CERBUNG: BIAS RINDU - EPISODE 15

Sabtu, 13 Juni 2020

BIAS RINDU - EPISODE 15

Judul: “Bias Rindu”
Penulis: Naya R
Terima kasih admin/moderator telah berkenan menyetujui tulisan ini.
Sampai di bandara Adi Sucipto Yogyakarta, Arini sebisa mungkin mengurus barang-barangnya sendiri. Adrian bisa melihat kalau Arini mencoba menjaga jarak dengannya. Adrian mencoba menghargai sikap Arini tersebut. Tetapi, membiarkan perempuan bermata indah ini seorang diri, Adrian juga tidak tega. Akhirnya Adrian tetap mengikuti langkah kaki Arini yang sedang berjalan menuju pintu luar.
Arini memesan sebuah taksi, tanpa bicara apa-apa pada Adrian. Laki-laki tampan ini sedikit merasa heran, kenapa tiba-tiba Arini berubah acuh seperti ini padanya. Begitu taksi datang, Arini bergegas mengangkat kopernya dibantu oleh supir taksi. Begitu Arini naik, Adrian ikut naik dan duduk di sampingnya. Arini menatap Dokter Adrian dengan wajah heran.
“Dokter mau ke mana?”
“Saya akan antar kamu. Saya ingin memastikan kalau kamu selamat sampai di tujuan.”
“Tapi, itu tidak perlu Dokter.”
“Arini, percayalah, saya tidak punya maksud apa-apa. Saya janji tidak akan mengganggu kamu. Tidak bisakah kamu menganggap saya sebagai teman?” Adrian memberikan penekanan pada kata teman. Untuk beberapa saat Arini terdiam. Supir taksi telah duduk di depan mereka dan menanyakan alamat yang akan dituju. Arini menyebutkan alamat teman kuliahnya. Untuk beberapa hari, sebelum mendapatkan rumah kos, Arini akan menumpang di rumah Dini, teman kuliahnya.
Akhirnya Arini diam. Mobil mulai bergerak meninggalkan parkiran bandara.
“Arini, aku tahu kamu merasa tidak nyaman denganku. Tetapi, cobalah berpikir, aku tidak mungkin melakukan hal buruk kepadamu. Almarhum Datuak Sutan Bandaro telah menitipkan kamu kepada saya. Dan saya tidak akan mengabaikan amanat tersebut, karena Pak Datuak sangat berjasa kepadaku.” Adrian berhenti sejenak. Arini masih diam memandang jalanan di depannya.
“Percayalah, aku akan menghormatimu sebagai seorang anak Datuak Sutan Bandaro dan aku akan menghormatimu sebagai seorang wanita bersuami. Jadi tolonglah jangan terlalu sungkan. Aku jadi merasa tidak enak juga.” Adrian melirik Arini sekilas. Arini menunduk, ucapan Adrian begitu mengena ke hatinya.
“Ya, Dok.” Akhirnya Arini menjawab juga dengan suara pelan. Mobil memasuki Kota Jogya yang terlihat teduh. Meski kota pelajar ini juga terlihat macet pada jam-jam tertentu, tetapi entah mengapa keramaian dan kemacetannya tidak terlihat semrawut.
“Kamu sudah ngasih tahu temanmu kalau akan datang hari ini?” Adrian mencoba menghilangkan kekakuan di antara mereka.
“Belum, sih, Dok.” Arini menggeleng.
“Jadi kok bisa memutuskan ke rumahnya?” Adrian merasa heran dengan Arini.
“Ya, dulu semasa masih kuliah, aku pernah main ke rumahnya yang di Yogya ini, Dok.”
“Teman kuliahmu ada yang dari Yogya? Jauh-jauh ke Padang hanya untuk kuliah jurusan gizi?” Adrian benar-benar tidak habis pikir.
“Memang kenapa dengan jurusan gizi, Dok? Nggak sehebat kedokteran gitu, sehingga aneh kalau mahasiswanya ada yang datang dari luar kota?” Arini merasa tidak senang dengan ucapan Adrian.
“Bukan … bukan gitu maksudnya.” Adrian merasa keceplosan bicara.
“Teman aku itu punya bibi yang tinggal di Sumatera Barat, Dok. Karena dia ingin mencoba merantau, jadilah dia kuliah di Padang.” Akhirnya Arini mau juga bicara panjang lebar.
“Oh, kalau gitu kan masuk akal.” Adrian mengangguk dan senyum-senyum sendiri. Arini sudah mau bicara dengannya. Adrian merasa lega.
Setelah itu, Adrian menanyakan rencana-rencana Arini ke depannya. Arini menjawab dengan lebih ramah. Tidak berapa lama, taksi yang mereka tumpangi berhenti di depan sebuah rumah sederhana di kawasan Tegalrejo.
“Sudah sampai, Mbak.” Supir taksi mengangguk hormat pada Arini.
“Ya, Pak.” Arini memperhatikan rumah bercat putih itu dengan seksama. Ya, benar, ini rumah Dini yang pernah dikunjunginya dua tahun lalu. Arini membuka pintu mobil dan bergegas turun. Begitu juga dengan Adrian. Dua kopernya telah diturunkan oleh pak supir taksi. Arini mengeluarkan dompetnya mengambil duit, namun perempuan bermata indah ini kalah cepat dengan dokter Adrian. Adrian telah memberikan ongkos taksi pada pak supir.
“Saya pamit, Mba, Mas.” Lelaki paruh baya itu membungkuk santun pada Arini dan Adrian.
“Ya, Pak, makasih, ya, Pak.” Arini dan Adrian mengucapkan terima kasih berbarengan. Setelah itu taksi mulai bergerak menjauh meninggalkan mereka. Arini dan Adrian mengambil masing-masing satu koper dan mendorongnya menuju rumah yang terlihat sepi itu.
Mereka mendorong pagar besi yang tidak digembok. Memasuki halaman yang tertata rapi.
“Sepertinya tidak ada orang.” Adrian meletakkan koper Arini di teras. Begitu juga dengan Arini. Berdua mereka mendekati pintu kayu yang sudah terlihat tua dimakan usia. Arini mengetuk pintu kayu itu dan mengucapkan salam. Beberapa kali Arini mengetuk disertai ucapan salam. Tetapi, tidak ada jawaban dan tanda-tanda pintu akan dibukakan. Arini menoleh pada Adrian dengan wajah bingung.
“Kamu ikut ke rumah sepupu aku aja, ya? Dia sedang ambil S2 juga di sini.” Adrian menjawab kebingungan Arini. Arini berpikir untuk beberapa saat. Tetapi, Adrian telah memesan taksi online kembali tanpa menunggu persetujuan Arini.
“Nyari Dini, Nduk?” Seorang ibu tiba-tiba menegur Arini dari depan pagar.
“Iya, Bu. Dini ke mana, ya, Bu?” Arini berjalan ke arah pagar.
“Dini dan keluarganya ke Sragen, Nduk. Ada saudara mereka yang meninggal di sana.”
“Oh, iya, Bu. Makasih, ya, Bu.” Arini mengangguk dengan wajah kecewa.
“Nggih, Nduk.” Ibu itu pun berlalu setelah mengangguk sopan pada Arini.
Arini masih berdiri di sisi pagar ketika sebuah mobil berhenti tepan di depannya. Adrian datang mendekat dengan mendorong dua koper Arini sekaligus.
“Ayok.” Adrian mengangguk pada Arini. Meski ragu, tetapi akhirnya Arini mengikuti juga langkah Adrian menuju mobil berwarna silver di depan pagar. Seorang supir seumuran dengan mereka membukakan bagasi mobil. Adrian dibantu si supir memasukkan kedua koper Arini ke bagasi. Setelah menutup pintu pagar kembali, Adrian membukakan pintu mobil untuk Arini dan mempersilakan perempuan yang tiba-tiba terlihat sendu itu naik duluan.
Adrian menyebutkan alamat sepupunya pada supir taksi. Mobil pun bergerak perlahan meninggalkan rumah Dini. Di sepanjang perjalanan, Arini terlihat resah. Jemari tangannya tidak henti saling meremas. Adrian merasa kasihan melihatnya.
“Sepupu aku itu namanya Dona. Dia sedang mengambil magister Farmasi di UGM. Orangnya baik, kamu bisa tinggal di kontrakannya sampai kamu mendapatkan tempat kos.” Adrian yang melihat kegelisahan Arini merasa kasihan juga.
“Iya, Dok.” Arini mengangguk lemah.
“Kalau sedang tidak di rumah sakit, gimana kalau kamu nggak usah manggil saya dengan sebutan Dokter?” Adrian menatap Arini dengan ragu.
“Lalu manggil apa?” Arini balas menatap Adrian dengan bingung.
“Manggil Uda aja seperti sama yang lain.” Entah mengapa wajah Adrian terasa panas juga ketika mengatakannya.
“Uda?” Arini merasa kelu mengucapkannya. Tiba-tiba perempuan berhati lembut itu langsung teringat dengan suaminya. Sedang apa laki-laki itu sekarang? Apa yang dirasakannya setelah ia tidak lagi berada di dekatnya?
“Ya, Uda. Rasanya terlalu formal panggilan Dokter.” Adrian mengungkapkan isi hatinya.
“Ya, Dok. Nanti saya coba.” Arini manjawab lirih. Jujur, Arini merasa tidak nyaman jika harus memanggil uda pada Adrian.
“Sudah sampai, Mas.” Mobil berhenti di depan beberapa buah rumah petak yang berjejer sederhana.
“Oh, iya, Mas.” Adrian tersadar. Perjalanan terasa begitu cepat. Adrian bergegas turun diikuti oleh Arini. Kedua koper Arini kembali diturunkan. Setelah membayar uang taksi, dan mengucapkan terima kasih, Adrian mendorong koper Arini ke salah satu rumah petak bercat putih. Ada empat buah rumah yang berjejer di dalam satu pekarangan yang cukup luas. Beberapa pohon besar dan rindang menambah kesan asri dan sejuk. Arini mendorong koper satunya lagi mengikuti langkah Adrian.
“Assalammualaikum.” Adrian mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Beberapa detik menunggu, terdengar sahutan salam dari dalam rumah dan langkah kaki mendekat.
“Waalaikumsalam.” Pintu terbuka dan di depan keduanya berdiri seorang gadis manis berkerudung coklat.
“Uda! Kok nggak mengabari kalau mau datang?” Gadis di depan mereka bersorak gembira.
“Biar kejutan.” Adrian menjawab seraya tersenyum. Adik sepupunya ini memang selalu heboh.
“Ini siapa, Da? Cantik banget. Pacar Uda, ya?” Gadis itu menatap Arini tanpa berkedip.
“Hush, bicara jangan sembarangan. Ini Arini, istri teman Uda. Arini akan kuliah di sini. Sebelum dia mendapat tempat kos, bisa kan numpang dulu di sini?” Adrian menatap Dona penuh harap.
“Oh, udah bersuami? Sayang, ya.” Dona berbisik pelan.
“Sayang kenapa?” Adrian menatap Dona dengan heran.
“Iya, sayang. Soalnya cocok sekali dengan Uda.” Dona menjawab malu-malu.
“Dona!” Adrian menghardik Dona karena merasa tidak enak dengan Arini. Sementara Arini merasa wajahnya panas dan mungkin juga sudah memerah.
“Eh, iya, Da. Maaf. Ayo, silakan masuk.” Dona menyipitkan matanya pada Adrian merasa bersalah dengan ucapannya.
Adrian dan Arini melangkah masuk. Mereka langsung bertemu dengan ruang tamu sederhana, yang hanya berisi tikar dan sebuah meja bundar.
“Duduk dulu, ya, Uni.” Dona mempersilakan Arini.
“Ya, Don, makasih.” Arini meletakkan kopernya di sudut ruang tamu, lalu mengambil posisi di dekat jendela kaca. Arini duduk bersandar di sana.
Sementara Adrian mengambil tempat di depan Arini. Dona masuk ke dalam untuk menyiapkan minum. Tidak berapa lama, Dona keluar lagi dengan dua gelas minuman di atas nampan, lalu meletakkannya di atas meja.
“Silakan diminum, Uni, Uda.”
“Ya, Don, makasih.” Arini mengangguk dan tersenyum pada Dona.
“Kamu bisa kan, Don, bantu Arini cari tempat kos?”
“InsyaAllah, nanti Dona bantu, Da. Tapi kalau mau gabung di sini, juga nggak apa-apa, Uni.”
“Nah, boleh juga tuh.” Adrian merasa senang dengan usul Dona.
“Di sini ada dua kamar, Uni. Kemarin aku ambil rumah seperti ini karena rencananya adikku, Dian, juga mau kuliah di sini. Ternyata nggak jadi. Cuma aku sudah terlanjur cocok dengan rumah ini.” Dona menjelaskan panjang lebar.
“Makasih, Don. Tapi, nanti aku coba cari dulu yang dekat kampus, ya.” Arini mencoba menolak dengan halus.
“Sebenarnya ini udah yang paling dekat ama kampus, lho. Tapi, ya, terserah Uni di mana nyamannya.” Dona tersenyum ramah.
“Ayo, kita cari makan. Habis zuhur Uda langsung ke tempat acara.” Adrian bangkit dan mengambil tas ranselnya.
“Makan? Asyik … Tunggu bentar, ya, Da. Aku ganti baju dulu biar cantik kayak Uni Arini.” Dona mengacungkan jempolnya pada Adrian dan segera berlari masuk ke dalam. Adrian dan Arini senyum-senyum melihat tingkah Dona yang ceria. Arini langsung merasa cocok dengan gadis hitam manis itu.
Tidak menunggu lama, Dona ke luar dari dalam kamar. Memakai kulot coklat tua dengan tunik berwarna senada. Jilbab warna kuning lembut dengan motif abstrak. Manis sekali. Arini menyambut Dona dengan senyum manis. Adrian kembali memesan taksi online. Tidak berapa lama, mereka pun telah berada dalam taksi yang membawa mereka ke tempat makan yang direkomendasikan Dona.
***********
Hanafi memarkirkan mobil di depan garasi. Dengan lesu laki-laki itu turun dari mobil dan melangkah gontai menuju pintu depan. Begitu mendengar suara mobil memasuki halaman, Etek Halimah dan Annisa bergegas membuka pintu. Hanafi berdiri di hadapan uminya dengan wajah yang terlihat kacau.
“Mana Arini? Mana istrimu? Dia mau pulang, kan?” Umi langsung mencecar Hanafi dengan pertanyaan. Mata umi dan Annisa mencari-cari ke belakang Hanafi dan ke arah mobil parkir.
“Aku terlambat, Mi. Arini sudah pergi.” Hanafi luruh di depan uminya. Sebelah kaki dokter tampan itu menekuk. Tangannya memegang jemari tua sang umi dengan gemetar. Untuk sekian detik, Umi Halimah seakan berhenti bernapas. Wanita paruh baya itu mencoba mencerna ucapan anaknya.
“Arini tidak pulang bersamamu, Nak?” Suara Umi Halimah bercampur isakan. Dada yang mulai terlihat tipis dimakan usia itu naik turun menahan gejolak di dalam dadanya. Jadi Arini benar-benar sudah tidak ada? Rumah ini benar-benar telah ditinggalkan oleh pemiliknya?
“Maafkan Hanafi, Umi.” Mata Hanafi kembali berkabut. Kekecewaan wanita mulia di hadapannya ini sama besar dengan kekecewaan yang kini dirasakannya.
“Ya, Nak. Tidak apa. Mungkin memang sudah begini jalannya. Tidak apa.” Umi menggelengkan kepalanya berulang kali. Pipinya telah basah oleh air mata. Dengan sebelah tangannya, Umi Halimah menghapus pipi kiri dan kanannya. Semua telah berakhir. Arini, menantu terkasihnya itu, akhirnya benar-benar pergi.
Umi Halimah melepaskan tangan Hanafi dan berbalik. Sekuat itu ia menahan air mata, sekuat itu juga cairan bening itu membanjiri pipi keriputnya. Umi Halimah masuk ke dalam rumah dituntun oleh Annisa. Diedarkannya pandangannya ke seluruh rumah. Rumah besar ini terlihat begitu lengang. Sangat lengang. Padahal baru beberapa jam saja Arini meninggalkannya.
Wanita yang biasanya selalu terlihat kuat dan tegar itu melangkah tertatih menuju kamar tamu. Annisa mengikuti dengan sabar. Di kamar, umi mengambil tas kainnya yang telah berisi seluruh pakaiannya. Diseretnya tas itu ke luar kamar. Annisa melakukan hal yang sama. Gadis cantik itu juga telah membereskan semua barang-barangnya.
Mereka melangkah menuju ruang tamu. Etek Pia memperhatikan semua itu dengan mata basah. Hanafi yang masih berdiri di pintu langsung mengejar uminya.
“Umi mau ke mana? Umi mau meninggalkan Hanafi juga?” Hanafi memegang tangan uminya dan menggoyangnya dengan mata yang kembali terasa panas. Laki-laki itu seperti bocah lima tahunan yang akan ditinggal pergi oleh sang ibu.
“Nak, jika di rumah ini sudah tidak ada Arini, Umi merasa sudah tidak pantas lagi berada di sini.” Umi menatap anak laki-lakinya dengan tatapan penuh luka.
“Lalu Hanafi, Mi?” Hanafi merasa dunia seakan-akan sedang menggulungnya dan melumatnya dengan kejam.
“Laki-laki Minang memang sudah adatnya tinggal di rumah istrinya. Jika kamu masih merasa Arini adalah istrimu, maka tinggallah di sini.” Umi berkata pelan, namun amat menusuk hati Hanafi.
“Tetapi, Mi …” Hanafi menatap uminya dengan gusar.
“Jika kamu memiliki sedikit saja rasa pada Arini, maka carilah dia. Perjuangkanlah dia kembali.” Umi menyentuh lengan Hanafi dengan lembut. Perempuan yang terlihat makin tua itu menatap anaknya dengan senyum patah.
Hanafi tidak tahu lagi harus mengatakan apa. Umi melangkah ke luar dari rumah diikuti oleh Annisa. Tadi sebelum Hanafi datang, ia telah berpamitan kepada Etek Pia. Karena meskipun sangat berharap Arini pulang bersama anaknya, di hatinya masih ada keraguan. Dan keraguannya akhirnya terbukti. Arini memang tidak pulang.
Berdua dengan Annisa, Umi Halimah menyeret tas kain mereka ke luar halaman. Meski Annisa sudah mengatakan agar memesan taksi online saja, tetapi, Umi menolak. Umi mengajak anak gadisnya untuk mencari angkutan umum saja di simpang yang berjarak beberapa ratus meter dari rumah Arini.
Hanafi masih berdiri terpaku di depan pintu ruang tamu. Pandanganya terasa kabur. Bayangan umi dan Annisa semakin jauh. Hanafi serasa tidak punya tenaga untuk mengejar uminya itu dan mengantarnya pulang ke rumah gadang.
Setelah umi dan Annisa tidak terlihat, laki-laki itu berbalik dan berjalan gontai menuju kamarnya. Dimasukinya kamar berukuran besar itu dengan dada yang terasa sakit. Matanya langsung terpaku pada tempat tidur yang juga berukuran besar. Terbayang kembali apa yang ia dan Arini lakukan malam tadi di sana.
Indah … sangat indah … Hanafi seakan masih bisa merasakan hangatnya tubuh sang istri. Lembut bibirnya, desahan napasnya. Ya, Tuhan, Hanafi menggusar rambutnya dengan gusar. Mengapa begini lain rasanya.
Hanafi melangkahkan kaki menuju kamar satunya lagi. Digesernya pintu kaca dan melangkah masuk. Untuk kedua kalinya Hanafi naik ke atas tempat tidur berwarna pink itu. Laki-laki yang biasanya selalu terlihat kaku dan dingin itu kembali merebahkan tubuhnya di sana. Ia merasa amat lelah. Rasanya ia ingin tidur dan melupakan semuanya.
Tiba-tiba ponsel di saku celananya bergetar. Tergesa Hanafi mengeluarkan ponselnya dan membukanya dengan rasa tidak sabar. Siapa tahu Arini menghubunginya dan mengatakan sesuatu. Pastilah istrinya itu punya nomor ponsel dan nomor whatshappnya.
“Apa kabar, Uda Dokter?” sebuah pesan masuk dari nomor yang sudah tidak asing lagi. Bella. Hanafi menarik napas kecewa. Sejak Bella pergi, baru kali ini gadis itu menghubunginya kembali. Seharusnya Hanafi merasa senang. Bukankah ia mencintai dokter cantik itu?
Tetapi, entahlah. Rasanya begitu hambar. Ah, secepat itukah hati berubah? Hanafi melemparkan ponselnya begitu saja ke kasur yang ditidurinya. Tidak ada keinginan untuk membalas atau menghubungi Bella sama sekali. Padahal dulu, Hanafi menganggap cintanya pada perempuan itu amat luar biasa.
Kenapa sekarang yang terbayang-bayang hanya wajah lembut istrinya? Mata indahnya, bibir merahnya dan senyum manisnya. Wajah yang begitu tulus. Hanafi mengambil ponselnya kembali. Tergesa laki-laki itu membuka galeri fotonya. Mencari-cari jika ada terselip foto sang istri.
Alhamdulillah, mata Hanafi berbinar. Ia menemukan satu buah foto pernikahannya dengan Arini. Arini terlihat cantik dalam balutan pakaian adat Minangkabau. Suntiang dan baju kurung berwarna merah dengan hiasan warna emas nan mewah. Dengan tangan bergetar, dokter yang cukup dikenal di Kota Bukit Tinggi ini mengusap layar ponselnya. Bibirnya tersenyum menatap senyum indah sang istri. Mata perempuan itu terlihat berbinar. Padahal laki-laki di sampingnya terlihat amat kaku, tanpa sedikitpun senyum yang menghiasi bibirnya.
Tuhan, ke manakah ia harus mencari istrinya itu? Masihkah Tuhan akan memberi kesempatan kedua untuk laki-laki bodoh seperti dirinya ini? Tuhan, aku tidak akan minta apa-apa, cukup satu permintaan saja, tolong pertemukan aku kembali dengan Arini. Hanafi merapalkan doa di dalam hati. Setelah itu, Hanafi tertidur karena kelelahan. Lelah karena menyesali diri dan menyesali semua kebodohannya kepada sang istri.
Bersambung …
Maaf, mungkin episode ini terasa agak pendek dan juga membosankan. Author baru menemukan semangat lagi setelah beberapa waktu kehilangan gairah menulis.
Terima kasih yang masih menunggu dan mengikuti cerita ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar