CERBUNG: BIAS RINDU - EPISODE 17

Sabtu, 13 Juni 2020

BIAS RINDU - EPISODE 17

Judul: “Bias Rindu”
Penulis: Naya R
Terima kasih admin/moderator telah berkenan menyetujui tulisan ini.
Terima kasih pembaca setia Arini.
Arini duduk sendiri di bangku taman Malioboro. Ucapan dokter kandungan benar-benar mengganggu pikirannya.
“Selamat, ya. Usia kandungan Mbak telah memasuki minggu keenam.”
Arini merasa semesta sedang memandang iba padanya. Bagaimana ia akan menjalani kehidupannya selanjutnya? Hamil tanpa sang suami di sampingnya, memiliki anak di tengah pernikahan yang tidak jelas ini. Ah, mengapa hidupnya terasa begitu runyam.
Andai ia menghubungi Hanafi lalu mengatakan jika ia hamil, apa yang akan dikatakan laki-laki itu? Percayakah dia kalau Arini benar-benar hamil meski baru sekali berhubungan? Tetapi, bukankah suaminya itu seorang dokter? Tentu ia lebih tahu tentang hal ini.
Nah, jika Hanafi telah mengetahui, lalu apa yang diharapkan Arini? Mengharapkan laki-laki itu mendampinginya sampai hari melahirkan tiba? Mengharapkan laki-laki itu menerima buah hati mereka? Atau mengharapkan belas kasihani dari laki-laki yang tidak mencintainya itu?
Tidak. Arini tidak akan menjatuhkan harga dirinya lagi di hadapan Hanafi. Arini tidak akan menjadikan janin di perutnya sebagai senjata untuk mendapatkan perhatian laki-laki itu. Ia akan mengurus bayinya seorang diri. Ia akan menjadikan anaknya kelak teman dan sahabat. Tentu amat menyenangkan, karena ia tidak memiliki sanak saudara. Lalu tiba-tiba akan memiliki anak.
Seketika mata Arini berbinar. Pelan dielusnya perutnya yang masih datar. Arini tersenyum.
“Baik-baik di sini, ya, Nak. Kelak kita akan menjalani hari-hari indah dan bahagia berdua.” Arini berbisik pelan pada janinnya.
Senja di Malioboro terlihat makin temaram. Para pejalan kaki masih terlihat ramai di sepanjang emperan toko. Para pedagang makin semangat menawarkan dagangannya. Arini bangkit dan berjalan menuju masjid terdekat. Sebentar lagi azan magrib berkumandang. Ia akan sholat dulu sebelum pulang ke rumah kos.
Tadi Arini izin sama Dona untuk jalan-jalan sebentar menikmati angin sore Kota Jogja. Dona sudah menawarkan diri untuk menemani. Tetapi, Arini mengatakan ingin jalan sendiri. Entahlah, tiba-tiba ia ingin menikmati kesendirian untuk beberapa saat.
*****
Arini baru saja akan menutup pintu ketika matanya menangkap sosok laki-laki gagah di depan pagar rumah. Laki-laki itu baru saja turun dari minibus berwarna silver. Mata Arini menyipit. Dokter Adrian. Tetapi, dokter Adrian tidak sendirian. Di sampingnya telah berdiri seorang wanita cantik. Arini membuka kembali pintu yang sudah setengah tertutup. Arini memperhatikan keduanya melangkah menuju rumah. Adrian terlihat menenteng sebuah kantong kertas yang cukup besar.
“Assalammualaikum.” Dokter Adrian dan wanita cantik itu mengucapkan salam bersamaan.
“Waalaikumsalam.” Arini tersenyum manis. “Silakan masuk.” Arini memberi ruang pada Adrian dan wanita itu.
“Sendirian?” Dona mana?” Adrian masuk diikuti oleh si wanita cantik.
“Dona masih di kampus, Da. Silakan duduk, Da, Mbak.”
“Oh, iya, kenalkan Arini, ini Sandra, teman Uda.” Adrian memeluk pundak Sandra lembut.
Arini mengulurkan tangan, Sandra menyambutnya dengan ramah. Mereka bersalaman dan saling menyebutkan nama. Entah mengapa, tiba-tiba Arini merasa lega melihat sikap mesra Adrian pada Sandra.
“Pacar Uda, ya?” Arini bertanya dengan mata berbinar setelah mereka bertiga sama-sama duduk di ruang tamu.
“Calon istri kalau dia bersedia.” Adrian menjawab dengan tertawa seraya melirik Sandra. Sandra tersenyum.
“Wah, semoga Mbak Sandra bersedia, ya, Uda. Uda kan keren, baik, perhatian. Mbak Sandra insyaallah beruntung jika mendapatkan Uda Adrian.” Arini berkata dengan penuh semangat.
“Ya, kamu bantu dengan doa aja.” Adrian menjawab dengan santai.
“Insyaallah, Da.” Arini mengangguk. “Bentar ya, Da, Mbak, aku tinggal dulu.” Arini pamit ke belakang.
“Ini oleh-oleh dari kampung buat kamu dan Dona.” Adrian menyerahkan kantong yang dibawanya tadi pada Arini.
“Apa ini, Da?” Arini menerimanya seraya menatap kantong yang sudah berpindah ke tangannya.
“Ada rendang, gelamai dan sanjai. Dibuatkan khusus oleh Ibu untuk kamu.” Adrian menjawab seraya mengeluarkan ponselnya.
“Ya Allah, makasih, ya, Da.” Arini meneguk ludahnya. Sudah beberapa hari ini tiba-tiba ia sangat ingin makan rendang yang asli dari kampungnya. Rendang yang dimasak di atas tungku. Dimasak hingga berwarna kehitaman. Rasanya sangat lezat jika dimakan dengan nasi panas.
“Ya, nanti bilang sama Ibu langsung, ya.” Adrian mengedikkan bahunya. Sandra memperhatikan semua sikap Adrian pada Arini dengan hati bingung.
Arini tidak menjawab. Tergesa perempuan muda itu berlalu ke belakang. Adrian menyandarkan punggungnya seraya meluruskan kaki. Perjalanan dari Bukit Tinggi – Padang – Jogja ternyata cukup melelahkan.
Sandra mengedarkan pandangan. Ruang tamu yang sangat sederhana. Isinya hanya selembar karpet dan meja osin dengan alas berwarna merah marun. Sebuah jam di dinding dan dua buah kaligrafi bertulisan nama Allah dan Muhammad.
Tidak berapa lama, Arini ke luar lagi dengan sebuah nampan berisi dua gelas teh hangat. Arini jongkok dan meletakkan ke dua gelas minuman itu di depan Adrian dan Sandra.
“Silakan diminum, Da, Mbak.” Arini mengangguk seraya tersenyum pada Adrian dan Sandra.
“Makasih.” Adrian menjawab seraya langsung mengambil gelas di depannya. Sandra mengikuti Adrian , meraih gelas dan meminumnya beberap teguk.
“Bagaimana kandunganmu?” Adrian tiba-tiba bertanya dan itu membuat Arini kaget.
“Tau dari mana, Da?” Arini menatap Adrian dengan heran.
“Ya, taulah. Masa Adik sendiri hamil nggak tau.”
“Pasti dari Dona, ya?”
“Hhhmmm.”
“Padahal sudah dipesan jangan bilang sama siapa-siapa.”
“Nggak boleh gitu, Arini. Berita baik itu harus dibagi.” tiba-tiba Sandra ikut bicara.
“Eh, iya, Mbak.” Arini menunduk. Entah mengapa tiba-tiba ia merasa sedih. Teringat jika ia hanya seorang diri di negeri orang.
“Ayo kita periksa ke dokter sekarang.” Adrian bersiap untuk bangkit.
“Tetapi, belum jadwalnya, Da. Masih seminggu lagi.” Arini menolak dengan halus.
“Nggak apa. Sandra ini juga dokter. Nanti dia akan bawa kamu ke dokter kandungan terbaik di kota ini. Senior dia dulu.” Adrian melirik Sandra meminta dukungan.
“Benar, Arini. Nanti aku kenalkan sama Dokter Rahmah. Aku sarankan sampai melahirkan kamu dengan dia aja.” Sandra mencoba meyakinkan Arini. Arini menjadi ragu.
Dalam hati Arini menimbang-nimbang, mungkin sekarang ia tidak perlu merasa khawatir lagi dengan dokter muda yang ganteng ini. Toh dia telah memiliki kekasih. Mana kekasihnya cantik lagi. Dan mereka pergi bertiga. Tentu tidak akan menimbulkan fitnah.
“Baiklah. Tapi, boleh nggak kalau aku makan bentar? Aku pengen nyoba rendang yang Uda bawa.” Arini berkata seraya menelan ludahnya yang tiba-tiba terasa encer. Adrian dan Sandra tersenyum mendengar ucapan Arini. Jauh di lubuk hati dokter ganteng itu, ada rasa pilu melihat kondisi Arini seperti ini.
“Makanlah. Bawa ke sini. Kami ingin lihat kamu makan.” tiba-tiba mata Adrian terasa panas.
“Aku makan di belakang aja, Da. Uda dan Mbak Sandra ngobrol aja dulu tentang masa depan di sini.” Arini tersenyum seraya mengedipkan mata pada Adrian dan Sandra. Adrian dan Sandra balas tersenyum. Arini lalu bangkit dengan tergesa. Bayangan nasi panas yang mengepul dengan rendang yang lezat menari-nari di pelupuk matanya.
“Kenapa harus membohonginya?” Sandra menoleh pada Adrian. Adrian terdiam untuk beberapa saat.
“Maafkan telah melibatkanmu.” Adrian berkata gusar pada Sandra.
“Tidak apa, bukankah dari dulu aku selalu melakukan apa yang kamu inginkan?” suara Sandra sedikit sinis.
“Aku hanya ingin dia merasa nyaman denganku, Sandra. Tanpa ada prasangka apa-apa.”
“Dengan menjadikan aku kekasih pura-pura kamu?”
“Hanya dengan begitu ia akan menerima perhatianku. Aku hanya ingin dianggap sebagai kakaknya yang bisa menolongnya kapanpun dia membutuhkan aku.”
“Sebegitu besarnya kamu mencintainya.”
“Kondisinya sedang tidak baik saat ini, Sandra. Dia butuh seseorang yang bisa dipercayainya, dan aku sudah berjanji pada diri sendiri kalau aku tidak akan melampaui batas.”
“Andai aku adalah Arini.”
“Maafkan aku, Sandra.” Adrian menatap Sandra dengan rasa bersalah.
“Tidak apa. Cinta memang penuh misteri.” Sandra mencoba tersenyum. Meski ada yang terasa perih di hatinya. Sudah bertahun-tahun perempuan cantik ini memendam rasa pada teman sejawatnya ini. Sejak mereka masih sama-sama menjadi mahasiswa kedokteran. Sampai sekarang, saat keduanya telah sama-sama menjadi dokter.
Adrian tidak pernah memberi harapan padanya. Akhirnya mereka menjadi sahabat baik. Dan entah mengapa, ia selalu tidak bisa menolak apapun yang dikatakan oleh Adrian. Sebagai dua orang sahabat mereka memang kerab sekali saling membantu.
“Aku sudah selesai makan. Ayo!” tiba-tiba Arini telah berdiri di depan mereka dengan wajah ceria. Adrian dan Sandra mengangkat wajahnya. Mata Adrian tidak bisa menyembunyikan kekagumannya. Arini terlihat makin mempesona. Barangkali karena sedang hamil muda. Gamis berwarna abu-abu muda dengan hijab berwarna kuning lembut. Entah mengapa, apapun yang dipakai perempuan muda ini selalu terlihat cantik di mata Adrian. Sandra bangkit, dengan sudut matanya ia bisa melihat tatapan terpesona Adrian.
“Ayo!” Sandra menggamit lengan Arini. Adrian tadi sempat bercerita sedikit di mobil, jika Arini sedang ada masalah dengan suaminya. Rekan Adrian juga di rumah sakit Bukit Tinggi.
“Ayo, Mbak.” Arini menggandeng tangan Sandra. Arini senang, ia mendapatkan teman lagi di sini.
Mereka ke luar rumah beriringan. Adrian mengikuti dari belakang.
“Kata Uda Adrian kamu sedang ambil program magister. Sudah mulai kuliah?”
“Iya, Mbak. Aku sudah mulai kuliah tiga minggu ini.”
“Oh, syukurlah. Semoga sukses, ya. Terus masih suka pusing dan mual?”
“Masih, Mbak. Kira-kira sampai berapa lama seperti ini, ya, Mbak?”
“Di trimester pertama, biasanya memang begitu. Tetapi, nanti begitu memasuki trimester kedua, biasanya sudah tidak mual dan pusing lagi.”
“Tidak lama lagi berarti.” Arini tersenyum senang.
Mereka sampai di samping mobil Sandra. Adrian membukakan pintu untuk keduanya. Sandra duduk di depan, sementara Arini di belakang. Bertiga mereka menuju ke rumah sakit tempat dokter Rahma praktik.
*****
Sudah empat hari Adrian berada di Jogya. Adrian menginap di salah satu hotel terdekat dengan rumah kontrakan Dona dan Arini.
Selama empat hari berada di Jogja, Adrian melakukan banyak hal untuk Arini. Mereka benar-benar terlihat seperti kakak adik. Arini ternyata benar-benar merasa nyaman sejak mengetahui Adrian telah memiliki kekasih. Arini tidak sungkan lagi mengatakan jika ingin makan sesuatu pada Adrian. Sebaliknya, Adrian dengan senang hati akan mencarikan pesanan Arini.
Setiap malam, mereka berempat pergi makan ke luar. Arini merasa amat senang. Perempuan itu serasa memiliki keluarga. Setelah makan, Arini minta menikmati kota Jogja di malam hari. Mereka berempat duduk di bangku-bangku jalanan Malioboro. Entah mengapa, bumil yang satu ini sangat menyukai suasana Malioboro.
Siang hari, Adrian membersihkan halaman rumah dan membersihkan bagian dalam rumah dibantu Dona. Arini hanya kebagian membuatkan teh hangat. Adrian juga mengantar jemput Dona dan Arini ke kampus. Selama di Jogja, Sandra meminjamkan mobilnya pada Adrian.
Entah terbuat dari apa hati dokter cantik ini. Ia mencintai Adrian, tetapi ia bisa tulus juga pada perempuan yang disukai laki-laki itu. Sandra begitu baik pada Arini. Dan Adrian merasa bahagia melihatnya. Adrian merasa tenang meninggalkan Arini dalam kondisi hamil seperti ini di sini.
Siang nanti Adrian akan kembali ke Bukit Tinggi. Cutinya telah habis. Sebelum ke bandara, Adrian masih menyempatkan diri mengantar Dona dan Arini ke kampus. Kebetulan, kampus Dona mereka lewati pertama. Setelah itu, baru kampus Arini.
Adrian menghentikan mobil di depan gedung pasca Ilmu Gizi. Arini bersiap untuk turun.
“Arini, setelah ini, Uda langsung ke bandara.” Adrian menatap Arini dengan tatapan yang sulit diartikan.
“Ya, Da. Hati-hati.” Arini menjawab pelan. Entah mengapa Arini tiba-tiba merasa sedih. Hatinya benar-benar telah menganggap Adrian sebagai kakaknya.
“Kamu baik-baik, ya, di sini. Jaga kandunganmu. Jika ada apa-apa, jangan sungkan-sungkan menghubungi Dokter Sandra. Uda sudah menitipkan kamu kepada Sandra.”
“Insyaallah, Da. Makasih.” Mata Arini tiba-tiba terasa kabur.
“Arini pamit, Da.” Arini turun dari mobil. Adrian ikutan turun dan berjalan menuju Arini.
“Arini, maaf … apa tidak sebaiknya Hanafi tahu tentang kondisi kamu?” Adrian berkata dengan ragu. Arini mendongak dan menatap Adrian dengan mata yang sudah basah.
“Tidak perlu, Da. Biarlah seperti ini. Jika suatu saat Allah mempertemukan kami kembali, aku tidak akan menolak takdir-Nya.” Arini berkata seraya tersenyum.
“Baiklah.” Adrian mengangguk. Ia memang mencintai perempuan di depannya ini. Tetapi, ia tidak akan melakukan hal busuk pada Arini dan Hanafi. Cintanya terlalu tulus. Karena itulah, ia tidak ingin melihat perempuan ini menderita.
“Uda pamit. Baik-baik di sini.” Adrian berbalik dan masuk ke mobil. Arini mengangguk. Perlahan mobil yang dikendarai Adrian melaju dan menghilang di belokan ujung pasca. Arini menghapus matanya yang basah. Ucapan Adrian barusan mengingatkannya kembali pada suaminya itu. Bagaimanakah kabar laki-laki itu sekarang? Tuhan, di mana pun dia berada, lindungilah dia selalu ya, Allah. Arini memohon dalam hati.
*****
Sudah hampir tiga bulan Arini pergi. Hanafi benar-benar menyibukkan diri dengan pekerjaannya. Beberapa hari ini, Hanafi mulai praktik lagi di sebuah rumah sakit swasta di Kota Padang. Hanafi membagi waktunya empat hari di Bukit Tinggi dan dua hari di Padang. Laki-laki itu benar-benar tidak punya waktu lagi untuk memikirkan dirinya sendiri.
Sesekali Hanafi masih mampir ke rumah Arini untuk menjenguk Etek Pia dan Udin. Hanafi sudah mulai terbiasa juga memberikan uang belanja pada mereka berdua. Meski Etek Pia selalu menolaknya. Tetapi, Hanafi tetap memaksa.
Banyak yang telah berubah pada diri Hanafi. Setiap malam minggu, laki-laki yang terlihat sedikit kurus ini mengikuti kajian rutin di masjid Ar Rahman. Hanafi kini memilki kelompok kajian dengan beberapa dokter muda lainnya. Hidupnya saat ini hanya untuk kerja dan ibadah.
Hari minggu pun digunakan Hanafi untuk keliling daerah. Hanafi tidak sendirian, ada dua orang temannya yang bergantian menyertai Hanafi. Mereka membuka posko berobat gratis. Obat-obatan mereka bawa sendiri dari hasil patungan mereka bertiga. Hanafi merasa bahwa ia harus memiliki manfaat untuk orang lain. Dan profesinya sebagai seorang dokter membuka peluang lebih besar padanya untuk melakukan hal itu.
Masyarakat yang kurang mampu akan mendatangi posko mereka. Biasanya mereka menumpang membuka praktik gratis tersebut di rumah kepala desa. Pernah juga mereka buka di halaman masjid atau musala. Mulai dari Solok, Batu Sangkar, Lintau, Payakumbuh, Pangkalan, Pariaman, Pasaman, dan Bukit Tinggi. Semua mendapat giliran. Kehadiran mereka di tiap daerah akhirnya menyebar dari mulut ke mulut.
Tidak jarang, meski mereka telah mengatakan berobatnya gratis, masih ada juga yang memberikan buah tangan. Pisang, jeruk, papaya, tomat, berbagai macam sayur, beras, sampai jengkol. Sikap tulus masyarakat kepada mereka bertiga menjadi kebahagiaan tersendiri bagi Hanafi dan teman-temanya.
Cuma akhir-akhir ini Hanafi merasa sedikit heran. Laki-laki ini sering ingin makan sesuatu ketika malam hari tiba. Ingin makan lontong, ingin makan dengan rendang, ingin makan sate. Sesuatu hal yang selama ini tidak pernah dialaminya. Umi Halimah sedikit heran melihat perubahan Hanafi. Ada saja makanan yang dipesan anaknya itu.
Dengan kesibukannya yang sangat padat, Hanafi bisa sedikit melupakan Arini. Tetapi jika rasa rindu itu hadir, Hanafi akan pulang ke rumah istrinya. Laki-laki itu akan tidur di kamar Arini.
Dalam doa-doanya di sepertiga malam, Hanafi memohon kepada Allah, agar suatu saat Allah mempertemukannya kembali dengan istrinya itu.
Bersambung ….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar