanafi. Hanafi telah melakukan kesalahan besar. Hanafi akan segera memperbaikinya. Masih ada waktu, Mi. Hanafi akan segera menyusul Arini dan akan membawa Arini kembali pulang ke rumah ini.” Hanafi meraih tangan uminya dan meletakkannya di atas kepalanya. Tidak dapat ditahan, hati sang umi pun luruh.
Melihat mata merah anaknya yang tergenang cairan bening, umi pun meraih kepala Hanafi dan mengusapnya dengan penuh kasih. Sementara Annisa hanya terdiam di sudut kamar. Pipi gadis itu juga telah basah oleh air mata.
Annisa sedih, Arini tidak mencarinya sebelum berangkat tadi. Kemarin memang kakak iparnya itu telah pamit padanya dan memberinya sebuah ATM. Arini berjanji akan mengirimi Annisa uang setiap bulan untuk biaya sekolah dan jajannya. Meski Annisa menolak, tetapi Arini tetap bersikeras memberikan ATM tersebut pada Annisa.
“Pergilah, Nak. Cepat kejar istrimu. Bawa dia kembali pulang.” Umi terisak seraya menarik tubuh Hanafi agar berdiri. Hanafi bangkit dan mengambil tangan uminya.
“Tolong restui dan ridhoi Hanafi, Umi.” Laki-laki itu berkata dengan suara parau. Umi mengangguk.
“Iya, Nak. Umi merestui dan meridhoi setiap langkahmu. Pergilah cepat sebelum terlambat.” Umi mengambil ponselnya dari atas meja rias dan membuka kontak yang ada di dalamnya.
“Ini nomor Arini.” Umi mengulurkan ponsel di tangannya pada Hanafi. Hanafi menerimanya dan segera memindahkan nomor tersebut ke ponselnya.
“Ini, Mi. Hanafi berangkat, Mi.” Hanafi mencium kembali tangan uminya.
“Ya, Nak. Hati-hati.” Umi mengangguk seraya menerima ponselnya kembali.
Hanafi ke luar dari kamar dan setengah berlari menuju pintu depan. Dalam hitungan detik, Hanafi telah berada di dalam mobil Arini. Setelah membaca Basmallah, mobil pun keluar dari garasi. Lalu detik berikutnya mobil berwarna silver itu telah berada di jalan raya.
Hanafi mengeluarkan ponsel dan mencari nomor Arini yang telah disimpannya dengan tangan kiri. Setelah bertemu, Hanafi menekan tombol hijau dan mendekatkan di telinganya.
Tut … tut … tut … Nada sibuk menyambut sambungan telepon Hanafi. Hanafi melempakan ponselnya begitu saja ke kursi di sampingnya. Dan kembali memacu laju mobil dengan kecepatan maksimal.
Hanafi melirik jam di depannya. Pukul 06.40. Penerbangan ke Jakarta biasanya di pukul 08.30. Ia masih memiliki banyak waktu. Tetapi, Hanafi harus tetap mempertahankan laju mobilnya seperti ini. Melewati Padang Lua, masuk Padang Panjang. Lalu lintas masih normal. Hanafi tidak henti merapalkan doa agar bisa sampai di bandara sebelum Arini masuk ke pesawat.
Turun dari Padang Panjang menuju Silaiang, kendaraan mulai terlihat melambat. Barisan kendaraan seperti ular yang beringsut dengan amat lamban. Hanafi memukul stir mobilnya dengan rasa putus asa. Lima belas menit, belum juga terlihat kemajuan. Jalan sepertinya dibuka tutup. Entah apa yang terjadi di bawah sana.
Astaghfirullahalazim. Hanafi mengucap istighfar berulang kali. Namun keadaan tidak juga membaik. Hampir setengah jam lebih, akhirnya Hanafi bisa juga melewati pusat kemacetan. Ternyata penyebabnya sebuah mobil truk yang terbalik di tengah jalan. Sehingga jalan harus buka tutup untuk melewatinya.
Lepas dari Silaiang, Hanafi memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Pukul 08.15 Hanafi sampai di bandara. Dari parkiran Hanafi berlari menuju pintu keberangkatan. Setelah memperlihatkan kartu identitas dokternya kepada petugas dan sedikit berbohong jika ada pasiennya yang sedang membutuhkan pertolongannya di dalam, Hanafi akhirnya bisa masuk ke ruang tunggu.
Hanafi menyisiri kursi demi kursi. Tetapi tidak ditemukannya sosok yang dicarinya. Hanafi mendekati petugas yang menjaga di pintu gate 2. Petugas menunjuk pesawat yang sedang berada di landasan. Pintu pesawat terlihat mulai ditutup. Hanafi memohon agar diizinkan mendekati pesawat. Tetapi petugas mengangkat tangannya.
“Itu pesawat pertama yang berangkat hari ini, Dek?” Hanafi memastikan sekali lagi pada petugas.
“Ya, Pak.” Petugas berseragam hijau dengan bis putih itu mengangguk.
“Tujuannya?”
“Jakarta, Pak.”
“Terima kasih, Dek.” Hanafi berbalik dan melangkah gontai meninggalkan ruang tunggu. Hanafi seperti sedang melepaskan sebuah jiwa yang telah sekian lama menyatu dalam dirinya. Lengang, hampa, Hanafi merasa seorang diri saat ini. Bagaimana ia akan mengatakan pada uminya kalau Arini benar-benar telah pergi. Bagaimana ia akan menghadapi uminya jika pulang ke runah tanpa Arini.
Hanafi berjalan lemah menuju parkiran. Dalam hati, Hanafi bertekad akan mencari Arini meski ke ujung dunia sekalipun.
***************
Pukul 07.10, Arini sampai di Bandara Internasional Minangkabau. Arini turun dari mobil dan langsung menuju bagasi mobil. Supir taksi telah menurunkan kedua kopernya. Setelah mengucapkan terima kasih dan membayar uang taksi, Arini mendorong kedua kopernya ke pintu masuk keberangkatan.
Setelah melewati pintu pemeriksaan penumpang dan barang, cek in di meja petugas, akhirnya Arini bisa duduk di ruang tunggu. Arini hanya memegang tas sandangnya. Kedua kopernya telah masuk ke dalam bagasi.
Arini mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Ponselnya memang telah dimatikannya sejak berangkat tadi. Dibukanya penutup baterai lalu diambilnya kartu telepon dari tempat kartu. Arini menggantinya dengan kartu yang baru. Arini telah berpesan pada Pak Syafril, Uda Jafar, Mak Munin, Etek Pia, hanya Arini yang akan menghubungi mereka. Mereka hanya bisa menghubungi Arini jika ada keperluan yang mendesak. Dan Arini juga berpesan, tidak ada yang boleh memberikan nomor ponselnya kepada siapapun. Meski itu suaminya sendiri atau bahkan mertuanya.
Hari ini, Arini akan memulai semuanya dari nol. Ia akan melupakan semua hal menyangkut pernikahannya yang menyedihkan. Ia akan melupakan Hanafi.
Ya … laki-laki itu ternyata tidak menahan kepergiannya sedikitpun. Apalagi yang harus diragukan Arini? Bukankah itu sudah menunjukkan kalau Hanafi memang menginginkan kepergiannya? Bukankah itu telah menjadi bukti, jika tidak ada sedikitpun nama Arini di hati suaminya itu.
Sakit? Terluka? Tentu saja. Luka itu makin menganga di hatinya. Tetapi Arini tidak akan menangisi takdirnya. Tidak akan menangisi laki-laki yang tidak pernah mencintainya itu. Cukup sudah ia bertahan selama enam bulan. Menghadapi sikap dingin suaminya dengan sabar, menyaksikan pengkhianatan suaminya dalam diam. Sekarang sudah saatnya Arini lepas dari ikatan yang tidak jelas muaranya ini. Sudah saatnya Arini memikirkan dirinya sendiri. Kebahagiaannya, masa depannya, dan hari esok yang lebih baik.
Panggilan dari suara pengeras untuk keberangkatan maskapai penerbangan yang tertera di tiket Arini telah terdengar untuk ekdua kalinya. Arini bangkit dari tempat duduknya. Dan mengikuti langkah penumpang lainnya yang sama-sama bergegas menuju pintu dua, Arini berjalan dengan tubuh yang terasa lebih ringan.
Selamat tinggal ranah Minang. Selamat tinggal kampung halaman. Arini berbisik dalam hati. Matanya kembali terasa panas. Tetapi kali ini bukan lagi karena Hanafi.
Meninggalkan kampung halaman untuk jangka waktu yang tidak ia tahu, membuat hatinya sedih. Walau bagaimanapun, di sinilah ia dilahirkan. Di sinilah ia dibesarkan. Ia mencintai ranah minang. Mencintai semua hal yang ada di sini. Tapi ia harus meninggalkan semuanya. Apakah ia kalah? Tidak! Arini tidak merasa kalah. Ia ya menentukan nasibnya sekarang, dengan izin Tuhan tentunya. Ia telah mengambil sikap. Ia telah berani mengambil keputusan besar ini. Arini tersenyum dengan mata mengembun.
Tinggalah kampuang …
Tinggalah ranah Minang …
Suatu saat, andai ia merasa sudah saatnya untuk kembali
Ia pasti akan pulang
Arini duduk di kursi dekat jendela. Pesawat baru saja lepas landas. Posisi pesawat yang menukik ke atas seperti ini selalu membuat kepala Arini terasa berat. Dadanya sesak seperti kekurangan oksigen. Setelah itu rasa mual melengkapi penderitaannya. Arini memejamkan mata untuk mengusir rasa pusing dan rasa mualnya.
“Tidak jadi melanjutkan kuliah di Jakarta?” Arini mendengar laki-laki di sebelahnya berbicara. Suaranya sudah sangat akrab di telinga Arini. Arini menoleh dengan kening berkerut.
“Dokter?” Arini setengah berteriak karena kaget.
“Hai, ternyata kita satu penerbangan, ya.” Dokter Adrian tersenyum jahil pada Arini. Arini mendadak merasa beku.
“Dokter mau ke mana?” Arini menatap dokter Adrian dengan tatapan curiga.
“Sama seperti kamu. Jogyakarta.” Dokter Adrian menjawab santai. Mata Arini menyipit. Benarkah ini suatu kebetulan yang tidak disengaja?
“Santai saja, namanya penerbangan umum, siapa saja, ya, bisa ikut terbang.” Dokter Adrian lagi-lagi tersenyum menggoda. Wajah Arini langsung memerah karena laki-laki ini telah membaca isi hatinya.
“Kenapa akhirnya memilih kuliah di Jogya?” Adrian melirik Arini.
“Nggak apa-apa.” Arini menjawab singkat. Jujur Arini tidak nyaman rasanya. Laki-laki ini seperti mengikutinya. Walau bagaimana pun ia masih istri seseorang. Dan ia harus bisa menjaga nama baik suaminya, menjaga nama baik keluarganya.
“Aku ada seminar di Jogya. Kebetulan setelah kamu beli tiket kemarin, aku juga beli tiket di travel yang sama. Tidak sengaja aku melihatmu ke luar dari kantor travel tersebut. Kebetulan berikutnya, pegawai travel itu sepupu aku. Jadi pas aku minta tolong di cek in kan secara on line, aku minta dicarikan kursi yang berdekatan denganmu.” Adrian berkata panjang lebar untuk menghilangkan berbagai pertanyaan di dada Arini.
Arini baru tersadar, pantas pas cek in tadi, prosesnya cepat. Petugas hanya mengurusi masalah bagasinya.
“Cuma yang aku heran, kenapa kamu memilih penerbangan yang transit dulu di Jakarta? Padahal kan ada pesawat yang langsung ke Jogya.”
“Tidak apa-apa, Dokter.” Arini kembali menjawab singkat.
“Kamu sedang menghindari seseorang?” Dokter Adrian menatap Arini dari samping. Arini memalingkan wajahnya ke arah jendela.
“Dokter, maaf, kepala saya pusing sekali. Saya izin tidur, ya.” Tanpa menjawab pertanyaan sang dokter, Arini meminta izin untuk segera beristirahat.
“Mau minum obat?” Adrian merogoh tas kecilnya.
“Tidak usah, Dokter. InsyaAllah dengan tidur beberapa saat, pusingnya akan hilang.” Arini mulai mencari posisi yang nyaman dan memejamkan matanya. Adrian menarik napas panjang. Arini sepertinya tidak ingin diganggu. Barangkali Arini memang sedang butuh sendiri. Adrian mencoba untuk mengerti.
Bersambung ….
Bonus di hari minggu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar