CERBUNG: BIAS RINDU - EPISODE 7

Sabtu, 13 Juni 2020

BIAS RINDU - EPISODE 7

Judul: “Bias Rindu”
Penulis: Naya R
Terima kasih admin/moderator telah menyetujui tulisan ini.
“Siapa tadi?”Umi menatap Hanafi tajam. Hanafi menunduk tak berani membalas tatapan uminya yang penuh amarah.
“Bella, Mi.” Suara Hanafi lirih nyaris tak terdengar.
“Bella? Jadi kamu masih berhubungan dengan gadis itu?” Suara Umi meninggi.
“Mi, dia datang hanya untuk menyampaikan ucapan duka cita.” Hanafi mencoba mengangkat wajahnya dan menatap uminya dengan tatapan menghiba.
“Tidak kamu pikirkan perasaan istrimu? Dia baru kehilangan ayahnya, jangan kamu tambah lagi luka hatinya.” Umi berkata dengan nada tajam.
“Iya, Mi. Hanafi minta maaf.” Hanafi kembali menunduk. dari kecil ia memang tidak berani menentang uminya.
“Kamu dengar, ya, Umi tidak ridho jika kamu mengkhianati istrimu hanya karena perempuan tadi.” Suara Umi hampir berteriak, lalu sedetik kemudian wanita itu tergugu dalam tangisan. Tubuh Hanafi bergetar mendengar ucapan wanita mulia di hadapannya. Beberapa detik kemudian umi berbalik meninggalkan Hanafi yang berdiri terpaku di ruang tamu.
Wanita paruh baya itu lalu mendudukkan tubuhnya di kursi jati di ruang keluarga. Annisa yang mendengar suara tinggi uminya ke luar dari kamar dan mendapati sang umi tengah duduk terisak di samping kamar tamu. Annisa ikut duduk di samping uminya. Tidak lama, Arini juga ke luar dari kamarnya. Arini ikutan duduk di sebelah eteknya yang sedang menangis.
“Kenapa, Tek?” Arini menyentuh lembut tangan Etek Halimah. Etek Halimah mengambil tangan Arini dan menggenggamnya erat.
“Maafkan Etek, maafkan Etek yang tidak bisa mendidik Hanafi dengan baik.” Mata tua Etek Halimah terlihat basah. Arini terenyuh.
“Etek, Etek jangan bicara seperti itu. Etek tidak salah, Uda Hanafi juga tidak salah. Uda Hanafi hanya sedang mencoba menyesuaikan diri. Uda Hanafi pasti butuh waktu untuk bisa menerima semua ini. Etek jangan terlalu risau.” Arini memeluk pundak Etek Halimah yang sekarang adalah mertuanya.
Mendengar kata-kata Arini, Etek Halimah makin bertambah terluka. Gadis ini begitu baik, tidak pantas Hanafi memperlakukannya seperti itu. Atau barangkali sebenarnya Hanafi memang tidak pantas untuknya.
“Etek istirahat, ya. Dari kemarin Etek sibuk, jangan sampai Etek ikutan sakit karena kurang istirahat. Annisa, bawa Umi ke kamar, ya.” Arini menoleh pada Annisa.
“Ya, Ni.” Annisa mengangguk.
“Kamu juga istirahat, ya.” Etek Halimah berpesan pada Arini sebelum bangkit dan masuk ke kamar tamu.
“Ya, Tek.” Arini ikut bangkit dan berjalan menuju dapur. Ia berniat mengambilkan minuman untuk Fitri. Etek Pia terlihat sedang menjemur pakaian di halaman belakang.
Melewati ruang makan, langkah Arini terhenti. Hanafi terlihat duduk terpekur di kursi meja makan. Arini datang menghampiri.
“Uda mau makan? Dari pagi belum makan apa-apa, kan?” Arini membuka tudung saji. Di dalamnya ada rendang dan gulai nangka. Hanafi ingin menjawab tidak, tetapi Arini terlihat telah mengambil piring dan menyendokkan nasi ke piring.
“Sudah, segitu aja.” Akhirnya Hanafi bersuara juga. Arini menghentikan gerakannya dan meletakkan piring yang telah berisi nasi di depan Hanafi. Diambilkannya mangkuk cuci tangan, diisinya gelas dengan air putih dan diletakkannya di depan Hanafi. Hanafi hanya diam memperhatikan gerak gerik Arini. Setelah merasa lengkap, Arini mempersilakan Hanafi.
"Silakan, Da.”
“Kamu nggak makan?” Hanafi mencuci tangannya dan bersiap untuk makan. Padahal sebenarnya ia tidak berselera sama sekali.
“Nanti aja, Da. Mau ajak Fitri sekalian.” Arini berjalan menuju dapur untuk membuatkan teh buat Fitri. Sebenarnya Arini ingin duduk di samping Hanafi, menemani laki-laki itu makan. Tetapi, Arini belum melihat tatapan persahabatan di mata Hanafi.
Namun untuk meninggalkan Hanafi makan sendiri, Arini juga merasa tidak enak. Akhirnya Arini pura-pura sibuk di dapur seraya menunggu Hanafi selesai makan. Tidak butuh waktu lama, terlihat Hanafi telah mencuci tangannya. Nasinya memang sangat sedikit tadi. Arini segera mendekat, diberikannya serbet pada Hanafi. Lalu segera dibersihkannya kembali meja makan.
Dalam diam, Hanafi memperhatikan semua gerak-gerik Arini. Andai saja kita menikah karena cinta, tentu akan sangat bahagia menerima semua perlakuan seperti ini, Hanafi membatin dalam hati.
“Uda mau istirahat di kamar? Aku dengan Fitri ngobrol di kamar Ayah aja.” Arini menutup kembali tudung saji.
“Aku mau pulang ke rumah gadang sebentar. Ada yang mau diambil.” Hanafi bangkit dan berjalan menuju ruang depan. Arini menatap punggung Hanafi dan tersenyum sedih. Kita lihat, sampai kapan kita sama-sama bisa bertahan, Arini bergumam dalam hati. Lalu Arini segera menuju kamar ayahnya dan membawa cangkir berisi teh hangat untuk Fitri.
*****
Fitri menatap Arini dengan tatapan terenyuh. Ternyata begitu rumit jalan hidup yang harus dilewati oleh sahabatnya ini.
“Kelak kalau aku sudah tidak sanggup lagi bagaimana, Fit?” Arini menatap Fitri dengan tatapan luruh.
“Kamu perempuan yang kuat. InsyaAllah kamu pasti sanggup.” Fitri menepuk punggung tangan Arini dengan lembut.
“Kenapa Tuhan mengujiku dengan cara seperti ini, ya, Fit?” suara Arini terdengar putus asa.
“Hei, nggak boleh bicara seperti itu. Orang-orang pilihan, ujiannya juga pilihan. Kamu tau Asiyah kan? Wanita mulia yang telah dijamin Allah masuk surga. Ia tetap sabar dan iklas menerima ujian, mendapatkan suami yang ingkar kepada Allah, bahkan mengaku sebagai Tuhan dan memerintahkan semua orang untuk menyembahnya. Tetapi apa, Asiyah tidak pernah mengeluh. Keiklasan dan kesabarannya menyebabkan Allah mengangkat derajatnya. Kamu pasti juga tahu dengan kisah Maryam, Siti Hajjar, atau istri nabi Ayub. Mereka mendapatkan ujian yang tidak ringan, tetapi mereka tetap tabah, sabar dan iklas.“ Fitri berhenti sejenak sebelum melanjutkan ucapannya.
“Dan suamimu, Uda Hanafi, tentu masih dalam batas-batas kewajaran. Mungkin dia perlu waktu untuk menerima semua ini. Tugasmu adalah iklas dan bersabar. Pelan-pelan nanti kamu kasih dia pengertian, bahwa setelah menikah, laki-laki dan perempuan memiliki batasan-batasan dalam pergaulannya. Selain itu yang terpenting adalah doa. Jangan putus asa, selalulah berdoa agar Allah menuntunnya untuk menjadi laki-laki baik dan bertanggung jawab.” Fitri menatap wajah cantik Arini yang terlihat sedang mencerna ucapannya.
“Mungkin ini berat. Barangkali aku juga hanya pandai bicara bijak. Tetapi, yakinlah, apa yang diberikan Allah kepada kita, berarti itulah yang terbaik untuk kita. Di luar sana, masih banyak perempuan-perempuan yang lebih hebat lagi ujian dan penderitaannya dibanding yang kamu alami. Ada yang mengalami KDRT, ada yang suaminya tukang mabuk, penjudi, bahkan ada juga yang tega menjual istrinya sendiri. Apa yang kamu alami, meski berat, tapi belum seberapa dibanding yang sebagian wanita lain alami.” Fitri tersenyum seraya menepuk lembut pundak Arini. Arini mencoba ikut tersenyum.
“Baiklah, aku akan mencoba menjalaninya dengan sabar dan iklas. Semoga suatu saat ada keajaiban. Allah menghadirkan cinta di hati kami berdua.” Arini mencoba meyakinkan dirinya kalau ia akan kuat. Meski dalam hati masih ada keraguan.
“Nah, gitu dong. Jadilah istri yang sholeha. Perlakukan Uda Dokter dengan baik, urus semua keperluannya, layani dia dengan penuh kasih. Tugasmu hanya melaksanakan semua yang menjadi bagianmu, yakni kewajiban sebagai seorang istri. Sementara bagian dia adalah melaksanakan apa yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang suami. Semua itu akan dipertanggung jawabkannya kelak di hadapan Allah.” Fitri menutup nasihatnya dengan dengan senyum bijak.
“Sepertinya kamu sangat berpengalaman ya, Fit.” Arini mencoba tertawa.
“Aku tuh, teorinya udah mateng. Praktiknya aja yang belum kesampaian. Belum ada yang ngajak taaruf.” Fitri tertawa di ujung ucapannya.
“Nanti pada waktu yang tepat, jodoh itu pasti akan datang, Fit.” Arini tersenyum sayang pada Fitri. Sahabat dunia akhiratnya. Sahabat surge kalau kata Fitri.
“Ya, doakan ya. Semoga aku secepatnya nyusul kamu.”
“Ayo, kita makan. Itu tehnya dari tadi belum diminum.”
“Oh, iya. Makasih, ya. Kamu pake repot segala Rin. Lagi kemalangan juga.”
“Tamu tetap harus dihormati, Fit.”
“Ayo, temani aku makan.” Arini bangkit diikuti oleh Fitri. Mereka berjalan beriringan menuju ruang makan.
****
Satu minggu telah berlalu. Tenda di halaman rumah telah dibuka. Etek Halimah dan Annisa masih dilarang Arini untuk pulang. Arini meminta Etek Halimah dan Annisa untuk tetap tinggal di rumahnya. Karena Arini merasa kesepian sejak tidak ada ayahnya. Harun telah kembali ke Padang.
Arini baru selesai mandi. Rambut basahnya masih terbungkus handuk basah. Memakai baju rumah setelan celana panjang dan blus lengan pendek berwarna hijau muda, Arini terlihat amat segar. Arini berdiri di depan kaca lemari pakaiannya. Pelan dibukanya bungkus kepalanya dan mengeringkan rambutnya dengan handuk tersebut. Terdengar pintu digeser, Arini mendongak. Matanya menangkap sosok Hanafi yang telah rapi dengan pakaian olahraganya.
Hanafi mendekat dan berdiri di samping meja rias Arini.
“Ini belanja bulanan untuk bulan ini.” Hanafi meletakkan amplop putih panjang yang cukup tebal di meja rias. Wajah Arini sedikit memanas. Ini nafkah pertama yang diterimanya dari sang suami. Tak ayal ada gelenyar-gelenyar lembut di hatinya.
“Ya, Da. Makasih, ya.” Arini tersenyum pada Hanafi. Namun tak ada balasan. Wajah tampan itu masih terlihat datar. Tidak apa, kan harus sabar dan iklas, Arini lalu tersenyum pada dirinya sendiri.
“Gunakan untuk keperluan dapur dan juga keperluan pribadi kamu.” Hanafi berkata sebelum berjalan menuju pintu kamar.
“Da, nanti aku mau jalan sama Annisa.”
“Ya.”
“Aku mau ke toko dan penggilingan padi. Setelah itu ke kandang sapi ayah yang di Mandiangin.”
“Ya.”
Lalu Hanafi keluar dari kamar dan hilang di balik pintu. Ya Tuhan. Arini mengusap dadanya. Sabar… sabar… Arini berucap dalam hati.
Arini membuka baju tidurnya dan memilih gamis dari lemari pakaiannya. Gamis berwarna hijau pupus dan hijab berwarna coklat muda. Arini meletakkan gamis dan hijabnya di atas kasur, lalu dibukanya handuk yang membungkus kepalanya. Rambut setengah basahnya tergerai indah. Hari ini, Arini mulai mengurus usaha-usaha ayahnya. Arini akan mengajak Annisa karena kebetulan Annisa masih libur sekolah.
Hanafi berbalik menuju kamarnya, ponselnya tertinggal di atas meja belajar Arini. Hanafi memutar gagang pintu dan tubuhnya membeku melihat pemandangan di depannya.
“Uda!” Arini menjerit seraya mengambil handuk dan melilitkan ke tubuhnya yang hanya mengenakan celana dalan dan bra.
“Maaf.” Hanafi menjadi gugup dan kembali menutup pintu kamar. Tiba-tiba dadanya menjadi sesak. Ia seorang dokter, sebenarnya melihat hal-hal seperti itu bukanlah sesuatu hal yang baru untuknya. Ketika koas dulu, berbagai macam kondisi pasien pernah dilihatnya. Tetapi, kenapa melihat tubuh indah Arini yang hanya memakai CD dan BH berwarna hijau pupus itu membuat detak jantungnya berpacu begitu kencang?
Hanafi bergegas kembali ke pintu depan. Tanpa menghiraukan lagi ponselnya yang tertinggal, laki-laki itu mulai berlari kecil menuju jalan raya yang tidak terlalu jauh dari rumah Arini. Mungkin dengan berlari-lari kecil, detak jantungnya bisa disesuaikan dengan kondisi tubuhnya saat ini.
Sementara Arini merasa wajahnya telah merah seperti kepiting rebus. Buru-buru perempuan dengan mata indah itu memakai gamisnya. Setelah itu, Arini duduk di meja risnya. Beberapa saat Arini menenangkan debaran di dadanya. Arini mencoba mengatur napasnya agar kembali normal seperti sedia kala. Untuk pertama kalinya tubuh mulusnya terekspos di hadapan seorang laki-laki. Alhamdulillah laki-laki itu suaminya sendiri, Arini membatin dalam hati.
Arini menjangkau amplop yang diberikan oleh Hanafi. Pelan dibukanya amplop yang terasa cukup berat itu. Mata Arini membulat, isi amplopnya sangat banyak menurut Arini. Arini mengambilnya beberapa lembar, lalu bergegas ke luar kamar. Arini menuju kamar tamu di mana Etek Halimah dan Annisa tidur.
“Tek.” Arini mengetuk pintu beberapa kali. Pintu di depannya terbuka. Annisa berdiri di hadapannya.
“Umi kenapa?” Arini bertanya pada Annisa begitu melihat Etek Halimah masih berbaring di atas kasur.
“Umi kurang sehat, Ni. Tadi habis sholat subuh tidur lagi.” Annisa beranjak menuju tempat tidur. Arini mengikuti dari belakang. Etek Halimah membuka matanya. Perempuan lembut itu tersenyum begitu melihat Arini.
“Apa yang terasa, Tek?” Arini mendekat dan duduk di pinggir tempat tidur.
“Hanya lelah aja, Nak. Nanti setelah istirahat sebentar, insyaAllah baik lagi.”
“Kita ke klinik ya, Tek?” Arini memegang tangan mertuanya.
“Tidak perlu, Nak. Nanti kalau makin lemah, Hanafi bisa periksa Etek.”
“Etek sudah sarapan?”
“Belum, Nak. Etek nggak selera makan.”
“Etek mau apa? Biar Arini suruh Udin mencarikan sarapan untuk Etek.”
“Nggak usah, Nak. Tadi Etek Pia sudah masak nasi goreng. Itu saja nanti.”
“Dek, ambilkan sarapan Umi, ya. Biar Umi sarapan di kamar aja.” Arini berkata pada Annisa.
“Ya, Ni.” Annisa bergegas bangkit dan ke luar kamar.
“Tek, ini ada uang belanja untuk Etek. Etek pakailah untuk biaya Harun dan Annisa. Untuk belanja dapur, biar nanti Arini yang kasih langsung sama Etek Pia.” Arini menyerahkan amplop dari Hanafi pada mertuanya.
“Tidak usah, Nak. Kamu pegang saja. Jangan sampai Etek dan Adik-adik memberatkanmu.” Etek Halimah menolak amplop yang disodorkan oleh Arini.
“Etek, sekarang Arini telah menjadi anak Etek. Apapun keperluan Etek telah menjadi tanggung jawab Arini dan Uda Hanafi. Etek jangan merasa sungkan seperti itu. Ini Arini letakkan di sini, ya, Tek. Arini buatkan susu, untuk Etek.” Arini bangkit setelah meletakkan amplop di samping bantal Etek Halimah. Mata Etek Halimah berkaca-kaca.
“Terima kasih, Nak.” Lirih suara Etek Halimah terdengar sebelum Arini ke luar kamar. Arini tersenyum. Selalu saja hatinya penuh oleh rasa bahagia setelah selesai berbagi kepada orang-orang terdekatnya ataupu orang-orang yang membutuhkan.
Annisa terlihat menuju kamar membawa piring nasi goreng. Arini menuju dapur dan membuatkan susu untuk mertuanya. Etek Pia dan Udin terlihat sedang memberik makan ayam-ayam di halaman belakang. Arini tersenyum sedih. Biasanya sang ayahlah yang melakukan hal itu. Memberi makan kucing dan ayam. Semua tinggal kenangan.
Selesai membuatkan susu, Arini kembali ke kamar tamu. Di kamar, terlihat Etek Halimah telah duduk bersandar di kepala tempat tidur. Annisa menyuapkan uminya nasi goreng. Arini meletakkan susu di nakas.
“Tek, nanti Arini mau ajak Annisa ke toko dan ke heler. Etek nggak apa-apa tinggal sendiri?”
“Pergilah, Nak. InsyaAllah Etek nggak apa-apa. Kan ada Etek Pia juga di rumah.” Etek Halimah menjawab lemah seraya tersenyum.
“Ya, Tek. InsyaAllah zuhur kami sudah sampai lagi di rumah. Kalau ada apa-apa, Etek panggil Etek Pia ya.”
“Ya, Nak. Nggak usah risau. Etek baik-baik aja. Biasanya kalau terlalu lelah, Etek memang seperti ini. Tapi nanti setelah istirahat akan pulih dan fit lagi.”
“Dek, Uni tunggu di kamar Uni. Kalau sudah selesai kita berangkat, ya.”
“Ya, Ni. Selesai menyuapkan Umi, Annisa langsung ganti pakaian.”
*****
Arini mengunjungi toko bahan bangunan ayahnya. Toko yang berada di jalan lintas Bukit Tinggi – Payakumbuh itu diurus dan dikelola oleh Pak Uwo Syafril. Selama ini, ayah Arini hanya mengontrol saja dari rumah. Sekali seminggu almarhum Datuak Sutan Bandaro datang ke toko untuk melihat stok barang dan memeriksa keuangan.
Arini bicara cukup lama dengan Pak Uwo Syafril. Gadis itu menyampaikan pemikiran-pemikiran dan ide-idenya untuk kemajuan dan keberlangsungan usaha toko bahan bangunan mereka. Arini tetap minta laporan penjualan setiap minggu seperti yang biasa dilakukan ayahnya. Sekian persen tetap disisihkan untuk masjid, anak yatim, dan kaum duafa. Arini memberikan kepercayaan sepenuhnya pada laki-laki yang masih memiliki hubungan saudara dengan ibunya itu.
Dari toko bahan bangunan, Arini menuju heler penggilingan padi yang terletak di jalan menuju gelanggang pacuan kuda Ambacang, Bukit Tinggi. Arini kembali menyampaikan ide-ide, cara kerja serta hak dan kewajiban pada Uda Jafar selaku pengelola heler tersebut. Uda Jafar berjanji pada Arini akan mengelola heler dengan baik. Karena menurut laki-laki yang masih saudara jauh ayahnya itu, heler ini merupakan sumber kehidupannya sekeluarga.
Setelah itu, Arini dan Annisa melanjutkan perjalanan ke Mandiangin. Arini menemui Pak Etek Munin. Pak Etek Munin yang mengurus sapi dan kerbau milik Datuak Sutan Bandaro. Seperti halnya dengan Pak Uwo Syafril dan Uda Jafar, Arini juga berbincang-bincang tentang perkembangan hewan ternak milik mereka. Arini mendengarkan semua keterangan Pak Etek Munin dengan seksama. Lalu perempuan dengan gamis berwarna hijau pupus itu meminta Pak Etek Munin untuk menghubunginya jika memerlukan sesuatu menyangkut hewan ternak yang diurus laki-laki setengah baya itu.
Dari Mandiangin, Arini mengajak Annisa ke pasar atas untuk makan siang. Mereka memilih makan di nasi kapau. Nasi dengan masakan khas Bukit Tinggi. Nasi yang panas mengepul dengan gulai kapau, ditambah dengan berbagai macam lauk. Menu yang selalu membangkitkan selera. Arini dan Annisa terlihat makan dengan lahap. Sudah hampir dua minggu, sejak ayahnya sakit, Arini makan tanpa selera. Hari ini, Alhamdulillah, ia bisa kembali menikmati rasa nikmatnya nasi padang.
“Kita main di jam gadang, yuk, Dek.”
“Ayok, Uni. Annisa udah lama nggak main ke jam gadang.”
Mereka pun berjalan menuju jam gadang. Tetapi sampai di bawah jam gadang, matahari terasa cukup terik. Akhirnya Arini mengajak Annisa ke pusat perbelanjaan di pasar atas. Arini menggandeng tangan Annisa masuk ke toko sepatu.
“Dek, kamu pilih-pilih sepatu sekolah, ya. Kalau ada yang suka, kamu ambil.”
“Uni, nggak usah. Sepatu tahun lalu masih bagus, Ni.”
“Nggak apa-apa, Dek. Uni lagi ada rezeki. Sesekali Uni berbagi sama kamu.” Arini meyakinkan Annisa. Akhirnya, meski merasa tidak enak, Annisa pun memilih-milih sepatu sekolah yang berjejer rapi di depannya.
“Ini aja, Uni.” Annisa memperlihatkan sebuah sepatu kets berwarna hitam pada Arini.
“Coba cocokin dulu di kaki kamu.”
“Udah, Uni. Nomor 38.”
“Oke. Uni minta dulu, ya, sama pelayannya.” Arini berjalan menuju pelayan yang sedang melayani pembeli yang lain. Arini meminta nomor 38 untuk model yang dipegangnya. Pelayan bergegas mencarikan sepatu pilihan Annisa. Tidak menunggu lama, pelayan ke luar lagi membawa sepatu yang diminta Arini. Arini segera menuju kasir untuk membayarnya. Mata Annisa berbinar penuh rasa bahagia. Seumur-umur baru kali ini gadis dengan hidung mancung itu memiliki sepatu sebagus ini.
“Uni, makasih, ya.” Annisa berkata dengan mata berkaca-kaca.
“Iya, sama-sama. Sekarang kita cari tas sekolah buat kamu, ya.” Arini kembali menarik tangan Annisa menuju toko yang lain. Begitu melihat toko tas, Arini menarik tangan Annisa untuk masuk.
“Uni, nggak usah. Cukup sepatu aja, Ni. Tas Annisa masih bagus, Ni.”
“Sudahlah, kamu pilih aja satu, untuk ganti-ganti tas yang lama.”
“Ni, nanti Umi sama Uda Hanafi marah.”
“Nggak bakal. Uni yang tanggung jawab.” Arini tersenyum lembut pada Annisa. Arini bahagia, hari ini ia serasa memiliki saudara. Serasa memiliki adik perempuan. Annisa pun merasakan hal yang sama, gadis cantik itu serasa memiliki kakak perempuan juga. Dengan dua kakak laki-lakinya, tentu saja Annisa tidak pernah melakukan hal-hal seperti ini. Akhirnya dengan berat hati, Annisa kembali memilih tas sekolah yang berjejer di depannya.
Setelah membelikan Annisa sepatu dan tas, Arini menuju toko kue. Perempuan itu memilih berbagai macam kue kering dan basah.
“Buat siapa, Ni?” Annisa bertanya heran melihat Arini membeli kue cukup banyak.
“Buat Umi. Kasihan Umi nggak selera makan.”
“Oh.” Annisa mengangguk seperti orang bodoh.
Menenteng beberapa kantong belanjaan, mereka berdua berjalan menuju mobil Arini yang diparkir di seberang jam gadang. Semilir angin yang berhembus dari sela-sela dedaunan pohon-pohon besar di tempat mereka parkir, terasa sejuk menyentuh kulit wajah. Arini masuk ke mobil diikuti oleh Annisa. Lalu mereka pulang dengan rasa bahagia.
Tidak butuh waktu lama, mereka sampai di rumah. Kening Arini berkerut. Ada sebuah mobil terparkir di depan garasi rumah. Mobil city car berwarna putih. Mobil siapa gerangan? Arini dan Annisa mengambil belanjaan mereka dari kursi belakang. Lalu berdua mereka masuk ke dalam rumah setelah mengucapkan salam. Terdengar jawaban salam dari ruang tamu.
Arini terpaku di depan pintu. Dokter Adrian dan seorang wanita paruh baya. Mau apa dokter ganteng itu datang ke rumahnya. Sementara Hanafi dan Etek Halimah terlihat duduk bersisian di hadapan dokter Adrian.
Bersambung ….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar