CERBUNG: BIAS RINDU - EPISODE 18

Sabtu, 13 Juni 2020

BIAS RINDU - EPISODE 18

#BIAS_RINDU

#EPISODE_18


Arini menjalani hari-hari yang cukup berat. Ia harus menjalani kehamilan tanpa didampingi suami. Tetapi, memasuki trimester kedua, kondisi tubuhnya mulai membaik. Arini tidak lagi merasakan mual dan muntah. Nafsu makannya juga meningkat. Dona dan Sandra menjadi sahabat yang paling banyak membantu Arini. Mereka berdua selalu ada jika Arini membutuhkan bantuan.

Adrian pun begitu. Dokter muda itu selalu datang setiap bulan hanya untuk menemani Arini kontrol ke dokter kandungan. Tetapi, mereka tidak pernah pergi berdua saja. Dona dan Sandra selalu ikut menemani.

Kehadiran Adrian, Dona dan Sandra cukup mengobati nestapa di hati Arini. Namun, jika malam tiba, ketika ia merabahkan tubuhnya di pembaringan, kesedihan itu selalu saja menghampiri. Apalagi sejak janin di dalam perutnya mulai bergerak, sekedar memberi tahu jika ia ada di sana, Arini tidak dapat menahan air matanya. Meski perempuan cantik ini tahu, wanita yang sedang hamil harus menjaga psikologisnya dari perasaan-perasaan yang tidak baik. Seperti kesedihan, emosi yang berlebihan, kecemasan, dan pikiran-pikiran negatif.

Namun, sekuat apapun Arini menahan kesedihannya, sekuat itu juga air mata jatuh membasahi pipinya. Dengan pipi yang basah, Arini mengelus perutnya yang sudah mulai membesar. Lirih ia bercerita pada bayinya tentang ranah Minang, tentang sang kakek yang telah tiada, tentang ayah Hanafi yang belum mengetahui kehadiran calon bayi mereka. Lelah bercerita tentang banyak hal pada si buah hati, Arini akan menghidupkan murotal Muzamil. Dan Arini akan tertidur diringi lantunan ayat-ayat suci Alquran.

Arini baru saja selesai salat tahajud ketika sebuah pesan masuk ke ponselnya. Arini bangkit dari atas sajadah dan menjangkau benda pipih itu dari atas meja belajarnya. SMS dari Etek Pia. Kening Arini berkerut. Ada apa gerangan. Selama ini, hanya Arini lah yang menghubungi Etek Pia. Dengan dada berdebar, Arini membuka pesan dari eteknya itu.

“Etek Halimah masuk ICU. Kondisinya memprihatinkan. Jika memungkinkan, pulanglah, Nak.”

Arini tercekat. Berita yang baru didengarnya benar-benar membuat perempuan berhati lembut ini merasa sesak. Etek Halimah telah dianggapnya sebagai pengganti ibunya. Pesan dari Etek Pia benar-benar membuat Arini cemas.

Pulang? Ya Allah, sudah siap kah ia menjejakkan kaki di kampung halamannya? Sudah siapkah ia bertemu dengan Hanafi? Dalam kondisi seperti ini?

Apa yang akan dipikirkan laki-laki itu nanti jika bertemu dengannya dalam keadaan perut buncit seperti ini? Akankah laki-laki itu percaya bahwa hubungan yang mereka lakukan satu kali itu akhirnya membuahkan hasil? Bagaimana jika Hanafi tidak mempercayainya dan menolak mengakui janin yang ada di perutnya sebagai anak?

Tetapi, mengabaikan begitu saja pesan dari Etek Pia rasanya membuat Arini menjadi seorang anak yang durhaka. Walau bagaimanapun, Etek Halimah adalah mertuanya. Dan mertua yang dipelajarinya dalam kajian-kajian fiqih wanita, sama dengan ibu kandung kita. Amat berdosa rasanya andai ia tidak datang untuk menjenguk. Bagaimana jika ini adalah kesempatan terakhirnya untuk bertemu sang ibu mertua?

Dalam kegalauannya, akhirnya Arini memesan tiket juga melalui aplikasi di ponselnya. Baiklah, ia akan pulang. Apapun yang akan dialaminya nanti di Bukit Tinggi, Arini telah siap.

Setelah salat subuh, Arini mengetuk kamar Dona. Dona membuka pintu kamarnya masih dengan memakai mukena.

“Don, aku mau pulang ke Bukit Tinggi.”

“Pulang? Kenapa? Kenapa begitu mendadak?”

“Mertua aku sakit Dona. Aku ingin melihatnya.”

“Oh, baiklah. Tetapi, apa dalam kondisi hamil seperti ini kamu bisa naik pesawat?”

“Ya ampun, aku lupa, Don. Aku hubungi dokter Sandra bentar, ya.”

Arini berbalik kembali ke kamarnya. Dona mengikuti dari belakang. Sesampai di kamarnya, Arini mengambil ponsel dan segera menelepon dokter Sandra. Hanya satu kali panggilan, dokter cantik itu sudah bicara di ujung telepon. Ada nada khawatir di suaranya. Mungkin Sandra mengira terjadi sesuatu pada Arini karena menelepon di waktu subuh begini.

Setelah Arini menceritakan tentang ibu mertuanya, barulah Sandra menarik napas lega. Sandra mengatakan akan menemani Arini pulang ke Bukit Tinggi. Arini mencoba menolaknya karena tidak ingin merepotkan sahabatnya itu. Tetapi, Sandra tetap bersikeras dan langsung memesan tiket juga dengan jam yang sama dengan Arini. Arini merasa amat terharu dengan kebaikan dan perhatian Sandra. Sandra tidak ingin terjadi sesuatu dengan Arini jika pulang seorang diri.

Dona merasa lega karena Arini pulang ditemani oleh seorang dokter. Tentu sahabatnya ini tidak akan mendapat masalah jika nanti naik ke pesawat, karena didampingi langsung oleh dokter.

**

Arini dan Sandra sampai di Bukit Tinggi sebelum waktu asyar. Dada Arini terasa membuncah begitu menjejakkan kaki ke rumahnya. Etek Pia menyambutnya dengan pelukan hangat. Air mata wanita paruh baya itu mengalir deras melihat kondisi Arini dengan perut buncitnya. Etek Pia membantu Arini dan Sandra memasukkan koper-kopernya ke dalam kamar. Arini ke kamar pinkinya dan Sandra ke kamar tamu.

Meski tidak ada yang menempati kedua kamar itu, Etek Pia selalu rutin membersihkan kamar-kamar itu setiap minggu. Selalu membuka jendela-jendelannya setiap pagi agar udara segar dan cahaya matahari masuk. Arini dan Sandra sepakat untuk beristirahat dulu sebelum pergi ke rumah sakit.

Etek Pia mulai sibuk di dapur. Perempuan yang telah dianggap Arini sebagai ibunya itu, mengambil nangka di halaman belakang. Ia akan masak pangek cubadak (gulai nangka) untuk kedua tamunya. Goreng belut, dadar telur dan sambel teri telah terhidang di meja makan.

Sebelum magrib, Arini dan Sandra ke luar dari kamar. Mereka telah mandi dan berganti pakaian. Etek Pia mempersilakan keduanya untuk makan. Arini tentu tidak menolak. Perutnya telah berbunyi sejak asyar tadi. Cuma karena lelah, ia lebih memilih tidur di kamar.

Melihat hidangan di atas meja makan, Arini meneguk ludah. Semua yang terhidang adalah makanan kesukaannya. Baru saja mereka duduk di kursi meja makan, terdengar ucapan salam dari depan. Arini bangkit kembali dan berjalan menuju pintu depan.

“Uda Dokter?” mata Arini berbinar melihat siapa yang sedang berdiri di hadapannya.

“Assalammualaikum.” Adrian kembali mengucapkan salam.

“Waalaikumsalam. Ayo masuk, Da.” Arini melebarkan daun pintu.

“Makasih.” Adrian mengikuti langkah Arini dari belakang.

“Tau dari mana kalau kami pulang?”

“Dokter Sandra kirim pesan barusan.”

“Oh. Aku kira Uda punya ilmu terawang sekarang.”

“Kamu kelihatan ceria dan bahagia pulang ke rumah.”

“Iya, Da. Udah rindu dengan rumah.” Arini tertawa. Mereka berdua sampai di ruang makan.

“Hai, Uda Dokter, baru aja dikirim pesan, udah langsung nyampai aja.” Sandra berdiri menyambut kedatangan Adrian.

“Iya, kebetulan lagi nggak jauh dari sini.” Adrian tersenyum dengan wajah yang terasa panas.

“Ayo, kita makan sama-sama.” Arini mempersilakan Adrian dan Sandra untuk makan. Sandra dan Adrian duduk di hadapan Arini. Lalu detik berikutnya mereka telah terlihat lahap menyantap hidangan di depan mereka.

Etek Pia datang membawakan pepaya dan semangka yang telah dikupas.

“Nggak makan sekalian Tek?” Arini menahan langkah Etek Pia yang sudah akan berlalu.

“Nanti aja sekalian sama Udin.”

“Udin kok nggak kelihatan, Tek?”

“Lagi mandi kayaknya, tadi habis asyar juga tertidur.”

“Oh.” Arini mengangguk dan melanjutkan makannya kembali. Etek Pia berlalu ke belakang.

“Masakannya enak, ya, Da?” Sandra menoleh pada Adrian.

“Iya, kamu bakalan betah kalau di sini. Karena masakannya benar-benar mengundang selera.”

“Sekalian pindah saja ke sini, Mbak.” Arini berkata dengan penuh semangat pada Sandra.

“Nanti kalau dapat jodoh orang sini, aku pasti pindah ke sini.” Sandra tertawa kecil pada Arini.

“Lha bukannya calon jodoh Mbak memang orang sini?”

“Eh, iya. Tapi sebelum ijab kabul, segala kemungkinan bisa saja terjadi, Arini.” Sandra tergagap karena keceplosan bicara.

“Rugi besar jika Uda Adrian tidak membawa Mbak sampai ke ijab kabul,” Arini mengerling pada Adrian.

Sandra terbatuk mendengar ucapan Arini. Adrian mengulurkan gelas berisi air putih pada gadis cantik itu. Sandra menerimanya dengan dada terenyuh. Meski Sandra tahu jika dokter ganteng itu tidak memiliki perasaan apa-apa padanya, tetapi perhatian-perhatian kecil dari laki-laki itu selalu mampu menghadirkan desiran-desiran halus di dadanya.

Setelah makan, Arini, Adrian dan Sandra duduk di ruang tamu. Adrian akan mengantar mereka ke rumah sakit setelah salat magrib. Membayangkan akan ke rumah sakit menjumapi ibu mertuanya, dada Arini berdebar tak menentu. Kemungkinan  akan bertemu dengan Hanafi tentu sangat besar. Ada rasa cemas, takut, benci, rindu. Semua terasa campur aduk di hati Arini.

Tidak berapa lama azan magrib pun berkumandang. Mereka bangkit bersamaan.

“Aku salat di masjid, ya.” Adrian pamit pada Arini dan Sandra.

“Ya, Da.” Arini dan Sandra menjawab bersamaan. Sementara dari arah belakang terlihat Udin sedang berjalan menuju mereka.

“Udin, apa kabar?” Arini menatap Udin dengan mata yang tiba-tiba terasa kabur.

“Uni, Alhamdulillah. Udin baik, Ni.” Udin mengangguk dan menangkupkan tangannya ke dada karena ia telah mengambil wudu.

“Mau ke masjid? Sekalian sama Uda Adrian, ya.” Arini mengantarkan Udin sampai ke pintu depan.

“Ya, Ni.” Udin mengangguk. Adrian yang mendengar ucapan Arini menghentikan langkahnya dan menunggu Udin di halaman.

Arini dan Sandra pun bergegas masuk kamar untuk berwudu. Setelah itu mereka berdua salat berjamaah di ruang salat. Etek Pia ikutan salat di belakang Arini.

****

Setelah selesai melaksanakan salat magrib, Arini pamit pada Etek Pia untuk ke rumah sakit. Bertiga dengan Adrian dan Sandra, Arini menuju rumah sakit tempat mertuanya dirawat. Sepanjang jalan Arini berusaha menenangkan debaran di dadanya. Namun dalam hati perempuan yang mengenakan baju hamil berwarna marun itu tidak henti berdoa semoga ia tidak bertemu dengan Hanafi malam ini. Rasanya ia belum siap bertjumpa dengan suaminya itu.

Suami? Ah, sebenarnya Arini juga tidak tahu, apakah Hanafi masih suaminya atau tidak. Apakah laki-laki itu telah menceraikannya seperti tantangan Arini sebelum pergi beberapa bulan lalu?

“Kamu tenang saja, beberapa hari ini aku lihat sejak Etek Halimah dirawat, Hanafi selalu pulang setelah magrib. Ia kembali lagi ke rumah sakit menjelang malam. Adiknya yang menungguin uminya pada jam-jam seperti ini.” Adrian mencoba menenangkan Arini yang terlihat amat resah di kursi belakang.

“Eh, iya, Da. Aku nggak apa-apa kok.” Arini mencoba tersenyum. Dalam hati perempuan hamil ini mengucapkan Alhamdulillah, semoga ucapan Adrian benar adanya. Sehingga ia tidak perlu bertemu Hanafi malam ini.

Sementara Sandra tidak melepaskan pandangannya dari Kota Bukit Tinggi yang mereka lewati. Lampu-lampu yang terlihat nun jauh di kaki gunung, menambah keindahan kota ini di malam hari. Dan sebelum mobil berbelok memasuki halaman rumah sakit, mata Sandra bisa menangkap jam gadang yang berdiri kokoh di kejauhan. Benar kata Adrian, sepertinya ia bakalan betah tinggal di kota ini. Apalagi hawanya yang sejuk membuat tubuh terasa nyaman.

Mobil berhenti di parkiran. Adrian ke luar diikuti oleh Sandra. Sementara Arini masih duduk di dalam. Untuk kesekian kali, perempuan yang terlihat makin gemuk itu mengucapkan basmallah. Semua ia lakukan tidak lain hanya untuk menenangkan diri. jujur, sebenarnya ia belum siap kembali ke sini. Terlalu banyak kenangan pahit di rumah sakit ini yang pernah dialaminya.

“Ayo!” tiba-tiba Adrian telah membukakan pintu mobil dan berdiri bersisian dengan Sandra. Arini menarik napas panjang, lalu turun dengan pelan. Sandra bisa melihat wajah Arini yang tidak tenang. Sandra mendekat dan merengkuh pundak perempuan yang telah dianggapnya sebagai adik itu.

“Fokus saja dengan niatmu, yakni ingin melihat ibu mertua kan?” Sandra memeluk pundak Arini. Bertiga mereka jalan beriringan memasuki rumah sakit.

“Ya, Mbak.” Arini mengangguk.

Setelah itu mereka berjalan dalam diam menuju ruang ICU. Arini kembali ingat masa-masa ia menunggui ayahnya di ruangan tempat pasien-pasien kritis itu. Tiba-tiba Arini merasa sedih mengingat laki-laki yang paling berjasa dalam hidupnya itu. Tidak pernah ia sangka jika ayahnya akan pergi di usia yang masih tergolong muda. Tapi begitulah takdir. Tidak ada yang tau kapan ia akan menjemput kita.

Mereka sampai di depan ruangan ICU. Adrian meminta Arini dan Sandra untuk menunggu di luar. Adrian masuk ke dalam dan berbicara dengan perawat yang sedang bertugas. Arini mengedarkan pandangan. Alhamdulillah, perempuan berwajah bening itu menarik napas lega. Tidak terlihat Hanafi, Annisa maupun Harun di ruang tunggu.

“Masuklah, Etek Halimah di bed nomor tiga. Kami tunggu di sini.” Adrian berucap setelah ke luar dari ruang ICU.

“Ya, Da. Makasih, ya.” Arini tersenyum tulus pada Adrian.

“Ya, nanti ajak Etek Halimah bicara. Siapa tahu dia sedang merindukan kehadiranmu.” Adrian berpesan pada Arini.

“Baik, Da.” Arini mengangguk paham, lalu bergegas masuk ke ruangan ICU. Sandra dan Adrian mengambil tempat duduk di ruang tunggu.

Pelan Arini mendekati bed nomor tiga. Perawat yang tadi ditemui oleh Adrian mengantarkan Arini sampai ke ranjang Etek Halimah berbaring.

“Jangan lama-lama, ya, Ni,” si perawat berpesan pada Arini.

“Ya, sepuluh menit saja.” Arini mengangguk pada perawat muda itu. Setelah perawat berlalu, Arini duduk di kursi di samping ranjang sang mertua. Berbagai macam selang terlihat terpasang di tubuh perempuan paruh baya itu. Wajahnya tiba-tiba terlihat lebih tua beberapa tahun. Mata Arini terasa panas.

Diambilnya tangan mertuanya yang tidak terpasang infus. Digenggamnya dengan erat. Lalu dengan lembut Arini mencium tangan yang sudah mulai terlihat keriput itu.

“Etek, maafkan Arini.” Arini terisak. Ia merasa bersalah telah pergi meninggalkan mertuanya yang sangat baik ini. Arini yakin, sakit mertuanya ini tentu ada hubungannya juga dengan kepergiannya.

“Etek, Arini sedang mengandung cucu Etek. Di perut Arini sekarang ada Hanafi kecil. Kelak jika ia lahir, Arini akan membawanya menemui Etek, dan mengatakan kalau Etek adalah Nenek yang harus disayangi dan dicintainya.” Arini berkata di sela isak tangisnya. Perempuan yang pipinya telah basah oleh air mata itu mendekatkan perutnya pada sang mertua. Lalu dieluskannya tangan mertuanya itu ke perutnya.

Janin di perut Arini tiba-tiba bergerak dengan aktif. Arini tersenyum.

“Etek lihat, dia mengenali Neneknya. Ayo bangun, Tek. Katakan pada cucu Etek kalau Etek menanti kehadirannya.”

Kali ini Arini sesugukan. Dilihatnya etek Halimah tidak merespon ucapannya sedikitpun. Dadanya terasa makin sesak. Rasa bersalah lagi-lagi memenuhi ruang dadanya melihat kondisi sang mertua.

Setelah beristigfar beberapa kali, Arini pun menjadi sedikit lebih tenang. Dihapusnya air matanya dengan ujung jilbabnya.

“Etek, cepat sembuh, ya. Arini menyayangi Etek. Arini pamit pulang, ya, Tek,” Arini mencium tangan mertuanya kembali. Setelah merasa cukup mengungkapkan isi hatinya, perempuan itu pun bangkit. Tubuhnya tiba-tiba terasa amat lemah. Ruang ICU buat Arini adalah tempat di mana manusia seperti telah kehilangan harapan. Seperti yang pernah dialami oleh ayahnya beberapa waktu lalu.

“Makasih, ya,” Arini tersenyum dan mengangguk pada perawat di meja piket ruang ICU.

“Ya, Uni,” ketiga perawat yang duduk di sana membalas senyum Arini dengan ramah. Arini membuka pintu dengan tangan gemetar. Ia benar-benar merasa kehilangan tenaga.

Baru saja ia akan melangkah ke luar, tubuhnya tiba-tiba terasa kaku. Di depannya, hanya berjarak beberapa langkah, laki-laki itu tengah berjalan menuju tempat ia berdiri. Dalam hitungan detik mata keduanya bertemu.

Hanafi berdiri tepat di hadapan Arini. Tatapan laki-laki itu memancarkan sesuatu yang membuat dada Arini berdesir hebat. Namun, ketika mata suaminya itu turun ke perut Arini, tiba-tiba tatapan penuh bias kerinduan itu berubah menjadi kilatan luka dan amarah. Arini bergidik melihatnya.

“Siapa Ayahnya?” suara Hanafi terdengar amat dingin dan tajam. Arini terhuyung ke belakang. Ucapan laki-laki di depannya seperti godam yang menghantam dadanya.

“Siapa yang telah melakukannya?” Hanafi hampir berteriak karena merasa putus asa.

Adrian dan Sandra berlari mendekati Arini. Sandra langsung memeluk tubuh Arini yang terlihat limbung.

“Bawa Arini ke mobil.” Adrian berucap tegas pada Sandra. Sandra menuntun Arini yang terlihat amat pucat. Pipi mulusnya telah basah oleh air mata. Sandra sungguh tidak tega melihatnya.

Hanafi ingin mengejar Arini, ingin meminta kejelasan, tetapi Adrian menahan langkahnya.

“Tinggalkan Arini jika kamu merasa dia bukan perempuan baik-baik!” Adrian menatap Hanafi dengan mata berkilat-kilat penuh amarah.

“Jadi kamu yang telah menghamilinya?” Hanafi membalas ucapan Adrian dengan tidak kalah pedasnya. Reflek tangan Adrian melayang dan hinggap di pipi dokter penyakit dalam itu. Hanafi mengangkat tangannya untuk membalas. Tetapi Adrian menahan tangan Hanafi di udara.

“Masihkah kamu pantas disebut seorang suami, sementara dengan istrinya sendiri tidak kenal? Kamu tau, jangankan untuk berbuat maksiat, berjabat tangan saja dengan laki-laki yang bukan maharomnya, istrimu itu tidak pernah bersedia. Aku pastikan, kamu akan menyesal telah menghina perempuan baik-baik seperti Arini.” Adrian berkata dengan penuh amarah. Lalu dihempaskannya tangan Hanafi yang masih berada dalam cengkraman tangannya. Dada Hanafi bergemuruh mendengar semua ucapan Adrian. Apakah ia telah melakukan kesalahan lagi? Apakah itu artinya janin di perut Arini adalah anaknya?

Sebelum berbalik meninggalkan Hanafi, Adrian menuding dada suami Arini itu seraya berkata, “Nanti kamu temui dokter kandungan jika ilmumu belum sampai untuk menghitung umur janin yang ada di perut istrimu. Umur calon bayinya sekarang 25 minggu. Silakan kamu cocokkan dengan masa kamu menyentuhnya, jika memang kamu pernah menyentuh istrimu.” Adrian berkata dengan sinis lalu segera berbalik meninggalkan Hanafi yang hanya berdiri mematung.

Hanafi meninju dinding ruang ICU dengan sekuat tenaga. Laki-laki itu ingin berteriak melepaskan segala sakit yang menghantam dadanya. Semua begitu tiba-tiba. Semua begitu mendadak. Ia tidak pernah menyangka istrinya akan pulang. Ia tidak pernah mengira mereka akan bertemu di sini, dalam keadaan seperti ini. Dan tidak pernah terlintas di pikiran Hanafi  jika Arini hamil.

Ia memang laki-laki bodoh, sekian tahun mempelajari ilmu kedokteran, tetapi seperti tidak memiliki ilmu apa-apa tentang dunia medis. Apa yang tidak mungkin dalam dunia kedokteran. Semua atas kehendak yang maha kuasa. Tidak ada teori yang mengatakan bahwa perempuan baru bisa hamil jika telah melakukan hubungan untuk kesekian kalinya. Satu kali saja, jika memang jadi kata Allah, maka pastilah akan jadi.

“Dokter, tidak apa-apa?” seorang perawat ICU telah berdiri di samping Hanafi.

“Oh, tidak. Saya baik-baik saja.” Hanafi mencoba mengendalikan diri. Beberapa keluarga pasien terlihat memperhatikan Hanafi dari ruang tunggu tidak jauh dari tempatnya berdiri. Hanafi melangkah masuk ke ruangan untuk menemui uminya seperti tujuannya tadi datang ke sini.

Bersambung ….😊

Tidak ada komentar:

Posting Komentar