CERBUNG

Sabtu, 13 Juni 2020

BIAS RINDU - EPISODE 16

Judul: “Bias Rindu”
Penulis: Naya R
Terima kasih admin/moderator telah menyetujui tulisan ini.
Terima kasih pembaca setia Arini yang selalu sabar menanti kelanjutan cerita ini.
Sudah satu minggu Arini berada di Jogja. Adrian telah pulang ke Bukit Tinggi sejak tiga hari lalu. Arini akhirnya menerima ajakan Dona untuk bergabung kos dengan Dona. Entah mengapa Arini merasa nyaman berteman dengan Dona dan merasa nyaman juga berada di rumah kontrakan sepupu Adrian itu.
Ujian pascasarjana untuk program gizi dan kesehatan masyarakat masih satu bulan lagi. Untuk menghabiskan waktu, Arini mengikuti les toefl dan membeli beberapa buah buku teori tentang ilmu gizi. Di sore hari, Arini menjelajahi Malioboro seorang diri. Ada saja pernak pernik yang dibelinya. Mulai dari sandal batik, dompet pandan, miniatur sepeda, becak, Borobudur, sampai rok dan daster batik.
Meski hanya seorang pendatang baru, tetapi Arini menyukai kota pelajar ini. Menurut Arini, kota ini tenang dan penuh keramahtamahan.
Terkadang Arini ikut dengan Dona ke kampus. Selama Dona berada di kelas, Arini akan duduk di perpustakaan universitas. Perempuan yang memang hobi membaca ini, betah duduk berjam-jam di perpustakaan. Jika bosan dengan buku teori, ia akan melahap buku fiksi.
Siangnya, Dona akan datang menjemput. Lalu mereka berdua pulang ke kontrakan, setelah membeli makan siang.
Arini sengaja menyibukkan diri agar ia bisa melupakan Hanafi. Tidak bisa dipungkiri, diam-diam ia merindukan sosok tampan suaminya itu. Meski laki-laki itu tidak pernah bersikap baik padanya, tetapi Hanafi adalah laki-laki pertama yang pernah dekat dengannya. Setiap malam, Arini menangis mengingat suaminya. Mengingat semua yang telah dialaminya. Arini tidak dapat lagi mengingkari, ia mencintai Hanafi. Ia telah menyerahkan seluruh hatinya untuk laki-laki itu.
Sebelum tidur, Arini selalu membuka galeri di ponselnya. Dipandanginya satu demi satu foto Hanafi yang tersimpan di sana. Semua foto pernikahan mereka lengkap di ponselnya. Arini tersenyum melihat wajah kaku suaminya itu. Tidak ada senyum, tidak ada pancaran kebahagiaan di matanya. Sedetik kemudian air mata akan membasahi pipi mulusnya. Sedih kembali menggayuti ruang hatinya mengingat penolakan sang suami terhadap dirinya. Mengingat tidak ada cinta dan kasih di hati laki-laki itu untuknya.
Setelah puas memandang foto-foto Hanafi, Arini akan meletakkan ponselnya dan segera tidur dengan satu untaian doa, agar ia bisa mengiklaskan Hanafi dan mengiklaskan pernikahan mereka.
Hari ini Arini akan mendaftar di pascasarjana UGM. Arini telah mempersiapkan semua persyaratan yang dibutuhkan. Tetapi, begitu ia akan bangun untuk sholat malam seperti biasanya, Arini merasakan pusing yang membuat ia berbaring kembali. Sampai azan subuh berkumandang, perempuan bertubuh ramping itu masih saja tidak bangkit dari tempat tidur.
Setelah azan berakhir, Arini memaksakan dirinya untuk bangun dan turun. Namun, tiba-tiba rasa pusing di kepala menimbulkan rasa mual yang mendorong sesuatu ke luar dari mulut Arini. Untung saja, perempuan berkulit putih itu telah berada di pintu kamar mandi. Sisa makanan yang dimakannya tadi malam, tumpah di atas lantai. Air mata Arini sampai ke luar karena beberapa kali ia memuntahkan isi perutnya.
“Arini, ada apa?” Dona yang mendengar suara hoek-hoek langsung menuju kamar Arini. Dona telah berdiri di pintu kamar. Arini memalingkan wajahnya seraya mengusap sudut bibirnya yang basah oleh bekas muntah.
“Nggak tahu, Dona. Tiba-tiba aku merasa pusing dan mual.” Arini menjawab lemah.
“Ya, sudah. Kamu berbaring lagi, ya. Biar aku bersihin kamar mandinya.” Dona masuk dan berdiri dibelakang Arini.
“Aku mau sholat subuh, Don.” Arini mengambil air dengan gayung dan menyiram lantai bekas muntahannya.
“Kamu kuat, Rin?” Dona mengurut punggung Arini dari belakang.
“InsyaAllah kuat, Dona.” Arini mengangguk.
“Oke, aku tungguin di kamar, ya.” Dona berbalik dan berjalan ke tempat tidur Arini. Gadis hitam manis itu duduk di atas kasur menunggu Arini yang telah masuk ke kamar mandi.
Tidak berapa lama, Arini ke luar dari kamar mandi. Wajahnya telah segar oleh air wudu.
“Masuk angin, ya?” Dona menatap Arini prihatin.
“Kayaknya, iya.” Arini mengangguk seraya mengambil mukenanya.
“Kamu sholat dulu, ya. Aku bikinkan teh hangat.” Dona beranjak dan ke luar dari kamar. Arini membentangkan sajadah dan memakai mukenanya. Tidak berapa lama, ia telah khusyuk menghadapkan hati dan jiwanya pada sang pencipta.
******
Sudah satu minggu Arini pergi. Hanafi masih mencoba bertahan berada di rumah istrinya. Etek Pia menggantikan tugas Arini dalam melayani makan, minum, dan pakaian dokter tampan itu. Tetapi, Hanafi jarang sekali menyentuh makanan yang telah dihidangkan Etek Pia untuknya. Ia tetap duduk di kursi biasanya ia duduk. Namun yang dilakukannya hanya menatap makanan di depannya.
Setelah itu, ia bangkit dan pamit pada Etek Pia. Jika tidak masuk kamar, laki-laki itu akan berjalan-jalan menikmati kota Bukit Tinggi. Etek Pia hanya menatap Hanafi dengan hati perih. Wanita paruh baya itu bisa membaca semua yang terjadi antara Hanafi dan Arini.
Jalan kaki mulai dari simpang kantin sampai jam gadang, menjadi hobi Hanafi saat ini. Jika sedang tidak dinas, ia akan menikmati suasana sore hari di kota wisata itu.
Jika sedang berada di rumah, kamar Arini yang bernuansa pink menjadi tempat favorit Hanafi berdiam diri. Menikmati kesendirian dan kesunyiannya. Bayangan wajah Arini, senyum manisnya dan tatapan terluka istrinya itu, menjadi hiburan yang memabukkan sekaligus menyedihkan bagi Hanafi.
Di dalam diri Hanafi sebenarnya terjadi perang batin. Setengah hatinya ingin sekali mencari dan menemukan istrinya kembali. Tetapi hatinya yang lain memunculkan rasa ego dan harga dirinya sebagai seorang laki-laki dan sebagai seorang suami.
Sering Hanafi menanyai dirinya, apakah ia mencintai Arini? Jujur, ia juga tidak tahu. Tetapi bayangan istrinya itu selalu saja menghiasi setiap gerakan dan aktivitasnya. Ada yang terasa hilang di sudut hatinya. Ada rasa lengang yang tak mampu diungkapkannya.
Tetapi, kepergian Arini juga menantang dirinya. Ia harus bisa membuktikan bahwa seorang Hanafi akan baik-baik saja meski ditinggal pergi oleh istrinya. Hanafi tidak ingin Arini sampai tahu jika ia seperti seseorang yang hidup dan berjalan tanpa jiwa. Laki-laki itu tidak ingin Arini tahu jika ia seperti kehilangan semangat hidup. Ego dan harga dirinya terlalu tinggi untuk mengakui dan mengungkapkan semua itu.
Minggu kedua, Hanafi benar-benar sudah tidak sanggup lagi berada di rumah Arini. Hanafi pulang ke rumahnya, ke rumah gadang.
“Assalammualaikum.” Hanafi mengucapkan salam dan mendorong pintu kayu di depannya. Sepulang dari dinas sore, Hanafi langsung menuju ke rumah uminya. Tidak ada sahutan. Hanafi masuk dan berjalan pelan mengitari rumah gadang yang juga terlihat lengang. Hanafi sampai di dapur. Matanya langsung tertuju pada sosok tua yang tengah duduk termenung di jendela dapur.
“Umi.” Hanafi datang mendekat. Perempuan yang rambutnya telah memutih itu memalingkan wajah. Wajah yang sedari tadi muram, kini terlihat sedikit cerah.
“Hanafi.” Perempuan paruh baya itu menyebut nama anaknya lirih. Mata tuanya tiba-tiba berkabut.
“Umi sedang apa?” Hanafi jongkok di depan uminya.
“Tidak ada. Apalah lagi yang bisa dilakukan oleh perempuan di usia senja seperti Umimu ini, Nak.” Umi mengusap lembut rambut anak sulungnya. Hanafi menelungkupkan wajahnya di pangkuan sang ibu.
“Kelak jika ada kaki-kaki kecil yang berlarian di rumah ini, barulah mungkin Umi punya pekerjaan dan kegiatan yang bisa membunuh rasa sepi ini.” satu tetes bening jatuh di pipi yang mulai terlihat keriput itu. Hanafi mengangkat wajahnya. Ucapan wanita yang telah melahirkannya itu, menghujam tepat ke ulu hatinya.
“Maafkan Hanafi, Umi.” Hanafi mengambil tangan uminya dan menciumnya dengan mata yang juga terasa kabur.
“Tidak apa, Nak. Mungkin memang sudah takdir-Nya begini.” Umi Halimah mencoba tersenyum.
“Umi ingin Hanafi bagaimana?”
“Dulu Umi pernah mengungkapkan keinginan dan harapan Umi padamu, Nak. Tetapi, kamu menjadi tersiksa karenanya. Karenanya Umi tidak ingin lagi mengungkapkan harapan dan keinginan Umi. Umi tidak ingin menyiksamu, Nak.” Kali ini Umi Halimah terisak. Hanafi merasakan dadanya perih mendengar ucapan wanita yang amat dicintainya ini.
“Aku memikirkannya setiap hari Umi. Aku baru menyadari kalau aku ternyata membutuhkannya. Tetapi, sayangnya aku terlambat Umi. Dia benar-benar pergi dan menghilang. Ponselnya tidak aktif. Etek Pia bilang, nomor ponselnya sama seperti yang Umi berikan. Dan itu tidak bisa dihubungi.” Hanafi berkata dengan putus asa.
Umi Halimah memandang ke luar jendela. Rembang petang terlihat mulai temaram. Umi Halimah percaya jika anaknya berkata jujur. Tetapi, apa yang bisa dilakukannya sekarang? Ia tidak bisa berbuat apa-apa. Sebagai seorang ibu, ia tidak bisa membantu anaknya. Dan itu menyedihkan.
“Ke mana Hanafi harus mencari Arini, Mi?” Hanafi menggoyang tangan uminya.
“Berdoalah, Nak. Minta petunjuk pada yang di atas.” Umi Halimah mengusap kembali kepala anaknya. Berdua mereka terisak dalam diam.
Azan magrib berkumandang. Hanafi bangkit dari hadapan Umi Halimah.
“Mandi dan sholatlah. Setelah itu segeralah pulang.” Umi ikutan bangkit dan berjalan menuju kamar mandi di belakang dapur.
“Mi, izinkan aku tidur di sini, malam ini.” Hanafi berkata dengan suara parau. Umi menghentikan langkahnya dan berbalik menatap anaknya. Tatapan penuh luka di mata sulungnya meluluhkan hati wanita berhati mulia itu.
“Ya, Nak. Tidurlah di kamarmu.” Umi akhirnya berkata lirih.
“Terima kasih, Mi.” Hanafi merasa lega dan berjalan cepat menuju kamarnya. Ia ingin sholat berjamah ke masjid yang tidak terlalu jauh dari rumah gadang.
******
Hanafi berdiri di depan gedung Pasca Ilmu Gizi UI. Sudah dua hari Hanafi berada di sini. Laki-laki itu duduk dari pagi sampai siang di bangku koridor fakultas. Ia perhatikan satu demi satu mahasiswi yang lewat di depannya. Harapannya hanya satu, menemukan wajah Arini di antara sekian banyak mashasiswa yang lalu lalang tersebut. Tetapi, sampai hari keempat, Hanafi harus menelan kekecewaan. Tidak ditemukannya wajah perempuan yang selalu menghiasi hati dan pikirannya beberapa waktu belakangan ini.
Akhirnya Hanafi kembali menemui salah seorang pegawai pascasarjana. Hari pertama menginjakkan kaki di kampus ternama ini, Hanafi tidak bisa mendapatkan info apa-apa. Karena menurut pegawai tersebut, mereka dilarang memberikan informasi pegawai maupun mahasiswa kepada siapapun.
Hanafi sampai memperlihatkan kartu identitasnya untuk meyakinkan pegawai perempuan tersebut. Dengan melupakan rasa malu, Hanafi mengatakan bahwa ia sedang ada masalah dengan istrinya. Dan istrinya mengatakan akan mengambil magister ke univerisitas ini. Meski tidak yakin dengan apa yang dikatakannya, tetapi Hanafi mencoba bicara setenang mungkin.
Akhirnya, perempuan berusia empat puluhan di depannya luluh juga. Melihat kesungguhan dan kaca-kaca di mata dokter muda tersebut, perempuan yang memperkenalkan diri sebagai Bu Indah itupun membuka data di komputernya. Hanafi menunggu dengan dada berdebar-debar. Harapannya terlalu besar agar salah satu nama yang ada di computer tersebut adalah nama Arini Prasetia Kasih.
“Maaf, Pak. Tidak ada mahasiswa pascasarjana program Ilmu Gizi yang bernama Arini Prasetia Kasih.” Bu Indah menyampaikan informasi yang membuat tulang-tulang Hanafi terasa lemah.
“Oh, iya, Bu. Terima kasih. Mungkin istri saya tidak jadi mengambil S2-nya di sini.”
“Ya, Pak. Sama-sama.” Bu Indah menatap wajah Hanafi dengan prihatin.
“Saya permisi, Bu.” Hanafi pamit seraya menangkupkan kedua tangannya ke dada.
“Baik, Pak.” Bu Indah mengangguk.
Hanafi meninggalkan ruang kantor pascasarjana Ilmu Gizi dengan langkah gontai. Ternyata Arini benar-benar ingin menghilang darinya. Tidak meninggalkan pesan apapun padanya. Apa kesalahannya terlalu fatal sehingga istrinya itu melakukan hal seperti ini kepadanya? Hanafi mengusap wajahnya dengan kasar.
Ditinggalkannya kampus UI dengan hati lemah. Lengang serasa mengukung dirinya. Padahal ia tengah berada di hiruk pikuknya kota. Hanafi berjalan menuju halte terdekat. Ia akan segera pulang ke Padang.
Di Halte, Hanafi duduk memandang lalu lalang kendraan yang lewat di depannya. Mulai hari ini, ia akan menutup hatinya dari segala rasa yang akan menyulitkan hidupnya. Hanafi bertekad untuk melupakan Arini, melupakan perasaan cinta yang baru saja tumbuh. Namun, perempuan itu membunuhnya dengan kejam.
Ponsel di kantong celananya bergetar. Hanafi mengambil dan membuka aplikasi di ponselnya. Sebuah pesan WA masuk. Hanafi membukanya. Ternyata pesan dari Bella.
“Uda, aku dengar Arini telah pergi meninggalkan Uda. Aku turut prihatin.”
Hanafi membacanya dan menutup ponselnya kembali. Tidak ada niat dan keinginannya untuk membalas pesan dari mantan kekasihnya itu. Cinta memang aneh. Begitu cepat datang dan begitu cepat juga pergi. Tetapi, Hanafi tidak bisa mengerti, mengapa perasaanya pada Arini terasa begitu lain. Begitu berbeda jika dibandingkannya dengan perasaannya pada Bella. Hanya dalam hitungan hari, istrinya itu bisa menggeser posisi Bella dari hatinya.
Namun, kini ia tidak akan menghiraukan lagi semua rasa yang baru saja menghiasi ruang hatinya ini. Hanafi akan melupakan perempuan itu. Barangkali memang Arini bukan jodohnya. Ah, betapa sakitnya hati yang baru saja mencinta, tetapi harus langsung patah karena luka.
*****
Dua minggu sudah berlalu sejak Arini mengikuti ujian masuk magister Ilmu Gizi di UGM. Hari ini hasil tesnya keluar. Sejak hari itu juga kesehatan Arini menurun. Pusing dan mual masih juga menyerangnya di setiap pagi. Nafsu makannya juga menurun. Hari ini, setelah melihat hasil tes, Dona mengajak Arini untuk memeriksakan diri ke dokter.
Berdua dengan Dona, Arini menuju gedung pascasarjana Ilmu Gizi. Ternyata telah banyak calon mahasiswa S2 yang menunggu hasil pengumuman. Dona menyuruh Arini untuk duduk di bangku panjang yang ada di samping kantor pasca. Dona kasihan melihat Arini makin pucat dan tidak bersemangat. Arini menurut.
Hanya butuh beberapa menit, Dona kembali mendekati Arini.
“Alhamdulillah, Rin, kamu lulus. Selamat, ya.” Dona memeluk Arini dengan rasa gembira.
“Alhamdulillah.” Arini mengucap syukur berulang kali. Mereka berdua berpelukan. Berada di rantau orang membuat mereka menjadi cepat akrab. Rasanya sudah seperti dengan saudara sendiri.
“Makasih, ya, Don. Kamu banyak membantu.” Arini memegang kedua tangan Dona dengan erat.
“Ucapan terima kasih kamu akan aku terima dengan syarat kita ke dokter sekarang.” Dona duduk di samping Arini. Arini tersenyum.
“Baiklah. Daripada aku nggak dibantuin kalau pusing lagi nanti.” Arini memeluk pundak Dona.
“Kita pesan taksi online aja.” Dona mengambil ponselnya dan membuka aplikasi pemesanan taksi online. Tidak berapa lama ponsel Dona berdering. Taksi yang mereka pesan sedang menuju gedung pasca.
Tidak lebih dari sepuluh menit, sebuah mobil city car berhenti di depan gedung mereka duduk. Ponsel Dona kembali bordering. Ternyata itu mobil yang mereka pesan. Dona dan Arini bangkit. Mereka berjalan menuju mobil berwarna hitam dan masuk ke dalamnya. Dona menyebutkan nama klinik yang akan mereka tuju.
Hari tidak terlalu terik. Arini memandang ke luar jendela mobil. Mata Arini memperhatikan jalanan yang tidak terlalu ramai. Dan perempuan itu tersenyum melihat becak sepeda yang masih juga ada di kota ini. Sudah beberapa kali Arini naik kendraan tradisional tersebut. Arini selalu suka menikmati segar angin Jogja dari atas becak.
Hampir dua puluh menit berkendara, mereka sampai di klinik 24 jam yang dituju. Dona dan Arini turun berbarengan. Keduanya berebut membayar ongkos taksi. Selalu saja begitu setiap mereka akan membayar ongkos atau makan. Dua-duanya selalu saja ingin membayar lebih dulu.
Dona dan Arini masuk ke dalam klinik. Hanya ada dua orang pasien yang sedang antri di ruang tunggu. Dona mendaftarkan Arini di meja pendaftaran. Setelah itu, mereka dipersilakan duduk menunggu.
Lima belas menit menunggu akhirnya Arini dipanggil. Dona ikutan masuk ke ruang pemeriksaan. Dokter perempuan yang memakai kaca mata minus itu menanyakan keluhan Arini. Arini menjelaskan jika dua minggu terakhir ia sering merasa pusing, mula, sampai muntah. Selera makannya juga hilang.
Dokter yang memperkenalkan namanya sebagai Mita itu menyuruh Arini berbaring di ranjang. Arini naik dibantu Dona. Dokter lalu melakukan pemeriksaan pada Arini. Tidak butuh waktu lama, dokter Mita mempersilakan Arini duduk kembali.
“Mbak Arini sudah menikah, ya?” Dokter Mita memperhatikan biodata pasien yang sedang dipegangnya.
“Sudah, Dok.” Arini menjawab lemah.
“Kapan haid terakhir?” Dokter Mita menatap Arini dengan mata berbinar.
“Minggu pertama bulan lalu, Dok.” Arini menjawab ragu.
“Bulan ini belum ada haid, Mbak?”
“Belum, Dok.” Arini baru tersadar, ternyata bulan ini ia belum mendapat haid. Padahal udah minggu ketiga.
“Untuk memastikan diagnosa saya, Mbak harus ke dokter kandungan setelah dari sini, ya.” Dokter Mita tersenyum pada Arini.
“Dokter kandungan, Dok?” suara Arini bergetar. Bagaimana bisa, ia hanya sekali berhubungan dengan Hanafi. Bagaimana bisa ia langsung hamil? Kepala Arini serasa berputar-putar. Hatinya mendadak menjadi cemas.
“Ya, Mbak. Kalau menurut perkiraan saya, kehamilan Mbak sudah memasuki minggu keempat. Selamat, ya.” Dokter Mita mengulurkan tangannya dengan ramah pada Arini. Arini menerima uluran tangan dokter di depannya dengan gemetar.
“Ya, Dok. Terima kasih.” Arini bangkit diikuti oleh Dona. Dona diam memperhatikan perubahan wajah Arini. Sahabat yang baru dikenalnya ini memang belum bercerita banyak tentang kehidupan rumah tangganya pada Dona. Tetapi, Dona bisa melihat jika Arini kurang senang mendengar berita dari sang dokter.
Mereka ke luar dari ruang pemeriksaan. Dona bingung harus mengucapkan selamat atau tidak. Arini terlihat muram. Gadis manis itu menyuruh Arini duduk kembali di ruang tunggu. Arini menurut. Dona kemudian menyelesaikan semua urusan admistrasi. Sekalian gadis bertubuh mungil itu minta informasi tentang dokter kandungan yang terdekat dari klinik ini.
Setelah selesai, sepupu Adrian itu duduk di samping Arini.
“Kita langsung ke rumah sakit, ya? Dokter kandungan kalau pagi sampai siang praktiknya di rumah sakit. Kalau sore baru ada yang praktik di rumahnya.” Dona memegang jemari tangan Arini dan menggenggamnya dengan erat.
“Tapi, bagaimana mungkin?” Arini mendesah lalu menunduk.
“Apanya yang bagaimana mungkin?” Dona menggoyang tangan Arini.
“Oh, tidak. Baiklah kita ke rumah sakit.” Arini langsung bangkit untuk menghindari pertanyaan Dona.
"Hai, duduk lagi. Aku pesan taksi dulu.” Dona menahan langkah Arini. Arini kembali berbalik dan duduk lagi di samping Dona.
“Nggak boleh buru-buru. Kamu kan lagi hamil.” Dona mengelus perut Arini dengan senyum menggoda.
“Siapa yang lagi hamil? Tidur bersama cuma sekali doang.” Arini mencebik.
“Maksudmu, Rin?” Dona menatap Arini dengan tajam. Rasa penasarannya langsung muncul begitu mendengar ucapan sahabatnya ini.
“Ah, sudahlah. Lupakan. Ayo pesan cepat taksinya.” Arini menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Dona menarik napas panjang. Lalu mengambil ponselnya dan membuka apilkasi taksi online.
Dalam hati, Arini berdoa semoga tidak ada benih yang tertinggal di rahimnya. Jika benar ia hamil, bagaimana ia akan menjalani semua ini? Tidak mungkin anaknya tidak memiliki ayah. Tetapi, Arini juga tidak ingin jika anaknya menjadi anak yang tidak pernah diharapkan oleh bapaknya.
Bersambung

BIAS RINDU - EPISODE 15

Judul: “Bias Rindu”
Penulis: Naya R
Terima kasih admin/moderator telah berkenan menyetujui tulisan ini.
Sampai di bandara Adi Sucipto Yogyakarta, Arini sebisa mungkin mengurus barang-barangnya sendiri. Adrian bisa melihat kalau Arini mencoba menjaga jarak dengannya. Adrian mencoba menghargai sikap Arini tersebut. Tetapi, membiarkan perempuan bermata indah ini seorang diri, Adrian juga tidak tega. Akhirnya Adrian tetap mengikuti langkah kaki Arini yang sedang berjalan menuju pintu luar.
Arini memesan sebuah taksi, tanpa bicara apa-apa pada Adrian. Laki-laki tampan ini sedikit merasa heran, kenapa tiba-tiba Arini berubah acuh seperti ini padanya. Begitu taksi datang, Arini bergegas mengangkat kopernya dibantu oleh supir taksi. Begitu Arini naik, Adrian ikut naik dan duduk di sampingnya. Arini menatap Dokter Adrian dengan wajah heran.
“Dokter mau ke mana?”
“Saya akan antar kamu. Saya ingin memastikan kalau kamu selamat sampai di tujuan.”
“Tapi, itu tidak perlu Dokter.”
“Arini, percayalah, saya tidak punya maksud apa-apa. Saya janji tidak akan mengganggu kamu. Tidak bisakah kamu menganggap saya sebagai teman?” Adrian memberikan penekanan pada kata teman. Untuk beberapa saat Arini terdiam. Supir taksi telah duduk di depan mereka dan menanyakan alamat yang akan dituju. Arini menyebutkan alamat teman kuliahnya. Untuk beberapa hari, sebelum mendapatkan rumah kos, Arini akan menumpang di rumah Dini, teman kuliahnya.
Akhirnya Arini diam. Mobil mulai bergerak meninggalkan parkiran bandara.
“Arini, aku tahu kamu merasa tidak nyaman denganku. Tetapi, cobalah berpikir, aku tidak mungkin melakukan hal buruk kepadamu. Almarhum Datuak Sutan Bandaro telah menitipkan kamu kepada saya. Dan saya tidak akan mengabaikan amanat tersebut, karena Pak Datuak sangat berjasa kepadaku.” Adrian berhenti sejenak. Arini masih diam memandang jalanan di depannya.
“Percayalah, aku akan menghormatimu sebagai seorang anak Datuak Sutan Bandaro dan aku akan menghormatimu sebagai seorang wanita bersuami. Jadi tolonglah jangan terlalu sungkan. Aku jadi merasa tidak enak juga.” Adrian melirik Arini sekilas. Arini menunduk, ucapan Adrian begitu mengena ke hatinya.
“Ya, Dok.” Akhirnya Arini menjawab juga dengan suara pelan. Mobil memasuki Kota Jogya yang terlihat teduh. Meski kota pelajar ini juga terlihat macet pada jam-jam tertentu, tetapi entah mengapa keramaian dan kemacetannya tidak terlihat semrawut.
“Kamu sudah ngasih tahu temanmu kalau akan datang hari ini?” Adrian mencoba menghilangkan kekakuan di antara mereka.
“Belum, sih, Dok.” Arini menggeleng.
“Jadi kok bisa memutuskan ke rumahnya?” Adrian merasa heran dengan Arini.
“Ya, dulu semasa masih kuliah, aku pernah main ke rumahnya yang di Yogya ini, Dok.”
“Teman kuliahmu ada yang dari Yogya? Jauh-jauh ke Padang hanya untuk kuliah jurusan gizi?” Adrian benar-benar tidak habis pikir.
“Memang kenapa dengan jurusan gizi, Dok? Nggak sehebat kedokteran gitu, sehingga aneh kalau mahasiswanya ada yang datang dari luar kota?” Arini merasa tidak senang dengan ucapan Adrian.
“Bukan … bukan gitu maksudnya.” Adrian merasa keceplosan bicara.
“Teman aku itu punya bibi yang tinggal di Sumatera Barat, Dok. Karena dia ingin mencoba merantau, jadilah dia kuliah di Padang.” Akhirnya Arini mau juga bicara panjang lebar.
“Oh, kalau gitu kan masuk akal.” Adrian mengangguk dan senyum-senyum sendiri. Arini sudah mau bicara dengannya. Adrian merasa lega.
Setelah itu, Adrian menanyakan rencana-rencana Arini ke depannya. Arini menjawab dengan lebih ramah. Tidak berapa lama, taksi yang mereka tumpangi berhenti di depan sebuah rumah sederhana di kawasan Tegalrejo.
“Sudah sampai, Mbak.” Supir taksi mengangguk hormat pada Arini.
“Ya, Pak.” Arini memperhatikan rumah bercat putih itu dengan seksama. Ya, benar, ini rumah Dini yang pernah dikunjunginya dua tahun lalu. Arini membuka pintu mobil dan bergegas turun. Begitu juga dengan Adrian. Dua kopernya telah diturunkan oleh pak supir taksi. Arini mengeluarkan dompetnya mengambil duit, namun perempuan bermata indah ini kalah cepat dengan dokter Adrian. Adrian telah memberikan ongkos taksi pada pak supir.
“Saya pamit, Mba, Mas.” Lelaki paruh baya itu membungkuk santun pada Arini dan Adrian.
“Ya, Pak, makasih, ya, Pak.” Arini dan Adrian mengucapkan terima kasih berbarengan. Setelah itu taksi mulai bergerak menjauh meninggalkan mereka. Arini dan Adrian mengambil masing-masing satu koper dan mendorongnya menuju rumah yang terlihat sepi itu.
Mereka mendorong pagar besi yang tidak digembok. Memasuki halaman yang tertata rapi.
“Sepertinya tidak ada orang.” Adrian meletakkan koper Arini di teras. Begitu juga dengan Arini. Berdua mereka mendekati pintu kayu yang sudah terlihat tua dimakan usia. Arini mengetuk pintu kayu itu dan mengucapkan salam. Beberapa kali Arini mengetuk disertai ucapan salam. Tetapi, tidak ada jawaban dan tanda-tanda pintu akan dibukakan. Arini menoleh pada Adrian dengan wajah bingung.
“Kamu ikut ke rumah sepupu aku aja, ya? Dia sedang ambil S2 juga di sini.” Adrian menjawab kebingungan Arini. Arini berpikir untuk beberapa saat. Tetapi, Adrian telah memesan taksi online kembali tanpa menunggu persetujuan Arini.
“Nyari Dini, Nduk?” Seorang ibu tiba-tiba menegur Arini dari depan pagar.
“Iya, Bu. Dini ke mana, ya, Bu?” Arini berjalan ke arah pagar.
“Dini dan keluarganya ke Sragen, Nduk. Ada saudara mereka yang meninggal di sana.”
“Oh, iya, Bu. Makasih, ya, Bu.” Arini mengangguk dengan wajah kecewa.
“Nggih, Nduk.” Ibu itu pun berlalu setelah mengangguk sopan pada Arini.
Arini masih berdiri di sisi pagar ketika sebuah mobil berhenti tepan di depannya. Adrian datang mendekat dengan mendorong dua koper Arini sekaligus.
“Ayok.” Adrian mengangguk pada Arini. Meski ragu, tetapi akhirnya Arini mengikuti juga langkah Adrian menuju mobil berwarna silver di depan pagar. Seorang supir seumuran dengan mereka membukakan bagasi mobil. Adrian dibantu si supir memasukkan kedua koper Arini ke bagasi. Setelah menutup pintu pagar kembali, Adrian membukakan pintu mobil untuk Arini dan mempersilakan perempuan yang tiba-tiba terlihat sendu itu naik duluan.
Adrian menyebutkan alamat sepupunya pada supir taksi. Mobil pun bergerak perlahan meninggalkan rumah Dini. Di sepanjang perjalanan, Arini terlihat resah. Jemari tangannya tidak henti saling meremas. Adrian merasa kasihan melihatnya.
“Sepupu aku itu namanya Dona. Dia sedang mengambil magister Farmasi di UGM. Orangnya baik, kamu bisa tinggal di kontrakannya sampai kamu mendapatkan tempat kos.” Adrian yang melihat kegelisahan Arini merasa kasihan juga.
“Iya, Dok.” Arini mengangguk lemah.
“Kalau sedang tidak di rumah sakit, gimana kalau kamu nggak usah manggil saya dengan sebutan Dokter?” Adrian menatap Arini dengan ragu.
“Lalu manggil apa?” Arini balas menatap Adrian dengan bingung.
“Manggil Uda aja seperti sama yang lain.” Entah mengapa wajah Adrian terasa panas juga ketika mengatakannya.
“Uda?” Arini merasa kelu mengucapkannya. Tiba-tiba perempuan berhati lembut itu langsung teringat dengan suaminya. Sedang apa laki-laki itu sekarang? Apa yang dirasakannya setelah ia tidak lagi berada di dekatnya?
“Ya, Uda. Rasanya terlalu formal panggilan Dokter.” Adrian mengungkapkan isi hatinya.
“Ya, Dok. Nanti saya coba.” Arini manjawab lirih. Jujur, Arini merasa tidak nyaman jika harus memanggil uda pada Adrian.
“Sudah sampai, Mas.” Mobil berhenti di depan beberapa buah rumah petak yang berjejer sederhana.
“Oh, iya, Mas.” Adrian tersadar. Perjalanan terasa begitu cepat. Adrian bergegas turun diikuti oleh Arini. Kedua koper Arini kembali diturunkan. Setelah membayar uang taksi, dan mengucapkan terima kasih, Adrian mendorong koper Arini ke salah satu rumah petak bercat putih. Ada empat buah rumah yang berjejer di dalam satu pekarangan yang cukup luas. Beberapa pohon besar dan rindang menambah kesan asri dan sejuk. Arini mendorong koper satunya lagi mengikuti langkah Adrian.
“Assalammualaikum.” Adrian mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Beberapa detik menunggu, terdengar sahutan salam dari dalam rumah dan langkah kaki mendekat.
“Waalaikumsalam.” Pintu terbuka dan di depan keduanya berdiri seorang gadis manis berkerudung coklat.
“Uda! Kok nggak mengabari kalau mau datang?” Gadis di depan mereka bersorak gembira.
“Biar kejutan.” Adrian menjawab seraya tersenyum. Adik sepupunya ini memang selalu heboh.
“Ini siapa, Da? Cantik banget. Pacar Uda, ya?” Gadis itu menatap Arini tanpa berkedip.
“Hush, bicara jangan sembarangan. Ini Arini, istri teman Uda. Arini akan kuliah di sini. Sebelum dia mendapat tempat kos, bisa kan numpang dulu di sini?” Adrian menatap Dona penuh harap.
“Oh, udah bersuami? Sayang, ya.” Dona berbisik pelan.
“Sayang kenapa?” Adrian menatap Dona dengan heran.
“Iya, sayang. Soalnya cocok sekali dengan Uda.” Dona menjawab malu-malu.
“Dona!” Adrian menghardik Dona karena merasa tidak enak dengan Arini. Sementara Arini merasa wajahnya panas dan mungkin juga sudah memerah.
“Eh, iya, Da. Maaf. Ayo, silakan masuk.” Dona menyipitkan matanya pada Adrian merasa bersalah dengan ucapannya.
Adrian dan Arini melangkah masuk. Mereka langsung bertemu dengan ruang tamu sederhana, yang hanya berisi tikar dan sebuah meja bundar.
“Duduk dulu, ya, Uni.” Dona mempersilakan Arini.
“Ya, Don, makasih.” Arini meletakkan kopernya di sudut ruang tamu, lalu mengambil posisi di dekat jendela kaca. Arini duduk bersandar di sana.
Sementara Adrian mengambil tempat di depan Arini. Dona masuk ke dalam untuk menyiapkan minum. Tidak berapa lama, Dona keluar lagi dengan dua gelas minuman di atas nampan, lalu meletakkannya di atas meja.
“Silakan diminum, Uni, Uda.”
“Ya, Don, makasih.” Arini mengangguk dan tersenyum pada Dona.
“Kamu bisa kan, Don, bantu Arini cari tempat kos?”
“InsyaAllah, nanti Dona bantu, Da. Tapi kalau mau gabung di sini, juga nggak apa-apa, Uni.”
“Nah, boleh juga tuh.” Adrian merasa senang dengan usul Dona.
“Di sini ada dua kamar, Uni. Kemarin aku ambil rumah seperti ini karena rencananya adikku, Dian, juga mau kuliah di sini. Ternyata nggak jadi. Cuma aku sudah terlanjur cocok dengan rumah ini.” Dona menjelaskan panjang lebar.
“Makasih, Don. Tapi, nanti aku coba cari dulu yang dekat kampus, ya.” Arini mencoba menolak dengan halus.
“Sebenarnya ini udah yang paling dekat ama kampus, lho. Tapi, ya, terserah Uni di mana nyamannya.” Dona tersenyum ramah.
“Ayo, kita cari makan. Habis zuhur Uda langsung ke tempat acara.” Adrian bangkit dan mengambil tas ranselnya.
“Makan? Asyik … Tunggu bentar, ya, Da. Aku ganti baju dulu biar cantik kayak Uni Arini.” Dona mengacungkan jempolnya pada Adrian dan segera berlari masuk ke dalam. Adrian dan Arini senyum-senyum melihat tingkah Dona yang ceria. Arini langsung merasa cocok dengan gadis hitam manis itu.
Tidak menunggu lama, Dona ke luar dari dalam kamar. Memakai kulot coklat tua dengan tunik berwarna senada. Jilbab warna kuning lembut dengan motif abstrak. Manis sekali. Arini menyambut Dona dengan senyum manis. Adrian kembali memesan taksi online. Tidak berapa lama, mereka pun telah berada dalam taksi yang membawa mereka ke tempat makan yang direkomendasikan Dona.
***********
Hanafi memarkirkan mobil di depan garasi. Dengan lesu laki-laki itu turun dari mobil dan melangkah gontai menuju pintu depan. Begitu mendengar suara mobil memasuki halaman, Etek Halimah dan Annisa bergegas membuka pintu. Hanafi berdiri di hadapan uminya dengan wajah yang terlihat kacau.
“Mana Arini? Mana istrimu? Dia mau pulang, kan?” Umi langsung mencecar Hanafi dengan pertanyaan. Mata umi dan Annisa mencari-cari ke belakang Hanafi dan ke arah mobil parkir.
“Aku terlambat, Mi. Arini sudah pergi.” Hanafi luruh di depan uminya. Sebelah kaki dokter tampan itu menekuk. Tangannya memegang jemari tua sang umi dengan gemetar. Untuk sekian detik, Umi Halimah seakan berhenti bernapas. Wanita paruh baya itu mencoba mencerna ucapan anaknya.
“Arini tidak pulang bersamamu, Nak?” Suara Umi Halimah bercampur isakan. Dada yang mulai terlihat tipis dimakan usia itu naik turun menahan gejolak di dalam dadanya. Jadi Arini benar-benar sudah tidak ada? Rumah ini benar-benar telah ditinggalkan oleh pemiliknya?
“Maafkan Hanafi, Umi.” Mata Hanafi kembali berkabut. Kekecewaan wanita mulia di hadapannya ini sama besar dengan kekecewaan yang kini dirasakannya.
“Ya, Nak. Tidak apa. Mungkin memang sudah begini jalannya. Tidak apa.” Umi menggelengkan kepalanya berulang kali. Pipinya telah basah oleh air mata. Dengan sebelah tangannya, Umi Halimah menghapus pipi kiri dan kanannya. Semua telah berakhir. Arini, menantu terkasihnya itu, akhirnya benar-benar pergi.
Umi Halimah melepaskan tangan Hanafi dan berbalik. Sekuat itu ia menahan air mata, sekuat itu juga cairan bening itu membanjiri pipi keriputnya. Umi Halimah masuk ke dalam rumah dituntun oleh Annisa. Diedarkannya pandangannya ke seluruh rumah. Rumah besar ini terlihat begitu lengang. Sangat lengang. Padahal baru beberapa jam saja Arini meninggalkannya.
Wanita yang biasanya selalu terlihat kuat dan tegar itu melangkah tertatih menuju kamar tamu. Annisa mengikuti dengan sabar. Di kamar, umi mengambil tas kainnya yang telah berisi seluruh pakaiannya. Diseretnya tas itu ke luar kamar. Annisa melakukan hal yang sama. Gadis cantik itu juga telah membereskan semua barang-barangnya.
Mereka melangkah menuju ruang tamu. Etek Pia memperhatikan semua itu dengan mata basah. Hanafi yang masih berdiri di pintu langsung mengejar uminya.
“Umi mau ke mana? Umi mau meninggalkan Hanafi juga?” Hanafi memegang tangan uminya dan menggoyangnya dengan mata yang kembali terasa panas. Laki-laki itu seperti bocah lima tahunan yang akan ditinggal pergi oleh sang ibu.
“Nak, jika di rumah ini sudah tidak ada Arini, Umi merasa sudah tidak pantas lagi berada di sini.” Umi menatap anak laki-lakinya dengan tatapan penuh luka.
“Lalu Hanafi, Mi?” Hanafi merasa dunia seakan-akan sedang menggulungnya dan melumatnya dengan kejam.
“Laki-laki Minang memang sudah adatnya tinggal di rumah istrinya. Jika kamu masih merasa Arini adalah istrimu, maka tinggallah di sini.” Umi berkata pelan, namun amat menusuk hati Hanafi.
“Tetapi, Mi …” Hanafi menatap uminya dengan gusar.
“Jika kamu memiliki sedikit saja rasa pada Arini, maka carilah dia. Perjuangkanlah dia kembali.” Umi menyentuh lengan Hanafi dengan lembut. Perempuan yang terlihat makin tua itu menatap anaknya dengan senyum patah.
Hanafi tidak tahu lagi harus mengatakan apa. Umi melangkah ke luar dari rumah diikuti oleh Annisa. Tadi sebelum Hanafi datang, ia telah berpamitan kepada Etek Pia. Karena meskipun sangat berharap Arini pulang bersama anaknya, di hatinya masih ada keraguan. Dan keraguannya akhirnya terbukti. Arini memang tidak pulang.
Berdua dengan Annisa, Umi Halimah menyeret tas kain mereka ke luar halaman. Meski Annisa sudah mengatakan agar memesan taksi online saja, tetapi, Umi menolak. Umi mengajak anak gadisnya untuk mencari angkutan umum saja di simpang yang berjarak beberapa ratus meter dari rumah Arini.
Hanafi masih berdiri terpaku di depan pintu ruang tamu. Pandanganya terasa kabur. Bayangan umi dan Annisa semakin jauh. Hanafi serasa tidak punya tenaga untuk mengejar uminya itu dan mengantarnya pulang ke rumah gadang.
Setelah umi dan Annisa tidak terlihat, laki-laki itu berbalik dan berjalan gontai menuju kamarnya. Dimasukinya kamar berukuran besar itu dengan dada yang terasa sakit. Matanya langsung terpaku pada tempat tidur yang juga berukuran besar. Terbayang kembali apa yang ia dan Arini lakukan malam tadi di sana.
Indah … sangat indah … Hanafi seakan masih bisa merasakan hangatnya tubuh sang istri. Lembut bibirnya, desahan napasnya. Ya, Tuhan, Hanafi menggusar rambutnya dengan gusar. Mengapa begini lain rasanya.
Hanafi melangkahkan kaki menuju kamar satunya lagi. Digesernya pintu kaca dan melangkah masuk. Untuk kedua kalinya Hanafi naik ke atas tempat tidur berwarna pink itu. Laki-laki yang biasanya selalu terlihat kaku dan dingin itu kembali merebahkan tubuhnya di sana. Ia merasa amat lelah. Rasanya ia ingin tidur dan melupakan semuanya.
Tiba-tiba ponsel di saku celananya bergetar. Tergesa Hanafi mengeluarkan ponselnya dan membukanya dengan rasa tidak sabar. Siapa tahu Arini menghubunginya dan mengatakan sesuatu. Pastilah istrinya itu punya nomor ponsel dan nomor whatshappnya.
“Apa kabar, Uda Dokter?” sebuah pesan masuk dari nomor yang sudah tidak asing lagi. Bella. Hanafi menarik napas kecewa. Sejak Bella pergi, baru kali ini gadis itu menghubunginya kembali. Seharusnya Hanafi merasa senang. Bukankah ia mencintai dokter cantik itu?
Tetapi, entahlah. Rasanya begitu hambar. Ah, secepat itukah hati berubah? Hanafi melemparkan ponselnya begitu saja ke kasur yang ditidurinya. Tidak ada keinginan untuk membalas atau menghubungi Bella sama sekali. Padahal dulu, Hanafi menganggap cintanya pada perempuan itu amat luar biasa.
Kenapa sekarang yang terbayang-bayang hanya wajah lembut istrinya? Mata indahnya, bibir merahnya dan senyum manisnya. Wajah yang begitu tulus. Hanafi mengambil ponselnya kembali. Tergesa laki-laki itu membuka galeri fotonya. Mencari-cari jika ada terselip foto sang istri.
Alhamdulillah, mata Hanafi berbinar. Ia menemukan satu buah foto pernikahannya dengan Arini. Arini terlihat cantik dalam balutan pakaian adat Minangkabau. Suntiang dan baju kurung berwarna merah dengan hiasan warna emas nan mewah. Dengan tangan bergetar, dokter yang cukup dikenal di Kota Bukit Tinggi ini mengusap layar ponselnya. Bibirnya tersenyum menatap senyum indah sang istri. Mata perempuan itu terlihat berbinar. Padahal laki-laki di sampingnya terlihat amat kaku, tanpa sedikitpun senyum yang menghiasi bibirnya.
Tuhan, ke manakah ia harus mencari istrinya itu? Masihkah Tuhan akan memberi kesempatan kedua untuk laki-laki bodoh seperti dirinya ini? Tuhan, aku tidak akan minta apa-apa, cukup satu permintaan saja, tolong pertemukan aku kembali dengan Arini. Hanafi merapalkan doa di dalam hati. Setelah itu, Hanafi tertidur karena kelelahan. Lelah karena menyesali diri dan menyesali semua kebodohannya kepada sang istri.
Bersambung …
Maaf, mungkin episode ini terasa agak pendek dan juga membosankan. Author baru menemukan semangat lagi setelah beberapa waktu kehilangan gairah menulis.
Terima kasih yang masih menunggu dan mengikuti cerita ini.

BIAS RINDU - EPISODE 14

Judul: “Bias Rindu”
Penulis: Naya R
Terima kasih admin/moderator telah berkenan menyetujui tulisan ini.
Hanafi terbangun dan meraba kasur di sampingnya. Kosong. Hanafi langsung bangun dan turun dari tempat tidur. Hanafi tersadar, ternyata tidak memakai apa-apa. Hanafi mengambil selimut dan melilitkan ke pinggangnya. Laki-laki itu berjalan menuju kamar Arini. Digesernya pintu kaca dan melangkah masuk ke dalam. Mata Hanafi terpaku melihat Arini yang tengah bergelung di bawah selimut tebal. Hanafi mendekat dan berdiri tepat di samping tempat tidur istrinya itu.
Hanafi berjongkok, wajahnya kini sejajar dengan wajah cantik Arini. Hanafi memperhatikan setiap inci wajah istrinya itu. Alisnya, matanya yang terpejam, hidungnya, pipinya, dan bibirnya yang terlihat menggemaskan.
Dada Hanafi kembali berdesir. Kemesraan dan penyatuan dua jiwa yang penuh gairah kembali terbayang di pelupuk mata Hanafi. Duh, indahnya. Ternyata beginilah rasanya menjadi laki-laki sejati, Hanafi tersenyum dengan raut wajah bahagia. Tak dapat menahan diri, Hanafi mendekat, lembut diciumnya kening Arini. Ciuman yang begitu dalam dan penuh perasaan.
Dan entah mengapa tiba-tiba Hanafi merasa amat takut. Bagaimana jika Arini benar-benar pergi? Apa yang harus dilakukannya? Arini menggeliat. Hanafi segera bangkit dan berbalik. Buru-buru Hanafi meninggalkan kamar Arini kembali ke kamarnya. Hanafi langsung masuk kamar mandi.
Hanafi ingin bersujud kepada sang pengasih, untuk meminta satu saja permohonan, meminta Arini untuk tetap di sini. apakah sudah terlambat untuk mengetuk pintu langit dengan memohonkan sesuatu yang memang pantas untuk dimintanya?
Setelah mandi dan berwudu, Hanafi memakai sarung dan baju kokonya. Pukul 03.40 dini hari. Ini adalah waktu yang paling mustajab untuk memohon kepada sang pemilik hati. Setelah membentangkan sajadah, Hanafi pun mulai menghadapkan wajah dan hatinya pada Yang Maha Kuasa.
Selesai dengan enam rakaat tiga kali salam, Hanafi menadahkan tangannya. Dalam hati sebenarnya ada rasa malu pada sang pemilik bumi, karena ia hanya datang ketika merasa membutuhkan pertolongan. Tetapi, Hanafi merasa tidak punya lagi tempat mengadu dan meminta. Untuk memohon kepada Arini, rasanya Hanafi belum punya keberanian. Apalagi, rasanya ia masih punya harga diri untuk mengemis pada istrinya itu.
Hanya Tuhan yang tentunya masih mendengarnya tanpa takut ditertawakan. Sampai azan subuh berkumandang, Hanafi masih duduk di atas sajadahnya. Hanafi kemudian bangkit dan mengambil sajadahnya. Pagi ini, ia rindu datang ke masjid. Sudah lama sekali ia tidak sholat berjamaah. Mungkin sejak tamat dari SMA, Hanafi tidak pernah lagi sholat di masjid. Mulai hari ini, Hanafi bertekad untuk mulai memperbaiki diri, mulai menjadi mukmin sejati. Hal pertama yang harus dilakukannya adalah dengan mulai sholat berjamaah di masjid.
Arini terbangun begitu azan berkumandang. Untuk pertama kali sejak ia mengikuti liqo di kampus, Arini melewatkan sholat malamnya. Arini turun dari tempat tidur dengan tergesa. Seluruh badannya terasa ngilu dan sakit. Tetapi, Arini mencoba mengabaikan rasa tidak nyaman itu. Arini harus cepat, pesawatnya pukul 08.30. Setelah sholat subuh, Arini sudah harus berangkat. Tadi malam Arini telah memesan taksi.
Selesai sholat subuh, Arini segera berganti pakaian. Kulot lebar berwarna milo, blus warna krem pucat dan cardigan panjang berwarna senada dengan kulotnya. Jilbab dengan warna milo juga, menutup hingga ke dada. Arini menyapukan bedak dan lipstik. Arini mengambil tas sandangnya dan mendorong kopernya. Tetapi, sebelum ia ke luar dari kamarnya, Arini menyapukan pandangannya sekali lagi ke sekeliling kamar. Ia akan meninggalkan kamar ini, rumah, dan semua kenangan yang pernah ada di sini. Entah untuk berapa lama, Arini tidak tahu. Ada yang terasa hangat di sudut-sudut matanya.
Terlalu banyak kenangan di sini. Arini tengadah dan mengerjabkan matanya mengusir bulir bening agar tidak tumpah membasahi pipinya. Ia tidak boleh lemah, tidak boleh cengeng. Ayahnya telah mengajarkan banyak hal pada Arini. Arini tahu bahwa hidup tidaklah seindah yang ada di novel atau di film.
Setelah membaca Basmallah, Arini mendorong pintu kaca dan berjalan ke luar kamar. Arini melayangkan pandangan ke kamar Hanafi. Kamar laki-laki itu kosong. Kemana suaminya subuh-subuh begini? Kening Arini berkerut. Apakah ia tidak akan sempat berpamitan sebelum pergi?
Dengan dua buah koper di kiri dan kanannya, Arini ke luar dari kamar Hanafi. Begitu berada di luar kamar, Arini mendengar suara Etek Halimah dan Etek Pia dari arah dapur. Sementara Etek Pia dan Etek Halimah juga mendengar suara gesekan roda koper di lantai. Keduanya sama-sama menoleh ke arah depan. Terlihat Arini telah rapi sedang mendorong dua buah koper yang lumayan besar. Etek Halimah dan Etek Pia saling pandang lalu sama-sama bergegas menuju ruang tamu.
Arini baru saja sampai di ruang tamu ketika pintu terbuka dari luar. Hanafi dan Udin berdiri di depan pintu. Mata Hanafi terpaku menatap Arini dan dua koper di kiri kanannya.
“Kamu tetap akan pergi?” Suara Hanafi bergetar. Arini meneguk ludahnya.
“Iya.”
“Tidak adakah yang bisa membuatmu untuk tetap di sini?”
“Entahlah.” Arini menunduk. Hatinya sedikit bimbang.
“Sampai kapan?” Mata Hanafi tidak lepas dari Arini.
“Aku juga tidak tahu.” Arini kembali mengangkat wajahnya dan mata mereka bertemu. Dada Arini berdesir halus. Bayangan kemesraan tadi malam kembali melintas di matanya.
“Apakah kamu akan kembali?”
“Tentu.” Arini mengangguk.
“Baiklah.” Hanafi juga mengangguk. Sementara Udin, Etek Pia, Etek Halimah menatap kedua orang anak manusia itu dengan hati yang perih. Etek Halimah sudah tidak dapat menahan air matanya. Pipi tuanya telah basah oleh air mata. Dadanya terasa sakit. Amat sakit.
Beberapa detik berikutnya, terdengar suara klakson mobil di luar pagar. Semua melihat ke arah luar. Dalam cahaya yang masih temaram, terlihat sebuah taksi telah berhenti di depan pagar rumah. Jantung Hanafi seakan berhenti berdetak. Akhirnya perempuan ini benar-benar pergi. Lalu apa artinya penyerahan dirinya tadi malam? Apa artinya kemesraan yang telah mereka reguk tadi malam? Apakah memang tidak berarti apa-apa sama sekali? Hati Hanafi serasa tercabik.
“Aku pamit.” Arini maju selangkah dan mengulurkan tangannya. Hanafi mengangkat tangannya yang serasa sudah tidak bertulang. Mereka berjabat tangan dan untuk beberapa detik saling menggenggam. Arini menunduk dan mencium punggung tangan Hanafi. Mata Hanafi tiba-tiba terasa panas. Dadanya menjadi begitu sesak. Bibir lembut Arini menyentuh punggung tangannya.
“Boleh aku memelukmu?” Hanafi mengembangkan tangan. Arini mengangguk. Hanafi langsung merengkuh tubuh Arini ke dalam pelukannya. Bening yang sedari tadi ditahan Arini akhirnya jatuh juga membasahi pipinya. Hanafi juga sama. Air mata telah menggenang di pelupuk matanya. Sudah berapa lama ia tidak pernah menangis. Rasanya sudah sangat lama.
Etek Pia dan Etek Halimah terisak. Mereka berdua sama-sama berdoa, semoga ada keajaiban. Semoga Arini memilih untuk tetap di sini.
“Aku pergi. Maafkan jika selama menjadi istri Uda, aku belum bisa menjadi istri yang baik.” Arini merenggangkan pelukannya. Hanafi tercekat, banyak yang ingin dikatakannya. Tetapi, kata-katanya tertahan di tenggorakan.
Pelukan Hanafi terlepas. Arini berbalik dan mengulurkan tangan pada mertuanya. Etek Halimah menyambut tangan Arini dengan tubuh bergetar. Arini memeluk mertuanya dengan erat.
“Maafkan Arini, Tek. Maafkan jika bakti Arini pada Etek belum sempurna.” Arini berkata di sela isakannya. Etek Halimah menggeleng.
“Tidak, Nak. Engkau telah melaksanakan tugasmu dengan sangat baik. Terima kasih untuk semua kebaikanmu.” Etek Halimah berkata dengan suara parau. Etek Halimah serasa akan mengantarkan anak kesayangannya ke liang lahat. Begitu perih.
Arini merenggangkan pelukannya dan menatap wajah mertuanya sekali lagi.
“Sehat terus, ya, Tek.” Arini mencoba tersenyum, meski senyumnya adalah senyum kepedihan. Etek Halimah sudah tidak sanggup lagi berkata apa-apa. Arini lalu mendekati Etek Pia. Menyalami perempuan yang telah dianggapnya sebagai pengganti ibu kandungnya itu. Lalu memeluknya untuk yang terakhir kalinya.
“Titip Udin dan Etek Halimah, ya, Tek.” Arini berbisik di telinga Etek Pia.
“Ya, Nak. InsyaAllah semua amanatmu akan Etek laksanakan.”
“Terima kasih, Tek.”
“Jaga dirimu baik-baik, Nak.” Etek Pia kembali terisak.
“Ya, Tek.” Arini mengangguk. Lalu Arini mengusap kedua pipinya dengan kedua telapak tangannya. Arini berbalik dan bersiap mengambil kopernya. Tetapi, Hanafi telah duluan melakukannya. Hanafi berjalan ke luar rumah menuju pagar. Sebelum mengikuti langkah Hanafi, Arini berhenti di samping Udin.
“Udin, Uni berangkat, ya. Ingat semua pesan Uni, ya, Dek.” Arini mengusap kepala Udin dengan sayang.
“Ya, Ni. Udin akan menjadi orang yang sukses seperti yang Uni katakan.” Udin mengangguk dengan mata yang juga basah. Arini tersenyum bahagia. Lalu Arini pun melangkahkan kakinya menyusul Hanafi yang telah berdiri di samping taksi.
Kedua kopernya telah masuk ke dalam taksi. Hanafi membukakan pintu untuk Arini. Arini menatap Hanafi beberapa saat sebelum masuk ke mobil. Hanafi mencoba tersenyum, tetapi rasanya tidak bisa. Pintu mobil ditutup. Lalu dalam hitungan detik, mobil pun bergerak meninggalkan Hanafi.
Hanafi menatap taksi yang membawa Arini, sampai taksi itu tidak lagi kelihatan. Hanafi kembali masuk ke dalam rumah. Sebelum menuju ke kamarnya, Hanafi melihat uminya duduk menangis di ruang keluarga. Hanafi tidak berani untuk mendekati. Akhirnya Hanafi masuk ke kamarnya.
Laki-laki itu duduk di pinggir tempat tidur. Hanafi tercenung. Ada yang terasa hilang dari hatinya. Dunianya mendadak terasa lengang. Hanafi serasa pulang dari pemakaman, serasa pulang dari mengantarkan orang terkasih ke liang lahat.
Hanafi melangkah menuju kamar Arini. Hanafi berdiri menatap setiap sudut kamar bernuansa merah jambu ini. Hanafi membuka lemari pakaian Arini. Masih terdapat beberapa pakaian Arini di lemari. Hanafi mengambil salah satu gamis yang pernah dipakai Arini ke rumah sakit. Gamis berwarna hijau botol.
Hanafi memegang gamis itu dengan kedua tangannya. Lalu dengan tangan gemetar, diangkatnya ke atas. Penuh perasaan Hanafi mencium gamis istrinya itu. Aroma citrus fruity memenuhi rongga hidungnya. Wangi ini yang diciumnya tadi malam ketika mereka bercinta.
Ya … baru tadi malam mereka melakukannya. Arini menyerahkan dirinya dengan sepenuh jiwa pada Hanafi. Apakah itu tidak berarti Arini mendambanya? Mencintainya?
Lalu kenapa sekarang ia tetap pergi? Apakah perempuan itu sengaja melakukan hal ini padanya? Sengaja ingin mempermainkannya? Masih terbayang pancaran penuh kerinduan di mata istrinya itu. Masih terbayang kobar api asmara di wajah cantik istrinya itu. Mereka memang baru melakukannya sekali, tetapi Hanafi bisa memastikan kalau Arini benar-benar mencintainya. Cara perempuan itu melayaninya tadi malam menunjukkan tentang perasannya pada Hanafi.
Tiba-tiba Hanafi bangkit dengan tergesa. Hanafi memeriksa meja belajar Arini mencari sesuatu. Tetapi, Hanafi tidak menemukan apa-apa. Hanafi memperhatikan dinding kamar Arini, tetapi juga kosong. Lalu dibukanya laci lemari, diacaknya isi laci dengan tergesa. Tetap tidak tetap tidak menemukan apa-apa.
Hanafi kembali ke kamarnya. Matanya menyapu seluruh isi kamar. Hanafi bersorak ketika matanya menemukan apa yang sedang ia cari. Kunci kontak mobil. Tergesa, Hanafi mengganti sarungnya dengan celana jeans, mengganti baju kokonya dengan kaos berwarna putih. Lalu disambarnya kunci mobil yang dibawahnya terdapat sebuah kertas. Hanafi membacanya sekilas. Arini menitipkan mobilnya pada Hanafi. Hanafi dipersilakan untuk menggunakannya setiap hari. Dada Hanafi kembali terasa sesak.
Hanafi ke luar kamar dan mencari uminya. Uminya sudah tidak ada di ruang keluarga. Hanafi menuju kamar tamu. Tanpa mengetuk, Hanafi membuka pintu kamar. Mata Hanafi terpaku melihat umi dan Annisa sedang membereskan barang-barangnya dan memasukkannya ke dalam sebuah tas besar. Hanafi berjalan mendekat.
“Umi mau ke mana?” Hanafi menatap Uminya dengan bingung.
“Kami mau kembali ke rumah gadang. Arini sudah tidak ada di sini. Tidak pantas lagi jika kami masih tetap tinggal di sini.” Uni menjawab datar tanpa menoleh pada Hanafi. Untuk kesekian kalinya Hanafi merasakan perih di ulu hatinya.
“Umi, Hanafi minta nomor telepon Arini.” Hanafi berkata tanpa berani menatap uminya.
“Enam bulan menikah, kamu tidak menyimpan nomor telepon istrimu? Sekarang Umi sadar, memang sudah sepantasnya Arini pergi.” Umi berkata dengan kasar. Hanafi menjatuhkan dirinya di hadapan sang ibu.
“Umi, maafkan Hanafi. Hanafi telah melakukan kesalahan besar. Hanafi akan segera memperbaikinya. Masih ada waktu, Mi. Hanafi akan segera menyusul Arini dan akan membawa Arini kembali pulang ke rumah ini.” Hanafi meraih tangan uminya dan meletakkannya di atas kepalanya. Tidak dapat ditahan, hati sang umi pun luruh.
Melihat mata merah anaknya yang tergenang cairan bening, umi pun meraih kepala Hanafi dan mengusapnya dengan penuh kasih. Sementara Annisa hanya terdiam di sudut kamar. Pipi gadis itu juga telah basah oleh air mata.
Annisa sedih, Arini tidak mencarinya sebelum berangkat tadi. Kemarin memang kakak iparnya itu telah pamit padanya dan memberinya sebuah ATM. Arini berjanji akan mengirimi Annisa uang setiap bulan untuk biaya sekolah dan jajannya. Meski Annisa menolak, tetapi Arini tetap bersikeras memberikan ATM tersebut pada Annisa.
“Pergilah, Nak. Cepat kejar istrimu. Bawa dia kembali pulang.” Umi terisak seraya menarik tubuh Hanafi agar berdiri. Hanafi bangkit dan mengambil tangan uminya.
“Tolong restui dan ridhoi Hanafi, Umi.” Laki-laki itu berkata dengan suara parau. Umi mengangguk.
“Iya, Nak. Umi merestui dan meridhoi setiap langkahmu. Pergilah cepat sebelum terlambat.” Umi mengambil ponselnya dari atas meja rias dan membuka kontak yang ada di dalamnya.
“Ini nomor Arini.” Umi mengulurkan ponsel di tangannya pada Hanafi. Hanafi menerimanya dan segera memindahkan nomor tersebut ke ponselnya.
“Ini, Mi. Hanafi berangkat, Mi.” Hanafi mencium kembali tangan uminya.
“Ya, Nak. Hati-hati.” Umi mengangguk seraya menerima ponselnya kembali.
Hanafi ke luar dari kamar dan setengah berlari menuju pintu depan. Dalam hitungan detik, Hanafi telah berada di dalam mobil Arini. Setelah membaca Basmallah, mobil pun keluar dari garasi. Lalu detik berikutnya mobil berwarna silver itu telah berada di jalan raya.
Hanafi mengeluarkan ponsel dan mencari nomor Arini yang telah disimpannya dengan tangan kiri. Setelah bertemu, Hanafi menekan tombol hijau dan mendekatkan di telinganya.
Tut … tut … tut … Nada sibuk menyambut sambungan telepon Hanafi. Hanafi melempakan ponselnya begitu saja ke kursi di sampingnya. Dan kembali memacu laju mobil dengan kecepatan maksimal.
Hanafi melirik jam di depannya. Pukul 06.40. Penerbangan ke Jakarta biasanya di pukul 08.30. Ia masih memiliki banyak waktu. Tetapi, Hanafi harus tetap mempertahankan laju mobilnya seperti ini. Melewati Padang Lua, masuk Padang Panjang. Lalu lintas masih normal. Hanafi tidak henti merapalkan doa agar bisa sampai di bandara sebelum Arini masuk ke pesawat.
Turun dari Padang Panjang menuju Silaiang, kendaraan mulai terlihat melambat. Barisan kendaraan seperti ular yang beringsut dengan amat lamban. Hanafi memukul stir mobilnya dengan rasa putus asa. Lima belas menit, belum juga terlihat kemajuan. Jalan sepertinya dibuka tutup. Entah apa yang terjadi di bawah sana.
Astaghfirullahalazim. Hanafi mengucap istighfar berulang kali. Namun keadaan tidak juga membaik. Hampir setengah jam lebih, akhirnya Hanafi bisa juga melewati pusat kemacetan. Ternyata penyebabnya sebuah mobil truk yang terbalik di tengah jalan. Sehingga jalan harus buka tutup untuk melewatinya.
Lepas dari Silaiang, Hanafi memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Pukul 08.15 Hanafi sampai di bandara. Dari parkiran Hanafi berlari menuju pintu keberangkatan. Setelah memperlihatkan kartu identitas dokternya kepada petugas dan sedikit berbohong jika ada pasiennya yang sedang membutuhkan pertolongannya di dalam, Hanafi akhirnya bisa masuk ke ruang tunggu.
Hanafi menyisiri kursi demi kursi. Tetapi tidak ditemukannya sosok yang dicarinya. Hanafi mendekati petugas yang menjaga di pintu gate 2. Petugas menunjuk pesawat yang sedang berada di landasan. Pintu pesawat terlihat mulai ditutup. Hanafi memohon agar diizinkan mendekati pesawat. Tetapi petugas mengangkat tangannya.
“Itu pesawat pertama yang berangkat hari ini, Dek?” Hanafi memastikan sekali lagi pada petugas.
“Ya, Pak.” Petugas berseragam hijau dengan bis putih itu mengangguk.
“Tujuannya?”
“Jakarta, Pak.”
“Terima kasih, Dek.” Hanafi berbalik dan melangkah gontai meninggalkan ruang tunggu. Hanafi seperti sedang melepaskan sebuah jiwa yang telah sekian lama menyatu dalam dirinya. Lengang, hampa, Hanafi merasa seorang diri saat ini. Bagaimana ia akan mengatakan pada uminya kalau Arini benar-benar telah pergi. Bagaimana ia akan menghadapi uminya jika pulang ke runah tanpa Arini.
Hanafi berjalan lemah menuju parkiran. Dalam hati, Hanafi bertekad akan mencari Arini meski ke ujung dunia sekalipun.
***************
Pukul 07.10, Arini sampai di Bandara Internasional Minangkabau. Arini turun dari mobil dan langsung menuju bagasi mobil. Supir taksi telah menurunkan kedua kopernya. Setelah mengucapkan terima kasih dan membayar uang taksi, Arini mendorong kedua kopernya ke pintu masuk keberangkatan.
Setelah melewati pintu pemeriksaan penumpang dan barang, cek in di meja petugas, akhirnya Arini bisa duduk di ruang tunggu. Arini hanya memegang tas sandangnya. Kedua kopernya telah masuk ke dalam bagasi.
Arini mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Ponselnya memang telah dimatikannya sejak berangkat tadi. Dibukanya penutup baterai lalu diambilnya kartu telepon dari tempat kartu. Arini menggantinya dengan kartu yang baru. Arini telah berpesan pada Pak Syafril, Uda Jafar, Mak Munin, Etek Pia, hanya Arini yang akan menghubungi mereka. Mereka hanya bisa menghubungi Arini jika ada keperluan yang mendesak. Dan Arini juga berpesan, tidak ada yang boleh memberikan nomor ponselnya kepada siapapun. Meski itu suaminya sendiri atau bahkan mertuanya.
Hari ini, Arini akan memulai semuanya dari nol. Ia akan melupakan semua hal menyangkut pernikahannya yang menyedihkan. Ia akan melupakan Hanafi.
Ya … laki-laki itu ternyata tidak menahan kepergiannya sedikitpun. Apalagi yang harus diragukan Arini? Bukankah itu sudah menunjukkan kalau Hanafi memang menginginkan kepergiannya? Bukankah itu telah menjadi bukti, jika tidak ada sedikitpun nama Arini di hati suaminya itu.
Sakit? Terluka? Tentu saja. Luka itu makin menganga di hatinya. Tetapi Arini tidak akan menangisi takdirnya. Tidak akan menangisi laki-laki yang tidak pernah mencintainya itu. Cukup sudah ia bertahan selama enam bulan. Menghadapi sikap dingin suaminya dengan sabar, menyaksikan pengkhianatan suaminya dalam diam. Sekarang sudah saatnya Arini lepas dari ikatan yang tidak jelas muaranya ini. Sudah saatnya Arini memikirkan dirinya sendiri. Kebahagiaannya, masa depannya, dan hari esok yang lebih baik.
Panggilan dari suara pengeras untuk keberangkatan maskapai penerbangan yang tertera di tiket Arini telah terdengar untuk ekdua kalinya. Arini bangkit dari tempat duduknya. Dan mengikuti langkah penumpang lainnya yang sama-sama bergegas menuju pintu dua, Arini berjalan dengan tubuh yang terasa lebih ringan.
Selamat tinggal ranah Minang. Selamat tinggal kampung halaman. Arini berbisik dalam hati. Matanya kembali terasa panas. Tetapi kali ini bukan lagi karena Hanafi.
Meninggalkan kampung halaman untuk jangka waktu yang tidak ia tahu, membuat hatinya sedih. Walau bagaimanapun, di sinilah ia dilahirkan. Di sinilah ia dibesarkan. Ia mencintai ranah minang. Mencintai semua hal yang ada di sini. Tapi ia harus meninggalkan semuanya. Apakah ia kalah? Tidak! Arini tidak merasa kalah. Ia ya menentukan nasibnya sekarang, dengan izin Tuhan tentunya. Ia telah mengambil sikap. Ia telah berani mengambil keputusan besar ini. Arini tersenyum dengan mata mengembun.
Tinggalah kampuang …
Tinggalah ranah Minang …
Suatu saat, andai ia merasa sudah saatnya untuk kembali
Ia pasti akan pulang
Arini duduk di kursi dekat jendela. Pesawat baru saja lepas landas. Posisi pesawat yang menukik ke atas seperti ini selalu membuat kepala Arini terasa berat. Dadanya sesak seperti kekurangan oksigen. Setelah itu rasa mual melengkapi penderitaannya. Arini memejamkan mata untuk mengusir rasa pusing dan rasa mualnya.
“Tidak jadi melanjutkan kuliah di Jakarta?” Arini mendengar laki-laki di sebelahnya berbicara. Suaranya sudah sangat akrab di telinga Arini. Arini menoleh dengan kening berkerut.
“Dokter?” Arini setengah berteriak karena kaget.
“Hai, ternyata kita satu penerbangan, ya.” Dokter Adrian tersenyum jahil pada Arini. Arini mendadak merasa beku.
“Dokter mau ke mana?” Arini menatap dokter Adrian dengan tatapan curiga.
“Sama seperti kamu. Jogyakarta.” Dokter Adrian menjawab santai. Mata Arini menyipit. Benarkah ini suatu kebetulan yang tidak disengaja?
“Santai saja, namanya penerbangan umum, siapa saja, ya, bisa ikut terbang.” Dokter Adrian lagi-lagi tersenyum menggoda. Wajah Arini langsung memerah karena laki-laki ini telah membaca isi hatinya.
“Kenapa akhirnya memilih kuliah di Jogya?” Adrian melirik Arini.
“Nggak apa-apa.” Arini menjawab singkat. Jujur Arini tidak nyaman rasanya. Laki-laki ini seperti mengikutinya. Walau bagaimana pun ia masih istri seseorang. Dan ia harus bisa menjaga nama baik suaminya, menjaga nama baik keluarganya.
“Aku ada seminar di Jogya. Kebetulan setelah kamu beli tiket kemarin, aku juga beli tiket di travel yang sama. Tidak sengaja aku melihatmu ke luar dari kantor travel tersebut. Kebetulan berikutnya, pegawai travel itu sepupu aku. Jadi pas aku minta tolong di cek in kan secara on line, aku minta dicarikan kursi yang berdekatan denganmu.” Adrian berkata panjang lebar untuk menghilangkan berbagai pertanyaan di dada Arini.
Arini baru tersadar, pantas pas cek in tadi, prosesnya cepat. Petugas hanya mengurusi masalah bagasinya.
“Cuma yang aku heran, kenapa kamu memilih penerbangan yang transit dulu di Jakarta? Padahal kan ada pesawat yang langsung ke Jogya.”
“Tidak apa-apa, Dokter.” Arini kembali menjawab singkat.
“Kamu sedang menghindari seseorang?” Dokter Adrian menatap Arini dari samping. Arini memalingkan wajahnya ke arah jendela.
“Dokter, maaf, kepala saya pusing sekali. Saya izin tidur, ya.” Tanpa menjawab pertanyaan sang dokter, Arini meminta izin untuk segera beristirahat.
“Mau minum obat?” Adrian merogoh tas kecilnya.
“Tidak usah, Dokter. InsyaAllah dengan tidur beberapa saat, pusingnya akan hilang.” Arini mulai mencari posisi yang nyaman dan memejamkan matanya. Adrian menarik napas panjang. Arini sepertinya tidak ingin diganggu. Barangkali Arini memang sedang butuh sendiri. Adrian mencoba untuk mengerti.
Bersambung ….
Bonus di hari minggu.