CERBUNG: BIAS RINDU - EPISODE 12

Sabtu, 13 Juni 2020

BIAS RINDU - EPISODE 12

Judul: “Bias Rindu”
Penulis: Naya R
Terima kasih admin/moderator telah menyetujui tulisan ini.
Makasih bang Patrick Kellan.
Ngarai Sianok senja ini tidak terlalu ramai. Hanya ada beberapa pasang anak muda yang sedang duduk menikmati keindahan suasana sore hari. Di bawah sana, lembah yang begitu dalam terlihat seperti lukisan alam yang amat sempurna. Lalu ujungnya berbatas lagi dengan tebing tinggi menuju daerah seberang. Di atasnya terdapat juga perkampungan yang tidak kalah indahnya karena berada tidak jauh dari Gunung Merapi.
Berapakah ke dalaman ngarai ini? Seratus meter atau dua ratus meter? Entahlah, yang jelas orang-orang yang sedang berada di dasar ngarai terlihat amat kecil seperti titik-titik yang sedang bergerak atau berjalan.
Hanafi menatap jauh ke ngarai di bawah mereka. Bella masih juga belum bicara apa-apa. gadis itu tadi mengajak Hanafi untuk bertemu di sini. Tidak biasanya Bella memilih tempat seperti ini. Biasanya dokter cantik ini lebih suka duduk di kafe. Pastilah ada sesuatu yang amat penting yang ingin disampaikannya. Hanafi jadi berdebar-debar membayangkan apa yang akan dibicarakan oleh kekasihnya ini.
“Ada apa? Kenapa tiba-tiba kamu ingin main ke sini?” Hanafi menatap Bella dengan tatapan penuh tanya.
“Aku memilih untuk pergi.” Suara Bella terdengar amat datar.
“Pergi?” Hanafi merasa gamang mendengarnya. Apalagi membayangkannya.
“Ya. Aku merasa sudah cukup semuanya. Jika Arini tidak menyerah, maka biarkan aku yang menyerah.” Dada Bella terasa sakit ketika mengatakannya. Matanya mulai terasa panas. Tetapi Bella sudah bertekad untuk kuat. Ia tidak ingin terlihat lemah di hadapan laki-laki ini.
“Kemana?” Suara Hanafi mendadak terdengar parau.
“Aku mau mengambil spesialis. Karena aku merasa sudah tidak dibutuhkan lagi di sini.” Bella memalingkan wajahnya. Bulir bening mulai mengambang di pelupuk matanya.
“Kenapa begitu mendadak?” Hanafi merasa separuh jiwanya terbang membayangkan Bella akan segera meninggalkannya.
“Aku sudah memikirkannya sekian lama. Dan ini juga merupakan impianku sejak dulu. Berjodoh ataupun tidak denganmu, aku tetap ingin melanjutkan pendidikan.” Bella berkata dengan mantap. Hanafi tercekat. Bella seperti sudah tidak bisa dibantah lagi.
“Lalu bagaimana dengan kita. Bukankah kita telah sepakat?” Hanafi menatap Bella dengan tatapan lekat.
“Bukankah kamu pernah meminta waktu dua tahun? Kini aku berikan waktu empat atau lima tahun. Waktu yang cukup panjang untuk kamu menentukan pilihan.”
“Jadi maksudmu kita tidak berakhir, kan? Aku masih boleh menganggapmu sebagai kekasih?”
“Aku tidak tahu. Biarlah semua berjalan menurut apa yang telah ditetapkan-Nya. Jika kita memang berjodoh, maka kelak kita pasti akan bersama. Jika tidak, maka marilah kita saling mengiklaskan.” Kerongkongan Bella terasa amat sakit. Dan tak dapat lagi ditahannya air mata yang mulai membasahi pipi.
“Aku akan tetap menunggumu.” Hanafi berkata dengan yakin.
“Aku tidak ingin mendengar janji apa-apa lagi.”
Hanafi terdiam. Dambilnya tangan Bella dan digenggamnya dengan erat. Bella seperti tidak punya tenaga untuk menolak atau pun membalas genggaman tangan Hanafi. Andai menurutkan kata hati, ingin sekali Bella memeluk laki-laki di hadapannya ini. Menyandarkan kepalanya di dada bidangnya.
“Kapan kamu akan berangkat?” Hanafi masih tidak melepaskan genggaman tangannya.
“Secepatnya.” Bella mencoba untuk tersenyum, meski senyumnya terlihat amat patah. Hanafi pun merasakan matanya mengabur.
“Apa sudah ikut tes?”
“Sudah.”
“Dan kamu tidak memberi tahu aku?”
“Apa masih ada gunanya?”
“Bella …”
“Sudahlah, Da. Aku capek. Aku lelah dengan ketidakpastian ini. Aku mengajak bertemu di sini bukan untuk meminta izin, tetapi sekadar memberi tahu.”
“Baiklah. Pergilah sampai kamu merasa sudah saatnya untuk pulang.”
“Ya, terima kasih.” Bella mengangguk dan mencoba tersenyum. Ternyata benar dugannya, perasaan laki-laki ini telah jauh berubah. Hanafi tidak mencoba menahannya. Bella semakin yakin dengan keputusannya.
“Kamu tidak ingin mengatakan apa-apa?” Hanafi menatap lekat mata Bella. Bella menggeleng.
“Tidak ada. Sudah cukup.” Bella lalu menarik tangannya. Semburat jingga mulai terlihat dari ujung ngarai. Warna merah keemasan menimpa tebing yang berwarna coklat. Indah sekali. Tetapi tidak dengan hati Bella dan Hanafi. Akhirnya mereka harus menyerah dengan keadaan.
Bella berbalik dan berjalan pelan meninggalkan Hanafi. Begitu langkahnya mencapai parkiran, Bella terisak. Ia mencintai Hanafi. Amat mencintainya. Dengan laki-laki itu pernah ia gantungkan harapan akan sebuah pernikahan yang bahagia. Dengan laki-laki itu pernah ia impikan sebuah cinta yang abadi. Tetapi siapa yang dapat menukar takdir? Siapa yang dapat mengubah ketetapan dari Allah?
Bella masuk ke mobilnya dengan pipi yang telah basah oleh air mata. Tuhan, jaga dia untukku, Bella berbisik dalam hati. Lalu pelan Bella menjalankan mobilnya dan meninggalkan parkiran Ngarai Sianok.
Tinggallah Hanafi yang masih terpaku seorang diri. Ngarai Sianok semakin terlihat buram dalam temaramnya senja. Akhirnya beginilah kisah cintanya. Berakhir … berakhir tanpa ada kepastian. Sia-sialah kebersamaan mereka selama ini. Sia-sialah cinta mereka yang begitu besar, yang mereka jaga dan pupuk sejak sekian lama.
Hanafi melangkahkan kaki meninggalkan tebing Ngarai Sianok. Tak dapat dipungkirinya ada yang terasa basah di hatinya. Perempuan yang pernah didambanya untuk menjadi ibu dari anak-anaknya kelak, akhirnya menyerah. Perempuan yang pernah diimpikannya untuk menjadi teman hidupnya dalam suka maupun duka, akhirnya pergi meninggalkan dirinya.
Tetapi di sudut hatinya yang lain, entah mengapa ada yang terasa plong. Ada rasa lega. Hanafi merasa satu masalah telah teratasi. Ah, jahatkah ia jika memiliki pikiran seperti itu? Hanafi ingin cepat-cepat pulang dan melihat senyum indah Arini.
Hanafi sampai di rumah tepat ketika azan magrib berkumandang. Arini telah menunggu kedatangannya. Melihat senyum indah Arini seketika rasa kehilangannya akan sosok Bella raib entah kemana. Seperti itukah hati ternyata? Begitu cepat pudar dan bersinar. Arini mengambil tas dan jas putih Hanafi, lalu mengiringi langkah kaki suaminya itu menuju kamar.
“Mau langsung mandi, Da?” Arini bertanya seraya meletakkan tas Hanafi di atas meja.
“Ya. Kamu sudah mandi?” Hanafi merasa telah menanyakan hal yang bodoh. Sudah jelas-jelas istrinya itu terlihat rapi dan segar. Ia masih juga bertanya.
“Sudah, Da.” Arini mengangguk.
Setelah menggantung jas putih Hanafi, Arini mengambilkan handuk dalam lemari. Arini selalu mengganti handuk suaminya itu satu kali dalam seminggu. Arini sadar, suaminya seorang dokter, masalah kebersihan pastilah menjadi hal yang nomor satu bagi suaminya. Oleh karena itu, Arini benar-benar menjaga kamar dan isinya agar selalu bersih dan rapi. Semua itu dikerjakan dan dilakukannya sendiri. Perempuan itu menolak ketika Etek Pia menawarkan diri untuk membantu membersihkan kamar.
Hanafi membuka kemeja dan singletnya dan menyerahkannya pada Arini. Arini menerima pakaian kotor sang suami tanpa berani memandang ke arah suaminya.
“Da, air panasnya sudah bagus lagi. Uda mandi pakai air panas, ya. Udah magrib soalnya.” Arini berkata sebelum Hanafi hilang di balik pintu kamar mandi.
“Ya. Makasih, ya.” Beberapa detik Hanafi berdiri di depan pintu kamar mandi dan menatap Arini dengan hangat. Arini menunduk, lagi-lagi desiran aneh itu memenuhi ruang hatinya. Arini menarik napas panjang.
Sekarang, entah mengapa melayani Hanafi menjadi kebahagian tersendiri bagi Arini. Arini senang mengurus semua keperluan dan kebutuhan suaminya. Bukankah saat ini bakti dirinya adalah untuk sang suami?
*******
Hanafi telah berangkat ke kantor. Setelah sarapan berdua dengan Arini, Hanafi pamit pada istrinya itu. Sebelum Hanafi berangkat, Arini minta izin pada Hanafi untuk menghadiri kajian di masjid Al Muhajirin. Setiap bulan di masjid tersebut diadakan kajian Fiqih Wanita. Dari kajian tersebut, Arini jadi paham bagaimana cara meneladani istri-istri Rasulullah. Hanya dengan sholat lima waktu, puasa di bulan Ramadan, tidak mengerjakan maksiat, dan patuh pada suami, maka seorang wanita bisa meraih surga dari pintu manapun yang dia inginkan. Luar biasa.
Gamis berwarna coklat tanah dengan hijab berwarna sama, membuat Arini terlihat amat mempesona. Entah mengapa, memakai warna apapun, Arini selalu terlihat cantik dan anggun.
Setelah pamit pada mertuanya dan Etek Pia, Arini bergegas menuju garasi. Ia telah berjanji pada Fitri untuk menjemput sahabatnya itu di rumahnya. Penuh semangat Arini masuk ke dalam mobil dan duduk di belakang kemudi. Satu notif pesan whatshapp masuk ke ponselnya. Arini menghidupkan mobil dan mengambil ponselnya dari dalam tas. Tergesa tangannya membuka aplikasi whatshapp.
“Bisa kita bertemu?” (Bella). Kening Arini berkerut membaca pesan di ponselnya. Bella? Mau apa perempuan itu menemuinya? Tetapi Arini merasa penasaran juga.
“Di mana?” Arini membalas pesan Bella.
“Kantin Bunda di simpang Aur Kuning.”
“Baiklah. Saya segera ke sana.”
Arini akhirnya menghubungi Fitri, minta maaf tidak jadi ikut kajian karena akan bertemu dengan Bella. Fitri wanti-wanti agar segera menghubungi dirinya jika Arini telah selesai bicara dengan Bella. Arini hanya terkekeh mendengar suara Fitri yang terdengar sudah tidak sabaran.
Arini mengemudikan mobilnya menuju Aur Kuning. Kota Bukit Tinggi terlihat amat cerah. Langit biru dengan awan tipis yang menghiasinya. Jalanan kota tidak terlalu padat di hari kerja pada jam-jam seperti ini. Arini mengendarai mobilnya dengan santai. Meskipun tak dapat dipungkirinya, dadanya deg-degan membayangkan apa yang akan dikatakan Bella padanya.
Dua puluh menit, Arini sampai di kantin Bunda. Kantin terlihat cukup ramai. Katupek gulai paku (ketupat dengan gulai pakis) menjadi andalan kantin ini. Rasanya benar-benar enak dan nikmat. Setelah memarkirkan mobil, Arini melangkah ke dalam kantin. Dari pojok, terlihat seseorang melambaikan tangan pada Arini. Debaran di dada Arini semakin terasa kencang. Arini mendekat dan mencoba tersenyum begitu tungkainya telah berada tepat di depan Bella.
“Ayo silakan duduk.” Bella membalas senyum Arini.
“Terima kasih.” Arini mengangguk dan menarik kursi di depannya.
“Mau makan apa?” Bella menatap Arini dengan tatapan yang sulit diartikan.
“Aku sudah sarapan tadi. Aku minum aja.”
“Baiklah.” Bella memanggil pelayan.
“Jeruk panas satu, ya.” Arini memesan minuman pada pelayan yang datang.
“Baik, Uni.” Pelayan itu mengangguk dan segera berlalu. Bella terlihat telah menghabiskan satu mangkuk katupek gulai paku.
“Jadi apa yang ingin Uni sampaikan.” Arini yang merasa sudah tidak sabar mulai membuka pembicaraan. Bella terlihat menjangkau gelas di depannya lalu meminumnya beberapa teguk.
“Besok aku akan pergi.” Bella berkata dengan lugas tanpa kata-kata pembuka.
“Pergi?” Arini menatap Bella dengan bingung.
“Ya, aku akan pergi meninggalkan kota ini. Meninggalkan Hanafi.”
“Oh. Kenapa?” Arini bertanya dengan bodoh. Bella tertawa sumbang.
“Akhirnya aku yang menyerah. Padahal dari awal, Hanafi mengharapkan kamulah yang menyerah pada pernikahan kalian.” Suara Bella terdengar datar. Wajahnya tanpa ekspresi. Tangan Arini yang akan menerima gelas minuman dari pelayan menggantung di udara. Beberapa saat perempuan ini seolah berhenti bernapas. Jadi benar apa yang dipikirkannya selama ini? Hanafi memang sengaja ingin membuatnya menyerah. Mata Arini mengabur. Susah payah Arini menahan air matanya agar tidak tumpah.
“Apalagi yang dikatakannya?” Entah kenapa Arini merasa ingin tahu semuanya sekarang. Pelayan meletakkan gelas minuman Arini di meja.
“Hanya itu. Makanya ia tidak pernah menyentuhmu, kan? Karena dia meminta waktu padaku satu tahun untuk membuatmu menyerah. Tetapi sebelum waktu satu tahun itu habis, aku memilih untuk pergi. Ya … akhirnya akulah yang menyerah.” Suara Bella bergetar. Matanya sudah terlihat basah. Arini memalingkan wajahnya.
“Terima kasih. Semoga pilihan Uni untuk pergi menjadi yang terbaik.” Arini bangkit tanpa meminum jeruk panasnya. Hatinya sakit. Amat sakit. Begitu jahat konspirasi suaminya dan perempuan di depannya ini.
“Terima kasih juga sudah menerima undanganku untuk datang. Oh, iya … aku titip ini. jas Hanafi yang tertinggal di tempat kosku.” Bella ikutan bangkit dan mengulurkan sebuah bungkusan pada Arini. Arini menerimanya dengan tangan gemetar. Jas? Di tempat kos? Apa yang telah mereka lakukan di belakangnya? Seperti ada palu yang menghantam dada perempuan cantik ini.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Arini berbalik. Berjalan ke luar kantin menuju parkiran. Arini masuk ke dalam mobil dengan tergesa. Memutar kunci kontak dan menjalankan mobilnya ke luar halaman parkir. Tidak dapat ditahannya lagi air mata yang tumpah membasahi pipi. Arini mencengkram stir di tangannya kuat-kuat. Tuhan, kenapa dia begitu jahat. Apa yang telah aku lakukan sehingga laki-laki itu tega berbuat sekejam ini? Arini terisak. Sakit, Tuhan. Sakit sekali.
******
Arini membalikan tubuhnya. Entah sudah berapa kali badannya bergerak ke kiri dan ke kanan. Tetapi matanya belum juga bisa tertidur. Akhirnya Arini bangkit. Setelah merapikan pakaian tidur dan rambutnya, Arini berjalan menuju kamar Hanafi. Sejak bertemu dengan Bella tadi pagi, Arini telah memikirkan satu hal. Dan ia ingin meyampaikannya mala mini pada Hanafi.
“Da, bisa bicara sebentar?” Arini melangkah mendekati tempat tidur. Hanafi yang baru saja membaringkan tubuhnya, membuka mata dan menatap Arini. Dalam temaram cahaya lampu, Arini terlihat cantik dan menggiurkan. Menggiurkan? Duh, pikiran apa ini. Hanafi memejamkan mata mengusir pikiran anehnya. Hanafi bangun dan bersandar di kepala tempat tidur.
“Duduklah.” Hanafi memberi tempat pada Arini. Arini duduk agak jauh dari Hanafi.
“Ada apa?” Hanafi menatap Arini dari samping.
“Dulu Uda pernah mengatakan kalau aku boleh melakukan apapun selama itu baik untuk aku.” Arini merapatkan jemari tangannya.
“Ya, benar.” Hanafi menjawab dengan hati bertanya-tanya.
“Apa kata-kata itu masih berlaku?” Arini menatap Hanafi dengan ragu.
“Masih.” Hanafi mencoba menebak arah pembicaraan istrinya ini.
“Aku ingin melanjutkan kuliah.” Arini berkata dengan mantap. Hanafi tertegun. Dua kejutan dalam satu minggu ini.
“Kuliah?” Hanafi merasakan dadanya bergemuruh. Perempuan yang mulai mengisi ruang hatinya ini juga akan pergi meninggalkannya?
“Kenapa?” Hanafi tergagap.
“Dengan ijazah SI aku hanya akan menjadi tukang masak di rumah sakit. Tetapi jika aku meningkatkan pendidikan, tentu aku bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.” Arini mengungkapkan alasan yang telah dipersiapkannya sejak siang tadi.
“Apa keputusanmu sudah final?” Suara Hanafi bergetar. Kenapa tiba-tiba ia merasa takut ditinggalkan Arini? Mengapa tiba-tiba ia merasa enggan melepaskan istrinya ini? Bukankah ini yang diinginkannya dari awal?
“Ya, aku sudah memikirkannya baik-baik. Barangkali kita memang butuh waktu untuk merenungi pernikahan kita ini. Semoga setelah aku menyelesaikan pendidikan kita menemukan jawaban tentang arah pernikahan ini.” Arini menunduk. Sudut-sudut matanya terasa panas. Bukankah ini yang diinginkan laki-laki ini? Arini menyerah dan pergi.
“Kamu benar, kita memang butuh waktu. Tapi apa harus dengan S2? Apa harus selama itu?” Hanafi bertanya dengan dada yang terasa sesak.
“Berapalah waktu dua tiga tahun, Da. Dan andai Uda mendapatkan jawaban dalam waktu dua tiga tahun itu, silakan mengambil sikap. Uda boleh menceraikanku.” Akhirnya Arini mengucapkan juga kata-kata laknat itu. Seperti ada bongkahan batu besar yang tiba-tiba terlepas dari dadanya. Tetapi satu bulir air bening menetas, jatuh membasahi pipinya. Sementara Hanafi tersentak. Kata-kata Arini serasa petir yang menyambar hatinya.
Beberapa saat mereka sama-sama diam. Tidak ada kata lagi yang keluar dari bibir Arini maupun Hanafi. Setelah merasa cukup dengan pembicaraan mereka, Arini pun bangkit dan berjalan ke kamarnya. Hanafi mengangkat tangannya ingin mengatakan sesuatu, tetapi kata-kata yang ingin diucapkannya hanya tersangkut di kerongkongan. Enam bulan ia telah memperlakukan Arini dengan tidak layak, bagaimana ia akan bisa menahan Arini untuk pergi?
Hanafi menggusar rambutnya dengan kasar. Beberapa hari lalu Bella mengatakan juga akan pergi, tetapi rasanya tidak sehampa ini. Mengapa ketika Arini yang mengatakannya, Hanafi merasa seluruh jiwanya terbang.
Ingin dikatakannya, jangan pergi. Beri ia kesempatan sekali lagi. Namun Hanafi tidak punya keberanian sedikitpun. Apa yang dimilikinya untuk bisa menahan langkah Arini pergi? Cinta? Apakah ia mencintai Arini? Lalu andaipun ia mengatakan itu, apa Arini akan mempercayainya?
Sementara di kamarnya, Arini terisak. Luka di dadanya menganga begitu besar. Akhirnya semua berakhir juga. Laki-laki yang mulai dicintainya itu, yang didoakannya di setiap sujud-sujud malamnya, harus diiklaskannya.
Enam bulan ia menerima sikap dingin dan datar Hanafi, ia masih bisa sabar dan iklas. Tetapi, mengetahui Hanafi melakukan semua itu untuk membuat ia menyerah, Arini sungguh tidak bisa menerimanya. Berarti niat Hanafi menikahinya sudah tidak benar. Akhirnya Arini tertidur setelah lelah menangis dan menyesali kebodohannya yang tidak bisa menjaga hati. Ya … harusnya ia tidak memiliki perasaan pada suaminya itu. Harusnya ia menjaga hatinya agar tidak jatuh cinta. Sehingga ketika mereka berpisah, tidak akan terlalu berat rasanya.
Tidak jauh berbeda dengan Arini, Hanafi juga baru tertidur di atas pukul 12.00 malam. Pukul 03.00 dinihari, Hanafi terbangun. Laki-laki itu turun dari tempat tidur dan masuk ke kamar mandi. Entah mengapa, malam ini, Hanafi ingin bersujud di hadapan sang pemilik hati. Entah mengapa, malam ini, Hanafi ingin memohon pada Tuhan agar Arini mengubah niatnya untuk pergi.
Hanafi membentangkan sajadah dan mulai menghadapkan hati dan wajahnya pada Allah sang penggenggam dunia. Untuk pertama kali setelah menikah, Hanafi menyebut nama istrinya itu di dalam doanya.
Hanya berbatas dinding, Arini juga tengah menghiba di hadapan sang khalik. Tetapi doa Arini malam ini tidak lagi seperti malam-malam sebelumnya, yang selalu mendoakan suaminya agar membuka hati untuk dirinya. Doa Arini malam ini agar ia bisa iklas menjalani semua ini. Arini memohon pada Yang Maha Kuasa agar memberinya kekuatan menjalani semua ini.
******
Pagi harinya, Arini masih melakukan semua tugas dan kewajibannya seperti biasa. Menyiapkan pakaian suaminya, menyiapkan sarapan, dan menemani suaminya itu di meja makan. Entah mengapa, pagi ini terasa berbeda buat Hanafi. Berkali-kali Hanafi mencuri pandang pada Arini. Berkali-kali dadanya berdesir menerima sikap dan perlakuan istrinya itu. Betapa ruginya ia selama ini yang tidak menikmati semua pelayanan istrinya itu.
Selesai sarapan, Hanafi bangkit bersiap untuk berangkat ke rumah sakit. Tetapi, Arini masih terlihat diam di meja makan.
“Aku berangkat.” Akhirnya Hanafi pamit.
“Ya, Da.” Arini mengangguk tanpa beranjak dari duduknya. Hanafi masih diam menunggu.
“Aku pergi, ya.” Hanafi kembali mengulangi kata-katanya.
“Ya, Da.” Arini mengangkat wajahnya dan menatap suaminya itu dengan heran. Ada apa dengan laki-laki ini. Biasanya mau pergi, pergi aja. Arini merasa aneh.
“Kamu tidak ingin mengantar sampai depan?” Akhirnya Hanafi bisa juga mengungkapkan apa yang ada di dalam hatinya.
“Eh, iya?” Arini terperanjat mendengar ucapan Hanafi. Nggak ada angin nggak ada hujan, tiba-tiba laki-laki ini ingin diantar ke depan. Meski sedikit bingung akhirnya Arini bangkit juga dari duduknya.
Hanafi pun melangkah setelah merasa Arini berada di belakangnya. Beriringan mereka menuju pintu depan.
“Aku berangkat, ya.” Hanafi berucap lagi. Ya, Tuhan, Arini meremas jemari tangannya. Ada apa sebenarnya dengan laki-laki ini.
“Ya, Da.” Arini kembali menjawab.
“Nggak mau salam?” tiba-tiba Hanafi mengulurkan tangannya pada Arini. Beberapa detik Arini tertegun. Habis mandi di mana suaminya ini kemarin ya? Kesambet apa? Arini memejamkan mata seraya menggelengkan kepalanya.
“Nggak mau?” Hanafi menatap Arini dengan wajah kecewa. Arini tersadar dan segera mengambil tangan suaminya. Dada Arini berdesir halus. Pelan Arini mencium punggung tangan Hanafi. Untuk kedua kalinya sejak mereka menikah, Arini mencium tangan Hanafi. Hanafi memejamkan mata. Hangat bibir Arini menggetarkan punggung tangannya mengalir sampai ke jantungnya.
“Terima kasih.” Hanafi pun beranjak ke luar rumah dengan dada penuh oleh rasa bahagia. Tuhan, ada apa dengan dirinya? Kenapa ia merasa sedang jatuh cinta? Hanafi senyum-senyum sendiri membayangkan wajah bingung Arini, lalu sedetik kemudian wajah cantik itu juga merona. Duh, cantiknya.
Bersambung ….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar