CERBUNG: BIAS RINDU - EPISODE 11

Sabtu, 13 Juni 2020

BIAS RINDU - EPISODE 11

Judul: “Bias Rindu”
Penulis: Naya R
Terima kasih admin/moderator telah berkenan menyetujui tulisan ini.
Etek Halimah telah diizinkan pulang. Hanafi mengurus semua urusan admistrasi dan obat-obatan uminya ditemani oleh Arini. Arini takjud juga melihat Hanafi yang terlihat nyaman berbagi tugas dengannya. Sampai membawa Etek Halimah pulang, Hanafi masih setia mendampingi Arini. Sementara Annisa dan Harun telah pulang duluan dengan motor Hanafi. Jadilah mereka bertiga pulang dengan mobil Arini. Etek Halimah terlihat amat bahagia menyaksikan Hanafi dan Arini yang mulai terlihat dekat dan akrab.
Ketika mau masuk ke mobil, Arini mempersilakan mertuanya untuk duduk di depan. Tetapi Etek Halimah menolak. Perempuan berhati lembut itu memilih duduk di belakang. Akhirnya Arinilah yang duduk di samping Hanafi.
“Uda nggak ada pasien?” Arini menoleh pada Hanafi yang sedang mengemudikan mobil.
“Sekarang dokter penyakit dalam sudah dua orang. Jadi kalau ada keperluan, kami bisa saling menggantikan.” Hanafi menjawab seraya tersenyum pada Arini. Arini terpana. Laki-laki ini benar-benar tampan. Apalagi kalau lagi baik dan ramah seperti ini.
“Oh. Syukurlah.” Arini balas tersenyum. Sementara di belakang, Etek Halimah juga tersenyum bahagia menyaksikan anak dan menantunya keliatan seperti pasangan suami istri lainnya.
“Kamu nggak ingin kerja?” Tiba-tiba Hanafi bertanya pada Arini.
“Kerja? Boleh, Da?” Mata Arini berbinar menatap Hanafi.
“Ya, bolehlah. Kamu kan sudah kuliah. Sayang kalau nggak dimanfaatkan.”
“Betul itu, Nak. Kerjalah untuk mengisi waktu sampai kalian punya anak. Agar kamu tidak suntuk di rumah terus.” Etek Halimah menimpali dari belakang.
“Hukh.” Hanafi terbatuk mendengar ucapan sang umi. Sedangkan Arini merasakan wajahnya panas. Anak? Bagaimana bisa punya anak kalau laki-laki ini tidak pernah menyentuhnya. Barangkali tidak akan pernah. Arini menunduk. Sampai kapan ia akan bertahan? Apa Hanafi sengaja melakukan ini padanya? Agar Arini menyerah lalu meminta cerai?
Tetapi, kenapa akhir-akhir ini hatinya semakin berharap terhadap pernikahan mereka? Barangkali semua perempuan sama seperti dirinya, hanya ingin menikah satu kali selama hidupnya. Arini pun begitu. Jujur, Arini masih memiliki harapan besar terhadap pernikahannya. Akhir-akhir ini, Arini selalu berdoa di sujud-sujud panjangnya agar Allah membukakan hati Hanafi untuk menerima dirinya.
“Jadi mau coba masukin lamaran di mana?” Hanafi kembali membuka pembicaraan setelah beberapa saat laki-laki itu mencoba menenangkan diri mendengar ucapan sang umi.
“Ya, di rumah sakit kamu aja, Nak.” Umi kembali menjawab dari belakang.
“Sebaiknya di rumah sakit lain aja, Umi. Nggak nyaman satu tempat kerja dengan istri atau suami sendiri.” Hanafi menunjukkan keberatannya. Arini tercekat. Lagi-lagi Hanafi tidak menginginkan kehadiran Arini di sekitar dirinya.
“Nggak apa-apa, Tek. Nanti Arini coba cari rumah sakit yang lain aja, Tek.” Arini mencoba menjawab dengan tenang. Meski ada sudut hatinya yang terluka.
“Kalau mau, biar nanti aku bantu.” Hanafi kembali angkat bicara.
“Ya, Da. Makasih.” Arini mencoba tersenyum.
Akhirnya mereka sampai di rumah. Annisa dan Harun telah menunggu di depan rumah. Melihat mobil Arini memasuki halaman dan berhenti di depan garasi, Annisa dan Harun datang mendekat. Harun membuka pintu mobil dan membantu umi turun. Mereka masuk rumah dan berkumpul di ruang keluarga. Etek Pia ikut bergabung.
Arini melirik jam di pergelangan tangannya. Pukul 11.40. Arini bangkit dan berjalan menuju ruang makan. Arini melihat meja makan telah tertata dengan rapi. Etek Pia memang bisa diandalkan. Arini sangat berterima kasih kepada wanita yang telah banyak berjasa pada Arini dan ayahnya itu.
Arini mengambil piring dan gelas lalu meletakkannya di meja makan. Annisa dan Etek Pia ikut membantu. Etek Pia menambahkan kobokan dan serbet. Setelah merasa semua lengkap, Arini kembali ke ruang keluarga.
“Ayo, Tek, Da, Harun, kita makan sama-sama.” Arini mengajak semuanya untuk makan siang.
“Ya, Nak.” Etek Halimah mengangguk dan bersiap untuk bangkit. Harun dengan sigap membantu uminya berdiri lalu menuntunnya menuju ruang makan. Hanafi ikut berdiri dan berjalan beriringan dengan Arini. Di meja makan, Annisa telah duduk menunggu. Hidangan di meja makan, itik lado hijau, goreng ikan asin dan terong, goreng tahu dan tempe tanpa cabe, sayur bayam, kerupuk ubi, benar-benar membangkitkan selera.
Seperti biasa, Arini melayani Hanafi layaknya seorang istri. Mengambilkan nasi, lauk, dan sayur. Lalu meletakkannya di depan suaminya itu. Semua yang dilakukan Arini tak luput dari perhatian Etek Halimah. Apalagi kurangnya Arini bagi anaknya Hanafi.
Hanafi sebenarnya mulai menikmati perhatian dan layanan Arini untuknya. Tak dapat dipungkirinya ada ruang di hati yang terasa hangat denga sikap dan perhatian istrinya ini. Istri? Akhir-akhir ini, Hanafi sepertinya makin sering mengakui kalau Arini adalah istrinya.
Makan siang berlangsung dengan hangat. Annisa dan Harun saling berbagi cerita pada Umi, Udanya dan Arini. Umi dan Arini senyum-senyum mendengarkan cerita Annisa dan Harun. Kedua kakak beradik itu memang paling heboh kalau sudah berkumpul. Hanya Hanafi yang selalu terlihat kalem.
Selesai makan, Arini dan Annisa membersihkan meja makan. Berdua mereka mencuci piring dan gelas. Etek Pia terlihat sedang mengangkat jemuran di halaman belakang. Halaman belakang rumah Arini sangat luas. Sekelilingnya dipagar tembok. Beberapa pohon buah-buahan ditanam di drum-drum berwarna biru. Ada rambutan, mangga, jambu madu, durian montong, dan jeruk. Jika sedang berbuah, hasilnya lumayan untuk dinikmati orang serumah. Rumah para tetangga tidak terlalu berdekatan, namanya rumah di kampung.
Etek Pia biasanya makan siang dengan Udin, setelah Udin pulang sekolah. Dan Udin sampai di rumah biasanya setelah sholat zuhur. Jika Arini mengajak Etek Pia makan sama-sama, Etek Pia selalu menjawab, kasihan nanti Udin makan sendirian. Padahal sebenarnya, Etek Pia mungkin sungkan makan satu meja dengan Arini dan ayahnya. Padahal, Arini dan ayahnya tidak pernah menjaga jarak dengan Etek Pia.
*********
Hari terkadang terasa begitu lamban berjalan. Mungkin karena Arini belum memiliki kesibukan yang terlalu padat. Sejak percakapan pulang dari rumah sakit tempo hari tentang pekerjaan untuk Arini, Arini masih belum juga menentukan pilihan akan mendaftar di rumah sakit yang mana. Sehari-hari, Arini hanya melayani segala kebutuhan dan keperluan Hanafi. Mengurus urusan rumah tangga dengan segala tetek bengeknya. Mengurus usaha sang ayah dan satu hal yang mulai dilakukan Arini sekarang adalah mulai kembali aktif dalam liqo dan kelompok tahsin dengan Fitri sahabatnya.
Di kelompok Liqo, Arini dan beberapa orang anggota liqo saling memberi semangat dalam melakukan kebaikan dan melakukan ibadah-ibadah wajib maupun ibadah-ibadah sunnah. Grup WA liqo mereka selalu hidup di sepertiga malam, saling mengingatkan untuk Qiyamul Lail, lalu melanjutkan hapalan Al Quran sampai waktu subuh. Sejak aktif lagi dalam majelis-majelis ilmu, Arini merasa hidupnya lebih tenang dan lebih teratur. Arini bisa lebih sabar dan iklas dalam menjalani takdir hidupnya.
Hubungan dengan Hanafi masih belum banyak kemajuan. Arini tidak terlalu memikirkan lagi tentang hal itu. Bagi Arini tugasnya hanyalah memberikan bakti pada sang suami dan pada keluarga suaminya. Arini sadar, di luar sana, masih banyak orang-orang yang memiliki ujian lebih berat dan lebih menyakitkan dibanding apa yang dialaminya.
Seperti yang dikatakan Ustazah Laili dalam kajian liqo minggu lalu, kita harus sabar dan iklas dalam mengahadapi setiap ujian yang kita alami. Jangan pernah berpikir bahwa ujian kitalah yang paling berat. Dan satu hal yang harus kita yakini, Allah tidak akan menguji seorang hambanya melampau batas kemampuan hambanya.
Ujian menurut ustazah Laili juga menjadi sarana menaikkan derajat keimanan seseorang. Jika seseorang sabar dan iklas menerima ujian yang diberikan Allah, maka insyaAllah ia telah lulus untuk naik ke tingkat keimanan yang lebih tinggi. Dan Arini mencoba menganggap apa yang dialaminya saat ini dengan Hanafi bukanlah sebuah ujian yang berat. Sehingga Arini bisa menjalani semuanya dengan lebih iklas.
Pagi ini, Arini telah selesai mandi dan sholat subuh. Kebiasaan Arini sejak kuliah adalah mandi sebelum sholat subuh. Sebab menurut kesehatan, mandi di waktu subuh itu sangat baik untuk tubuh. Menurut sebuah penelitian yang pernah dibaca oleh Arini, mandi subuh dapat menstimulasi titik biru pada otak yang merupakan sumber utama noradrenalin yang dapat membantu mengurangi depresi secara kimiawi. Selain itu, mandi di waktu subuh juga melancarkan sirkulasi darah, mengurangi kadar gula darah, meningkatkan memori, dan menambah energi serta semangat.
Arini menggeser pintu kaca di depannya. Kebiasannya beberapa bulan ini adalah membuatkan teh untuk Hanafi dan mengantarkannya ke kamar suaminya itu. Biasanya jika Arini masuk dengan secangkir teh panas pada hari libur seperti ini, Hanafi telah rapi dengan pakaian olahraganya. Setiap minggu pagi, laki-laki itu selalu jogging atau bersepeda menuju jam gadang. Sebenarnya Arini ingin sekali ikut dengan suaminya itu. Tetapi, sampai saat ini, Hanafi tidak pernah mengajaknya.
Melewati kamar Hanafi, Arini mengerutkan kening. Hanafi terlihat masih berbaring di tempat tidur, lengkap dengan selimut tebalnya. Arini mencoba mengabaikannya dan tetap melangkah ke luar menuju dapur. Etek Pia dan Etek Halimah terlihat telah sibuk di depan kompor. Harum bau soto menguar memenuhi ruangan dapur.
“Bikin soto, Tek?” Arini bertanya pada Etek Pia.
“Iya, Nak. Uda kamu kan doyan soto.” Etek Pia tertawa kecil pada Arini. Arini tersipu. Etek Pia selalu perhatian dengan semua hal yang berhubungan dengan Arini.
“Mau bikin teh, Nak? Itu air sudah Etek panaskan.” Etek Halimah menunjuk panci yang telah berada di atas kompor.
“Iya, tek. Makasih.” Arini mengambil cangkir, mengisinya dengan gula dan teh. Setelah itu menyiramnya dengan air panas. Seketika aroma teh meningkahi harumnya kuah soto. Arini membuka kulkas, mengeluarkan bolu gulung yang dibelinya kemarin. Dipotongnya kue dengan selai keju itu lalu ditatanya di piring kecil. Sedikit demi sedikit Arini mulai mengerti dengan kesukaan Hanafi. Suka teh hangat dan kue dengan krim keju.
Satu piring diletakkan Arini di meja makan dan sepiring lagi dibawa Arini ke kamar dengan teh buat Hanafi.
Arini masuk kamar dengan nampan di tangannya. Diletakkannya nampan berisi teh dan kue di atas nakas. Arini baru saja akan berbalik, tetapi mata Arini menangkap bibir Hanafi yang terlihat seperti menggigil. Arini mendekat dan jongkok di samping Hanafi. Arini bisa melihat kalau Hanafi sedang menahan dingin. Tetapi keningnya berkeringat.
Ragu Arini menyentuh kening Hanafi. Arini terperanjat. Tangan Arini merasakan hawa yang sangat panas. Beberapa hari ini, Hanafi memang terlihat amat sibuk. Katanya rumah sakit sedang mempersiapkan program “Sunday clinic.” Direktur rumah sakit mempercayakan program baru ini pada Hanafi. Sehingga Hanafi sering pulang sampai larut malam. Malam kemarin, Hanafi pulang kehujanan. Sudah berapa kali Arini menawarkan agar Hanafi membawa mobil saja ke rumah sakit, tetapi laki-laki itu selalu menolak. Entah apa alasannya.
Arini juga heran, Hanafi seorang dokter, kenapa belum juga membeli mobil. Padahal terkadang jam kerjanya suka tidak menentu. Apa mungkin suaminya itu memang belum punya uang karena masih memiliki tanggungan Harun dan Annisa? Arini hanya menerka-nerka dalam hati.
Arini kembali ke dapur untuk mengambil baskom kecil.
“Buat apa, Nak?” Etek Halimah bertanya.
“Uda panas sekali, Tek. Sepertinya demam.”
“Demam? Kemarin sepertinya baik-baik saja.” Etek Halimah merasa heran.
“Iya, Tek. Mungkin karena kelelahan, beberapa hari ini sepertinya Uda sangat sibuk. Kadang pulang sampai malam.”
Oh, iya. Apa masih pakai pakaian kerja?”
“Sepertinya masih, Tek.”
“Kamu buka kemejanya, ganti dengan baju kaos tipis, baru dikompres, ya.” Etek Halimah berpesan pada Arini.
“Ya, Tek.” Arini mengangguk ragu. Lalu setelah mengisi baskom dengan air, Arini bergegas kembali ke kamar Hanafi.
Arini mengambil handuk kecil berwarna putih dari dalam lemari. Membasahinya dengan air lalu memerasnya. Pelan Arini meletakkan handuk kecil itu di kening Hanafi. Hanafi bergerak dan mengangkat selimutnya sampai ke leher.
“Uda, kita ganti dulu kemejanya, ya.” Arini memberanikan diri mendekati Hanafi. Hanafi terlihat mengangguk. Arini membuka selimut yang menutupi seluruh tubuh Hanafi. Dengan tangan gemetar, Arini mulai membuka kancing atas kemeja Hanafi. Jarak mereka menjadi sangat dekat. Ada desiran halus yang memenuhi rongga dada Arini. Sementara Hanafi masih memejamkan matanya.
Akhirnya meski dengan napas yang terasa sesak karena desiran halus itu semakin banyak memenuhi ruang dadanya, Arini bisa juga melepaskan kemeja Hanafi. Terlihat kemeja berwarna abu-abu muda itu telah basah oleh keringat. Tinggal singlet yang masih melekat lembab di tubuh Hanafi. Arini meneguk ludahnya membayangkan akan melepaskan juga pakaian dalam laki-laki ini.
Dengan menguatkan hati, meski deburan di dada Arini semakin bertalu kencang, Arini mengangkat singlet Hanafi ke atas. Susah payah akhirnya Arini berhasil meloloskan singlet Hanafi dari tubuh laki-laki itu. Arini mengambil handuk kecil satu lagi, memasukkannya ke dalam baskom yang berisi air hangat, memerasnya lalu melapkan ke tubuh Hanafi. Hanafi merasakan rasa hangat di kulit dan pori-pori tubuhnya. Tapi matanya masih begitu berat untuk dibuka.
Dari perut, dada, tangan, dan leher, Arini membersihkan sisa-sisa keringat Hanafi dengan handuk di tangannya. Setelah merasa cukup, Arini kembali memakaikan baju kaos tipis berwarna putih pada Hanafi. Lalu diselimutinya Hanafi sampai ke dada. Hanafi merasakan tubuhnya menjadi segar dan nyaman.
Sementara Arini beberapa kali harus menarik napas panjang agar pasokan oksigen ke dadanya lebih banyak. Sedikit demi sedikit rasa sesak di dada Arini mulai berkurang. Arini merasa lega, tugas yang cukup berat menurutnya telah berhasil diselesaikannya dengan baik. Bergegas ia balik ke dapur untuk mengganti air hangat di baskom.
Etek Halimah ikut masuk ke kamar bersama Arini dengan membawa soto padang kesukaan Hanafi.
“Da, sarapan dulu, ya.” Arini mengambil kursi dan duduk di samping tempat tidur Hanafi. Hanafi membuka matanya. Terlihat wajah khawatir Arini dan uminya. Hanafi mengangguk lemah. Kepalanya terasa sangat berat. Sementara tubuhnya seperti tidak bertenaga. Arini mendekat dan membantu menegakkan punggung Hanafi. Mau tidak mau mereka kembali seperti tidak berjarak. Untuk kesekian kalinya Arini menahan napas.
Hanafi duduk bersandar di kepala tempat tidur. Etek Halimah duduk di ujung kaki Hanafi. Arini mengambil cangkir teh dan mulai menyendokkan isinya pada Hanafi. Hanafi membuka mulutnya dengan patuh. Hangat air teh melewati mulut, kerongkongan dan sampai ke dadanya. Rasa dingin yang membekukan tubuhnya sedikit demi sedikit mulai berkurang.
Arini meletakkan cangkir teh dan mengambil mangkuk soto. Biasanya Hanafi amat berselera kalau melihat soto padang. Tetapi kali ini sungguh ia tidak ingin makan apa-apa.
“Tuh, enakkan punya istri. Kalau sakit ada yang ngurusin. Membukakan baju, mengelap badan, menyuapkan sarapan.” Etek Halimah berkata agak ketus pada Hanafi. Hanafi melihat pada baju yang dikenakannya. Benar saja, kemejanya semalam telah berganti dengan baju kaos. Sementara wajah Arini langsung merona mendengar ucapan mertuanya.
“Ayo, Da. Sekarang makan soto, ya.” Arini mendekatkan mangkuk soto pada Hanafi. Dengan malas Hanafi membuka mulutnya. Satu sendok berhasil masuk. Dua sendok, tiga sendok, sampai suapan kelima, Hanafi mengangkat tangannya.
“Sudah, rasanya pahit.” Hanafi mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Arini tersenyum. Seorang dokter ternyata seperti anak-anak juga kalau sedang sakit.
“Minum air putihnya.” Arini mengambil gelas berisi air putih dan meminumkannya pada Hanafi. Hanafi meminumnya beberapa teguk.
“Temani aja suamimu di sini. Etek keluar dulu.” Etek Halimah bangkit dan berjalan ke luar kamar. Arini hanya diam tanpa menjawab.
“Ada obat yang mau aku belikan, Da?” Arini merapikan kembali mangkuk dan gelas ke atas nampan.
“Nanti saja agak siangan. Jam segini apotik juga belum buka. Kamu sarapan aja dulu.” Hanafi menjangkau ponselnya. Harusnya hari ini ia masih ke rumah sakit menyelesaikan persiapan Sunday Clinic yang akan dibuka minggu depan. Tetapi, Hanafi benar-benar tidak kuat. Hanafi mengirimkan pesan di grup dokter untuk meminta izin.
“Nggak apa-apa Uda Arini tinggal sarapan?”
“Nggak apa-apa. Tapi nanti habis sarapan bisa tolong pijitin kepala Uda? Berat sekali rasanya.”
“Ya, Da. Nanti Arini pijitin, ya.” Arini mengangguk dan bangkit dari kursinya, lalu berjalan ke luar kamar. Hanafi menatap punggung Arini yang akhirnya menghilang di balik pintu. Hanafi menarik napas panjang. Akhir-akhir ini Hanafi tidak hanya lelah secara fisik, tetapi juga lelah secara batin.
Hubungannya dengan Bella semakin tidak jelas muaranya. Hanafi mulai merasa ragu dengan kesepakatannya dengan Bella. Sebab untuk meninggalkan Arini sepertinya bukan hal yang mudah mengingat ucapan uminya yang tidak ridho jika Hanafi sampai menyakiti Arini. Dan seburuk-buruk dirinya, Hanafi masih tidak mau menjadi anak durhaka.
Apalagi perhatian dan kebaikan Arini yang diterimanya setiap hari tidak bisa dipungkiri telah menjadi kebutuhan juga bagi Hanafi. Ada rasa bahagia yang pelan-pelan mulai dirasakannya atas semua perlakuan dan pelayanan Arini padanya. Kesabaran dan ketulusan perempuan itu mulai menggoyahkan hati Hanafi. Kalau boleh membandingkan, Arini tentu memiliki nilai lebih dari Bella. Terutama dari segi agama dan sikapnya terhadap suami.
Hanafi sadar, jika Bella yang menjadi istrinya, Bella tentu tidak akan memperlakukannya seperti Arini memperlakukannya. Karena Bella adalah seorang wanita yang memiliki prinsip bahwa laki-laki dan perempuan itu sama. Bella seperti kebanyakan wanita pintar dan berpendidikan tinggi masa kini, sangat menghormati persamaan gender. Tetapi, toh ia yang telah memberikan janji pada Bella.
Arini masuk lagi dengan membawa semangkuk buah. Melon, semangka, dan papaya yang telah dipotong-potong dadu. Hanafi memperhatikan langkah Arini yang datang mendekat. Memakai baju berwarna orange muda selutut dengan lengan pendek yang menampakkan kulit putih mulusnya. Rambutnya tergerai indah sampai ke punggung. Sebagai perempuan, Arini terlihat amat sempurna. Seorang gadis yang baru saja merekah. Hanafi meneguk ludahnya. Ada yang terasa bergejolak di dalam dirinya melihat penampilan Arini pagi ini.
Ah, kemana saja ia selama beberapa bulan ini? Kenapa ia tidak pernah mencoba menikmati pemandangan indah yang selalu terpampangsetiap hari di depan matanya?
“Jadi dipijit, Da?" Arini duduk di sebelah Hanafi. Hanafi hanya mampu mengangguk. Suaranya serasa tersangkut di tenggorokan.
“Uda berbaring lagi, ya.” Hanafi lagi-lagi hanya mengangguk, lalu segera menurunkan kembali tubuhnya. Tetapi Hanafi menggeser badannya agak ke tengah.
“Kamu duduk di sini aja.” Hanafi menepuk kasur di samping bantalnya. Arini terpaku. Tetapi, Arini cepat-cepat membuang harapan yang tiba-tiba bersemi di hatinya. Laki-laki ini sedang butuh pijatan, bukan butuh dirinya.
Arini mengikuti ucapan Hanafi. Pelan Arini naik ke atas kasur dan duduk bersimpuh menghadap pada Hanafi. Arini mulai memegang kepala Hanafi. Dan debaran di dada Arini kembali mengiringi setiap gerakan tangannya di kepala Hanafi. Hanafi memejamkan mata menikmati pijatan lembut Arini di kepalanya.
“Pijatanmu enak.” Hanafi membuka matanya dan menatap Arini dengan lembut. Hati Arini berdesir menerima tatapan Hanafi. Ya, Tuhan, tolong jaga hati ini, ya, Tuhan. Arini memohon dalam hati. Arini mencoba tersenyum, tetapi yang ada wajahnya malah merona karena merasa malu dengan desiran di hatinya yang tidak juga mau pergi. Beberapa detik Hanafi terpana melihat wajah merona istrinya itu. Cantik dan menggemaskan. Duh, Tuhan, jarak mereka begitu dekat. Nyaman sekali rasanya. Hanafi kembali memejamkan matanya.
Lalu mereka kembali diam menikmati desiran-desiran halus yang sama-sama mulai memenuhi rongga dada.
“Capek?” Hanafi kembali membuka matanya dan menatap Arini seperti tadi. Arini menggeleng tanpa melepaskan tangannya dari kepala Hanafi. Hanafi mengambil tangan Arini dan menggenggamnya dengan erat.
“Makasih, ya.” Hanafi berkata dengan tulus. Lagi-lagi Arini mengangguk. Duh, hati, jangan begini amat. Arini merutuk dalam diam.
Terdengar ketukan di pintu bersamaan dengan pintu yang langsung terbuka. Hanafi dan Arini sama-sama kaget dan menatap ke pintu yang terbuka. Di sana berdiri Bella, dokter Adrian dan Etek Halimah. Mata Bella dan dokter Adrian terpaku melihat pemandangan di depan mereka. Arini menarik tangannya dari genggaman tangan Hanafi. Lalu perempuan itu bergegas turun dan berlari ke kamarnya.
Arini langsung menyambar gamis dan jilbab instan panjangnya. Sementara Bella dan dokter Adrian telah masuk mendekati ranjang Hanafi. Etek Halimah ikutan masuk mengantar kedua orang tamunya. Meski Etek Halimah tidak suka dengan kehadiran Bella, tetapi Etek Halimah sekarang mulai paham, bagaimanapun kita diajarkan untuk menghormati tamu. Apalagi Bella datang dengan dokter Adrian. Mertua Arini itu berharap, Bella dan Adrian kelak bisa berjodoh agar Arini dan Hanafi tidak terusik lagi.
Bella tiba-tiba merasakan dadanya perih. Ternyata Hanafi sudah sangat dekat dengan Arini. Benar apa yang dikhawatirkannya selama ini. Hanafi tidak akan kuat menjaga hati dan juga raganya. Mereka bertemu setiap hari, siapa yang bisa menjamin mereka tidak akan saling menyukai, tidak akan saling menyentuh.
Bella mencoba menguatkan hatinya. Ia tidak ingin terlihat memalukan di hadapan hanafi, Adrian, apalagi Arini.
“Bisa sakit juga, Pak Dokter?” Adrian mencoba mencairkan suasana meski hatinya juga sedang tidak baik. Adrian tahu, ia salah telah menyukai perempuan yang telah bersuami.
“Hai, tahu dari mana aku sakit?” Hanafi merasa seperti orang bodoh karena tertangkap basah sedang menggenggam tangan Arini.
“Waduh, Pak Dokter, habis nulis di grup WA udah langsung pikun aja.” Adrian terkekeh. Hanafi menepuk keningnya. Sementara Bella hanya diam seribu bahasa. Lidah perempuan itu terasa kelu untuk bicara.
“Silakan periksa Hanafi, ya. Etek pamit dulu ke belakang.” Etek Halimah akhirnya pamit.
“Ya, Tek. Makasih.” Bella dan Adrian menjawab bersamaan.
Arini ke luar dari kamarnya. Gamis kuning dan jilbab dongker. Perpaduan warna yang amat cantik. Arini terlihat amat anggun. Adrian untuk kesekian kalinya terpana menyaksikan kecantikan Arini. Begitu juga Hanafi. Dua pasang mata itu menatap Arini dengan lekat. Lagi-lagi Bella merasakan dadanya panas. Duh, Tuhan, apa yang harus dilakukannya?
Bersambung ….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar