CERBUNG: BIAS RINDU - EPISODE 10

Sabtu, 13 Juni 2020

BIAS RINDU - EPISODE 10

Judul: “Bias Rindu”
Penulis: Naya R
Terima kasih admin/moderator telah menyetujui tulisan ini.
Malam ini, jatahnya Annisa untuk menunggui Etek Halimah. Sore pukul lima, Annisa telah sampai di rumah sakit. Etek Halimah menyuruh Arini untuk pulang agar bisa beristirahat. Setelah pamit pada ibu mertuanya dan juga Annisa, Arini ke luar dari kamar menuju lantai satu. Tidak butuh waktu lama, Arini sampai di parkiran.
Arini masuk ke mobilnya dan menghidupkan mobilnya. Beberapa kali mencoba, tetapi mobil hadiah ulang tahun dari ayahnya itu tidak juga bisa hidup. Arini ke luar dari mobil dan hanya bisa memandang mobilnya dengan bingung. Selama ini, Arini hanya tahu memakainya saja, servis dan semuanya, diurus oleh sang ayah. Duh, apa yang harus dilakukannya? Arini bersandar ke pintu mobilnya dengan resah.
“Sudah mau pulang?” Tiba-tiba sebuah suara mengagetkan Arini. Suara yang akhir-akhir ini semakin sering didengarnya. Dokter Adrian.
“Ya, Dok.” Arini mengangguk.
“Lagi nunggu seseorang?” Dokter Adrian menatap Arini penuh selidik.
“Nggak, Dok.” Arini menggeleng.
“Lalu? Atau nunggu saya, ya?” Dokter Adrian menatap Arini dengan tatapan mata menggoda. Wajah Arini langsung memerah.
“Ish, Dokter geer aja. Ini mobilnya nggak mau jalan, Dok.” Arini mencibir. Dokter Adrian terkekeh melihat ekspresi wajah Arini.
“Sini, aku lihat.” Adrian meminta kunci kontak pada Arini. Arini menyerahkannya dengan perasaan ragu. Tetapi, akhirnya karena merasa tidak ada lagi orang yang bisa dimintai tolong, Arini menyerahkan juga kunci mobilnya.
Dokter Adrian membuka kap mobil Arini. Memeriksanya beberapa saat. Kemudian kepalanya kembali menyembul dari balik pintu mobil.
“Sepertinya akinya sudah nggak bisa dipake lagi.” Adrian berkata pada Arini.
“Oh.” Mulut Arini membulat.
“Sudah lama nggak diganti ya?”
“Nggak tahu juga, biasanya Ayah yang urus semuanya.”
“Pantesan. Jadi kamu cuma bisa makenya aja? Sekarang kamu juga harus belajar mengurusnya, membawa servis ke bengkel, memeriksa air akinya, air radiatornya.” Adrian berkata panjang lebar.
“Iya, Dok. Lalu sekarang gimana?” Arini menatap Adrian dengan bingung.
“Kamu aku antar aja pulang. Nanti aku bantu belikan aki baru, aku pasang di mobilmu. Besok kamu bisa ambil mobilmu lagi ke sini.” Adrian menutup kembali kap mobil Arini. Arini merasa bimbang. Tidak baik juga kalau ia menerima tawaran Dokter Adrian. Meski bagaimanapun, laki-laki ini bukan siapa-siapanya. Apalagi sekarang ia telah berstatus seorang istri.
“Nggak usah, Dok, terima kasih. Saya pulang naik taksi saja.” Arini menolaknya dengan halus. Adrian menarik napas panjang.
“Ayolah, cuma ngantar sampai rumah. Aku sudah diberikan mandat oleh almarhum Datuak untuk menjaga dan membantumu jika kamu mendapatkan kesulitan.”
“Iya, Dok. Tetapi, ini belum terlalu sulit. Saya masih bisa mengatasinya, Dok.” Arini tersenyum pada Adrian.
Namun Adrian tidak menjawab. Laki-laki itu berdiri di samping mobilnya seraya membukakan pintu untuk Arini. Arini hanya berdiri mematung.
“Ada apa ini?” suara itu hampir saja membuat Arini terlonjak. Entah datang dari mana laki-laki yang berstatus sebagai suaminya ini. Tiba-tiba ia telah berada di antara Arini dan Adrian.
“Mobil aku mogok, Da.” Akhirnya Arini menjawab juga.
“Lalu?” Hanafi menatap Arini dan Adrian bergantian.
“Dokter Adrian menawarkan tumpangan.” Arini menjawab dengan menunduk.
“Oh begitu? Terima kasih Dokter Adrian atas kebaikan hatinya. Tetapi, Arini pulang dengan saya aja.” Hanafi mendekat dan meraih tangan Arini. Arini bergetar. Seakan ada aliran listrik yang menjalari jemari tangannya. Hanafi lalu menarik tangan Arini menuju motornya. Arini mengikuti meski hatinya merasa bingung dan juga aneh.
Adrian hanya bisa menatap semua itu dengan rasa kecewa. Kunci kontak Arini masih di tangannya.
Hanafi memakaikan helm pada Arini. Jarak mereka terasa begitu dekat. Arini memejamkan mata karena tidak berani memandang wajah Hanafi dari jarak yang begitu dekat. Aroma vanilla dan musk alami menguar lembut dari tubuh Hanafi.
“Ayo, naik.” Hanafi telah berada di atas motor besarnya. Arini naik dengan ragu-ragu. Sementara debaran di dadanya masih juga berdentang riuh. Untuk pertama kali, sejak bersanding di pelaminan, Arini berada sedekat ini dengan Hanafi.
Begitu Arini duduk di boncengan, motor Hanafi pun ke luar meninggalkan halaman parkir rumah sakit. Sementara Adrian masuk ke mobilnya dan duduk di belakang kemudi. Ada rasa tidak rela melihat Arini berada sedekat itu dengan Hanafi. Meski Adrian sadar, mereka adalah suami istri. Tetapi sikap Hanafi selama ini pada Arini sungguh tidak baik.
Hanafi berhenti di jajaran ruko di bawah jembatan limpapeh. Arini menatap Hanafi heran, mengapa mereka berhenti di sini.
“Kita makan tahu sumedang bentar, ya.” Hanafi menjawab kebingungan Arini.
“Ya, Da.” Arini turun dan membuka helmnya. Hanafi mengambil helm dari tangan Arini.
“Ayo.” Hanafi berjalan menuju warung tahu sumedang. Arini mengikuti dari belakang.
Tempat ini mengingatkan Arini pada ayahnya. Ayahnya dulu sewaktu Arini masih duduk di bangku SMP, sering mengajak Arini makan tahu di sini. Duduk berdua dengan ayahnya seraya memperhatikan jalanan yang ramai oleh turis-turis mancanegara. Arini sangat suka melihat mereka. Kulit mereka merah dengan rambut pirang. Hidung mancung dan tubuh tinggi-tinggi. Gaya mereka juga sangat santai, perempuannya memakai celana pendek dengan blus tanpa lengan. Laki-lakinya tidak jauh berbeda. Kaos oblong dan celana gunung. Waktu kecil, Arini menganggap gaya turis itu keren-keren. Dan di sinilah Arini puas menyaksikan mereka.
Hanafi memilih duduk di meja yang menghadap ke jalan. Sementara Arini mengambil tempat di depan Hanafi. Warung tahu sumedang sepi, tidak ada pengunjung selain mereka. Pelayan datang mengantarkan sepiring tahu yang masih mengepulkan asap. Saus dan sambel serta serbet.
“Mau minum apa?” Hanafi bertanya pada Arini.
“Teh botol pake es aja, Da.”
“Oke, teh botol dua, ya.” Hanafi memesan teh botol pada pelayan yang masih berdiri di samping meja mereka.
“Baik, Da.” Si pelayan mengangguk dan segera berlalu mengambilkan minuman untuk mereka.
“Kamu suka tahu, nggak?” Hanafi mengambil tahu di depannya, dan mencelupkannya ke sambal.
“Aku penyuka semuanya, Da.” Arini menjawab dengan tersenyum.
“Oh, ya. Kalau gitu, ayo, makan.” Hanafi menggeser piring tahu lebih dekat pada Arini. Arini mencuci tangannya di kobokan. Lalu Arini mulai menikmati hidangan tahu di depannya. Tidak lama teh botol pesanan mereka pun datang.
‘Terima kasih, ya, kamu sudah mengurus Umi dengan baik.” Hanafi menatap Arini dengan lembut. Arini terpaku. Untuk pertama kali setelah sekian lama mereka menikah, baru kali ini Hanafi menatapnya seperti itu.
“Tidak perlu berterima kasih, Da. Sudah menjadi kewajibanku untuk mengurus Etek Halimah.”
“Ya, kamu benar. Tetapi, tetap saja aku ingin mengucapkan terima kasih kepadamu.”
“InsyaAllah aku iklas melakukannya, Da.”
Lalu mereka menikmati tahu sumedang dalam diam. Udara Kota Bukit Tinggi di waktu menjelang magrib terasa sejuk. Tahu panas dengan sambel menjadi santapan yang terasa amat nikmat.
Setelah menghabiskan satu piring tahu semedang berdua dan dua gelas teh botol dingin, mereka pun bangkit. Hanafi membayar makanan mereka. Kemudian keduanya kembali melanjutkan perjalanan.
Sepanjang jalan Arini berpikir, sebenarnya pernikahan seperti apa yang sedang mereka jalani. Tidak ada kedekatan hati karena Hanafi selalu memberi jarak di antara mereka. Tidak saling berbagi suka maupun duka, seperti layaknya pasangan suami istri, tidak ada kontak fisik. Lalu sampai kapan ia akan bertahan?
Di atas motor, Arini tetap menjaga jaraknya dengan Hanafi. Karena Arini yakin, Hanafi tidak menginginkan kedekatan fisik dengannya.
Mereka sampai di rumah sebelum azan magrib berkumandang. Etek Pia dan Udin membukakan pintu untuk Arini dan Hanafi. Setelah menyampaikan kondisi Etek Halimah pada Etek Pia, Arini pun masuk kamar.
Sampai di kamar terlihat Hanafi sedang membuka kancing kemejanya. Melepaskannya dan meletakkannya begitu saja di atas kasur. Arini mendekati lemari pakaian dan mengambilkan handuk kering karena kemarin handuk Hanafi dimasukkan Arini ke mesin cuci.
“Handuk, Da.” Arini menyerahkannya pada Hanafi. Hanafi menerimanya dan mengucapkan terima kasih. Laki-laki itu bergegas masuk ke kamar mandi. Arini kembali membuka lemari dan mengambilkan pakaian rumah untuk Hanafi. Setelah lengkap, Arini meletakkannya di atas kasur. sebelum meninggalkan kamar Hanafi menuju ke kamarnya, Arini membereskan pakaian Hanafi yang berserakan di atas kasur.
Sampai di kamarnya, Arini melakukan hal yang sama. Membuka pakaiannya dan segera masuk ke kamar mandi. Dua hari lalu, Arini telah minta tolong pada Udin untuk membersihkan kamar mandi yang di kamarnya ini. Sehingga Arini bisa lebih leluasa untuk mandi dan berwudu.
*****
Selepas Isya, Arini ke luar dari kamar. Arini berniat menyiapkan makan malam untuk Hanafi. Tetapi, sampai di samping ruang keluarga, langkah kaki Arini tertahan. Terdengar percakapan antara Hanafi dan Harun.
“Bukannya Uda sudah kirim tiap bulan? Masa masih kurang?” Suara Hanafi terdengar penuh penekanan.
“Iya, Da. Ini karena mau menyelesaikan skripsi, makanya aku minta tambah. Ada buku-buku yang harus aku beli.” Harun menjawab dengan menunduk.
“Sekarang Uda belum ada uang. Tunggulah seminggu lagi. Kamu kan tahu, Uda telah beristri. Uda juga punya kewajiban untuk memberikan uang belanja pada istri Uda.” Hanafi berkata dengan suara amat pelan. Tetapi Arini bisa mendengarnya dengan jelas. Ada yang merona di hati dan wajah Arini. Meski bagaimanpun Hanafi ternyata mengakuinya juga sebagai istri.
“Ya, Da. InsyaAllah aku tidak akan lama lagi menyusahkan Uda. Enam bulan lagi insyaAllah aku sudah wisuda, Da.”
“Syukurlah. Biar kita bisa sama-sama membantu Umi menyekolahkan Annisa.”
“Ya, Da.”
“Kamu jadi ke rumah sakit?”
“Iya, da. Aku berangkat sekarang.” Harun bangkit diikuti oleh Hanafi. Arini segera keluar mendekati mereka.
“Uda, Harun, makan dulu. Nanti di rumah sakit nggak payah lagi cari makan.” Arini mengajak mereka ke ruang makan.
“Makan dulu sebelum ke rumah sakit, Run.” Hanafi mengangguk pada Harun. Keduanya lalu mengikuti Arini menuju ruang makan.
Etek Pia ternyata telah menata meja makan. Arini mengambil piring dan gelas dan meletakkannya di depan Hanafi dan Harun. Setelah itu Arini membuka tudung saji. Dendeng cabe hijau, goreng teri dengan tempe, tumis wortel dan buncis. Harun langsung berselera melihat hidangan di depannya. Maklum anak kos.
Arini menyendokkan nasi ke piring Hanafi dan Harun.
“Makasih, Ni.” Harun menerima piringnya. Arini mengangguk dan tersenyum. Sebenarnya umur mereka tidak jauh berbeda, tetapi karena Arini telah menjadi kakak iparnya, Harun pun memanggilnya dengan Uni.
“Kamu nggak makan?” Hanafi menatap Arini yang hanya terlihat duduk tanpa piring di depannya.
“Nggak, Da. Aku jarang makan malam. Apalagi tadi sore sudah makan tahu.”
“Oh, Uda kirain kamu diet.” Hanafi berkata dengan senyum di ujung bibirnya. Arini terpana. Sikap Hanafi pelan-pelan mulai mencair. Sepertinya laki-laki ini mulai membuka dirinya untuk Arini. Arini tersenyum.
“Ayo Harun, makan yang banyak.” Arini menyodorkan tempat nasi pada Harun.
“Siap, Uni. Jarang-jarang Harun bisa makan enak seperti ini.” Harun berkata dengan wajah mulai berkeringat. Mungkin karena kepedasan. Arini kembali tersenyum. Harun berbeda dengan Hanafi. Harun lebih terbuka, lebih heboh dan lebih periang. Sementara Hanafi lebih pendiam, tidak banyak bicara, dan tertutup.
Selesai makan, Arini membereskan meja makan. Etek Pia biasanya setelah sholat isya telah beristirahat di kamarnya. Sementara Udin habis isya di masjid, juga di kamarnya. Jika tidak belajar, anak yatim piatu itu pastilah mengaji. Arini telah menganggap Udin seperti adiknya sendiri.
Begitu beres, Arini bergegas masuk ke kamarnya. Tidak berapa lama perempuan itu ke luar lagi. Arini melihat Hanafi memberikan kunci motor pada Harun. Begitu Hanafi masuk ke kamar, Arini buru-buru menyusul Harun ke teras.
“Harun!”
“Ya, Ni?”
“Ini, Uni ada sedikit uang, pakailah untuk biaya kuliah dan skripsi.” Arini menyerahkan amplop di tangannya pada Harun. Harun menatap Arini dengan bingung. Apa kakak iparnya ini mendengar pembicaraannya dengan Udanya tadi?
“Tidak usah, Uni. Aku tidak mau merepotkan Uni.” Harun menolaknya dengan halus.
“Harun, ambillah. Suatu saat, siapa tau aku yang akan meminta bantuanmu.” Arini meletakkan amplop berisi uang itu di atas jok motor. Harun terdiam, bingung harus mengatakan apa. Jujur, ia sangat membutuhkan uang sekarang. Skripsinya baru jalan, banyak yang harus dibeli dan dilengkapinya. Untuk meminta kepada uminya, tentu Harun tidak tega. Umi saja masih terbaring di rumah sakit.
Arini yang melihat Harun tidak bereaksi, akhirnya berbalik dan masuk ke dalam.
“Uni!” Harun memanggil Arini.
“Ya?” Arini kembali berbalik sebelum mencapai pintu depan.
“Makasih, ya. Kelak jika Harun telah sukses, harus pasti akan menggantinya.” Harun berkata dengan senyum di sudut bibirnya. Arini balas tersenyum. Tanpa menjawab janji yang diucapkan Harun, Arini masuk ke dalam. Menutup pintu dan menuju kamarnya. Melewati kamar Hanafi, Arini melihat laki-laki itu tengah duduk bersandar di kepala tempat tidur. Arini hanya lewat tanpa bicara apa-apa. Selintas Hanafi memperhatikan Arini dari samping. Dalam hati Hanafi mengakui kalau Arini adalah perempuan yang baik. Teramat baik malah.
*******
Arini telah rapi, sebelum dokter visit, Arini ingin sampai di rumah sakit. Arini ingin mendengar langsung dari dokter tentang kondisi Etek Halimah. Arini menggeser pintu kaca di depannya. Terlihat Hanafi juga sudah rapi dengan kemeja warna crem dan celana coklat terang. Sesaat Arini terpaku melihat penampilan suaminya itu. Apa semua dokter memang rapi seperti itu, ya? Arini berbisik dalam hati.
“Kamu sepagi ini mau ke rumah sakit juga?” Hanafi menoleh pada Arini. Beriringan mereka ke luar dari kamar.
“Iya, Da. Biar bisa ketemu sama dokter yang visit. Siapa tau Etek sudah boleh pulang hari ini.”
“Kalau kamu capek, biar aku aja yang urus Umi. Kamu tunggu di rumah aja.”
“Nggak kok, Da. Uda kan dinas, biar aku dengan Annisa aja yang urus Etek.”
“Baiklah.” Hanafi mengangguk.
“Sarapan dulu, ya, Da.” Arini melangkah ke ruang makan.
“Ya.” Hanafi menjawab singkat dan mengikuti langkah Arini. Di ruang makan terlihat Etek Pia sedang menyusun hidangan di meja.
“Udin sudah berangkat, Tek?” Arini membantu Etek Pia menyusun hidangan.
“Sudah, katanya dia piket hari ini.”
“Oh, iya, Tek.” Arini berjalan ke dapur dan mengambil cangkir. Arini ingin membuatkan teh untuk Hanafi.
“Harun belum pulang, Tek?” Hanafi bertanya pada Etek Pia.
“Belum, Nak. Mungkin sebentar lagi.” Etek Pia menjawab sebelum beranjak ke dapur.
“Sudah dipesan padahal tadi malam, pagi motornya mau dipakai.” Hanafi mendengus kesal.
“Kita naik taksi aja nanti, Da.” Arini meletakkan teh hangat di depan Hanafi.
“Mobilmu gimana?” Hanafi menatap Arini heran.
“Ya ampun, kuncinya masih sama Dokter Adrian.” Arini menepuk keningnya. Hanafi menatap Arini dengan tatapan tidak suka. Bersamaan dengan itu, terdengar suara salam dari depan. Hanafi bangkit dan bergegas menuju pintu depan. Arini mengikuti dari belakang.
“Waalaikumsalam.” Suara Hanafi terdengar dingin. Arini terpaku. Dokter Adrian telah berdiri di hadapan mereka.
“Aku mau mengembalikan kunci mobilmu, Arini. Akinya sudah aku ganti tadi malam.” Adrian mengacungkan kunci di tangannya.
“Ya, makasih. Berapa semuanya?” Tiba-tiba kunci di tangan Adrian telah berpindah ke tangan Hanafi. Adrian melongo. Arini pun sama, merasa kaget.
“Nggak usah Pak Dokter. Untuk Arini free. Kakak adik juga.” Adrian tersenyum menggoda, tetapi bukan pada Hanafi. Adrian hanya melihat pada Arini. Arini jadi salah tingkah.
“Tidak ada yang gratis di dunia ini Dokter Adrian.” Hanafi berucap dengan sinis. Laki-laki itu mengeluarkan dompetnya. Mengambil beberap lembar uang berwarna merah.
“Ini, tidak baik menanam budi. Nanti kamu akan kecewa.” Hanafi mengambil tangan Adrian dan meletakkan lembaran uang kertas itu di tangan Adrian. Wajah Adrian memerah. Tetapi dokter muda itu tetap mencoba santai.
“Oke, Pak Dokter. Makasih, ya.” Adrian memasukkan uang pemberian Hanafi dengan santai ke saku celananya.
“Masih ada perlu lagi?” Hanafi menatap Adrian dengan kening berkerut melihat Adrian masih berdiri di depan pintu.
“Lha, saya kan nggak punya kendaraan ke rumah sakit. Saya nebeng, dong.” Adrian menjawab cuek.
“Ya, sudah. Silakan masuk.” Hanafi menggeser tubuhnya ke samping memberi ruang pada dokter Adrian.
“Terima kasih, Pak Dokter.” Adrian masuk dengan perasaan lega. Arini tersenyum melihatnya. Melihat dokter yang satu ini seperti melihat dunia tanpa masalah. Sepertinya hidup dokter Adrian begitu tenang, ringan, dan tidak ada beban.
“Silakan duduk. Kami sarapan dulu.” Hanafi berbalik. Arini menatap Hanafi dengan bingung. Rasanya tidak etis juga tidak menawarkan dokter Adrian sarapan. Toh mereka merupakan rekan kerja.
“Dokter Adrian sudah sarapan?” Akhirnya Arini tidak dapat menahan diri untuk tidak bertanya.
“Belum.” Adrian menatap Arini dengan mata berbinar.
“Mau sarapan sama-sama?” Arini bertanya dengan ragu.
“Tentu saja mau kalau kamu mengizinkan.” Adrian langsung berdiri. Hanafi berjalan cepat menuju meja makan. Sebenarnya ia mendengar semua percakapan Arini dan Adrian. Tetapi ia merasa malas menanggapi.
Adrian dan Arini berjalan beriringan menuju meja makan.
“Silakan duduk, Dokter.” Arini mempersilakan dokter Adrian untuk duduk. Dengan senang hati dokter Adrian duduk di hadapan Hanafi. Sementara Hanafi tidak melihat ke arah Adrian sedikitpun. Arini duduk di samping Hanafi. Di depan mereka terhidang mie goreng, telur mata sapi, irisan tomat dan timun. Hanafi memberikan piringnya pada Arini. Arini ingin tersenyum sebenarnya. Sikap dan ekspresi Hanafi terlihat amat lucu.
Arini menyendokkan mie goreng ke piring Hanafi lengkap dengan telur dan sayurnya. Arini sudah hapal, Hanafi sarapan biasanya cuma sedikit.
“Makasih, ya.” Hanafi menerima piringnya seraya tersenyum.
“Aku juga.” Adrian mengulurkan piringnya pada Arini. Tetapi sebelum Arini mengambilnya dari tangan Adrian, Hanafi telah mengambilnya terlebih dahulu.
“Jangan manja. Ambil sendiri. Kalau mau diambilkan juga, segeralah menikah.” Hanafi berkata dengan nada sinis. Adrian menerima piringnya kembali dengan senyuman. Bukan Adrian namanya jika tidak santai menghadapi sikap Hanafi.
“Bentar lagi juga nikah, Pak Dokter. Lagi nunggu gadisnya terbebas dari ikatan palsu.” Adrian mengerling pada Arini. Entah mengapa wajah Arini langsung memerah mendengar kata-kata dokter Adrian.
Sedangkan Hanafi langsung terbatuk mendengar kata-kata dokter Adrian. Arini buru-buru mengambil gelas berisi air putih.
“Pelan-pelan, Da.” Arini mengulurkan gelas pada Hanafi.
“Makasih.” Hanafi menerimanya dan meneguk isinya sampai habis setengah. Adrian yang berada di depan Hanafi yang telah mulai menyondok mie goreng di piringnya hanya senyum-senyum jahil melihat ekspresi wajah Hanafi.
Bertiga mereka makan dalam diam. Arini makan dengan menunduk. Hanafi berulangkali menyaksikan Adrian mencuri pandang pada istrinya. Laki-laki ini sepertinya harus diberi pelajaran juga, Hanafi menggeram dalam hati.
Bersambung ….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar