Judul: “Bias Rindu”
Penulis: Naya R
Terima kasih admin/moderator telah menyetujui tulisan ini.
Terima kasih pembaca setia Arini yang selalu sabar menanti kelanjutan cerita ini.
Sudah satu minggu Arini berada di Jogja. Adrian telah pulang ke Bukit Tinggi sejak tiga hari lalu. Arini akhirnya menerima ajakan Dona untuk bergabung kos dengan Dona. Entah mengapa Arini merasa nyaman berteman dengan Dona dan merasa nyaman juga berada di rumah kontrakan sepupu Adrian itu.
Ujian pascasarjana untuk program gizi dan kesehatan masyarakat masih satu bulan lagi. Untuk menghabiskan waktu, Arini mengikuti les toefl dan membeli beberapa buah buku teori tentang ilmu gizi. Di sore hari, Arini menjelajahi Malioboro seorang diri. Ada saja pernak pernik yang dibelinya. Mulai dari sandal batik, dompet pandan, miniatur sepeda, becak, Borobudur, sampai rok dan daster batik.
Meski hanya seorang pendatang baru, tetapi Arini menyukai kota pelajar ini. Menurut Arini, kota ini tenang dan penuh keramahtamahan.
Terkadang Arini ikut dengan Dona ke kampus. Selama Dona berada di kelas, Arini akan duduk di perpustakaan universitas. Perempuan yang memang hobi membaca ini, betah duduk berjam-jam di perpustakaan. Jika bosan dengan buku teori, ia akan melahap buku fiksi.
Siangnya, Dona akan datang menjemput. Lalu mereka berdua pulang ke kontrakan, setelah membeli makan siang.
Arini sengaja menyibukkan diri agar ia bisa melupakan Hanafi. Tidak bisa dipungkiri, diam-diam ia merindukan sosok tampan suaminya itu. Meski laki-laki itu tidak pernah bersikap baik padanya, tetapi Hanafi adalah laki-laki pertama yang pernah dekat dengannya. Setiap malam, Arini menangis mengingat suaminya. Mengingat semua yang telah dialaminya. Arini tidak dapat lagi mengingkari, ia mencintai Hanafi. Ia telah menyerahkan seluruh hatinya untuk laki-laki itu.
Sebelum tidur, Arini selalu membuka galeri di ponselnya. Dipandanginya satu demi satu foto Hanafi yang tersimpan di sana. Semua foto pernikahan mereka lengkap di ponselnya. Arini tersenyum melihat wajah kaku suaminya itu. Tidak ada senyum, tidak ada pancaran kebahagiaan di matanya. Sedetik kemudian air mata akan membasahi pipi mulusnya. Sedih kembali menggayuti ruang hatinya mengingat penolakan sang suami terhadap dirinya. Mengingat tidak ada cinta dan kasih di hati laki-laki itu untuknya.
Setelah puas memandang foto-foto Hanafi, Arini akan meletakkan ponselnya dan segera tidur dengan satu untaian doa, agar ia bisa mengiklaskan Hanafi dan mengiklaskan pernikahan mereka.
Hari ini Arini akan mendaftar di pascasarjana UGM. Arini telah mempersiapkan semua persyaratan yang dibutuhkan. Tetapi, begitu ia akan bangun untuk sholat malam seperti biasanya, Arini merasakan pusing yang membuat ia berbaring kembali. Sampai azan subuh berkumandang, perempuan bertubuh ramping itu masih saja tidak bangkit dari tempat tidur.
Setelah azan berakhir, Arini memaksakan dirinya untuk bangun dan turun. Namun, tiba-tiba rasa pusing di kepala menimbulkan rasa mual yang mendorong sesuatu ke luar dari mulut Arini. Untung saja, perempuan berkulit putih itu telah berada di pintu kamar mandi. Sisa makanan yang dimakannya tadi malam, tumpah di atas lantai. Air mata Arini sampai ke luar karena beberapa kali ia memuntahkan isi perutnya.
“Arini, ada apa?” Dona yang mendengar suara hoek-hoek langsung menuju kamar Arini. Dona telah berdiri di pintu kamar. Arini memalingkan wajahnya seraya mengusap sudut bibirnya yang basah oleh bekas muntah.
“Nggak tahu, Dona. Tiba-tiba aku merasa pusing dan mual.” Arini menjawab lemah.
“Ya, sudah. Kamu berbaring lagi, ya. Biar aku bersihin kamar mandinya.” Dona masuk dan berdiri dibelakang Arini.
“Aku mau sholat subuh, Don.” Arini mengambil air dengan gayung dan menyiram lantai bekas muntahannya.
“Kamu kuat, Rin?” Dona mengurut punggung Arini dari belakang.
“InsyaAllah kuat, Dona.” Arini mengangguk.
“Oke, aku tungguin di kamar, ya.” Dona berbalik dan berjalan ke tempat tidur Arini. Gadis hitam manis itu duduk di atas kasur menunggu Arini yang telah masuk ke kamar mandi.
Tidak berapa lama, Arini ke luar dari kamar mandi. Wajahnya telah segar oleh air wudu.
“Masuk angin, ya?” Dona menatap Arini prihatin.
“Kayaknya, iya.” Arini mengangguk seraya mengambil mukenanya.
“Kamu sholat dulu, ya. Aku bikinkan teh hangat.” Dona beranjak dan ke luar dari kamar. Arini membentangkan sajadah dan memakai mukenanya. Tidak berapa lama, ia telah khusyuk menghadapkan hati dan jiwanya pada sang pencipta.
******
Sudah satu minggu Arini pergi. Hanafi masih mencoba bertahan berada di rumah istrinya. Etek Pia menggantikan tugas Arini dalam melayani makan, minum, dan pakaian dokter tampan itu. Tetapi, Hanafi jarang sekali menyentuh makanan yang telah dihidangkan Etek Pia untuknya. Ia tetap duduk di kursi biasanya ia duduk. Namun yang dilakukannya hanya menatap makanan di depannya.
Setelah itu, ia bangkit dan pamit pada Etek Pia. Jika tidak masuk kamar, laki-laki itu akan berjalan-jalan menikmati kota Bukit Tinggi. Etek Pia hanya menatap Hanafi dengan hati perih. Wanita paruh baya itu bisa membaca semua yang terjadi antara Hanafi dan Arini.
Jalan kaki mulai dari simpang kantin sampai jam gadang, menjadi hobi Hanafi saat ini. Jika sedang tidak dinas, ia akan menikmati suasana sore hari di kota wisata itu.
Jika sedang berada di rumah, kamar Arini yang bernuansa pink menjadi tempat favorit Hanafi berdiam diri. Menikmati kesendirian dan kesunyiannya. Bayangan wajah Arini, senyum manisnya dan tatapan terluka istrinya itu, menjadi hiburan yang memabukkan sekaligus menyedihkan bagi Hanafi.
Di dalam diri Hanafi sebenarnya terjadi perang batin. Setengah hatinya ingin sekali mencari dan menemukan istrinya kembali. Tetapi hatinya yang lain memunculkan rasa ego dan harga dirinya sebagai seorang laki-laki dan sebagai seorang suami.
Sering Hanafi menanyai dirinya, apakah ia mencintai Arini? Jujur, ia juga tidak tahu. Tetapi bayangan istrinya itu selalu saja menghiasi setiap gerakan dan aktivitasnya. Ada yang terasa hilang di sudut hatinya. Ada rasa lengang yang tak mampu diungkapkannya.
Tetapi, kepergian Arini juga menantang dirinya. Ia harus bisa membuktikan bahwa seorang Hanafi akan baik-baik saja meski ditinggal pergi oleh istrinya. Hanafi tidak ingin Arini sampai tahu jika ia seperti seseorang yang hidup dan berjalan tanpa jiwa. Laki-laki itu tidak ingin Arini tahu jika ia seperti kehilangan semangat hidup. Ego dan harga dirinya terlalu tinggi untuk mengakui dan mengungkapkan semua itu.
Minggu kedua, Hanafi benar-benar sudah tidak sanggup lagi berada di rumah Arini. Hanafi pulang ke rumahnya, ke rumah gadang.
“Assalammualaikum.” Hanafi mengucapkan salam dan mendorong pintu kayu di depannya. Sepulang dari dinas sore, Hanafi langsung menuju ke rumah uminya. Tidak ada sahutan. Hanafi masuk dan berjalan pelan mengitari rumah gadang yang juga terlihat lengang. Hanafi sampai di dapur. Matanya langsung tertuju pada sosok tua yang tengah duduk termenung di jendela dapur.
“Umi.” Hanafi datang mendekat. Perempuan yang rambutnya telah memutih itu memalingkan wajah. Wajah yang sedari tadi muram, kini terlihat sedikit cerah.
“Hanafi.” Perempuan paruh baya itu menyebut nama anaknya lirih. Mata tuanya tiba-tiba berkabut.
“Umi sedang apa?” Hanafi jongkok di depan uminya.
“Tidak ada. Apalah lagi yang bisa dilakukan oleh perempuan di usia senja seperti Umimu ini, Nak.” Umi mengusap lembut rambut anak sulungnya. Hanafi menelungkupkan wajahnya di pangkuan sang ibu.
“Kelak jika ada kaki-kaki kecil yang berlarian di rumah ini, barulah mungkin Umi punya pekerjaan dan kegiatan yang bisa membunuh rasa sepi ini.” satu tetes bening jatuh di pipi yang mulai terlihat keriput itu. Hanafi mengangkat wajahnya. Ucapan wanita yang telah melahirkannya itu, menghujam tepat ke ulu hatinya.
“Maafkan Hanafi, Umi.” Hanafi mengambil tangan uminya dan menciumnya dengan mata yang juga terasa kabur.
“Tidak apa, Nak. Mungkin memang sudah takdir-Nya begini.” Umi Halimah mencoba tersenyum.
“Umi ingin Hanafi bagaimana?”
“Dulu Umi pernah mengungkapkan keinginan dan harapan Umi padamu, Nak. Tetapi, kamu menjadi tersiksa karenanya. Karenanya Umi tidak ingin lagi mengungkapkan harapan dan keinginan Umi. Umi tidak ingin menyiksamu, Nak.” Kali ini Umi Halimah terisak. Hanafi merasakan dadanya perih mendengar ucapan wanita yang amat dicintainya ini.
“Aku memikirkannya setiap hari Umi. Aku baru menyadari kalau aku ternyata membutuhkannya. Tetapi, sayangnya aku terlambat Umi. Dia benar-benar pergi dan menghilang. Ponselnya tidak aktif. Etek Pia bilang, nomor ponselnya sama seperti yang Umi berikan. Dan itu tidak bisa dihubungi.” Hanafi berkata dengan putus asa.
Umi Halimah memandang ke luar jendela. Rembang petang terlihat mulai temaram. Umi Halimah percaya jika anaknya berkata jujur. Tetapi, apa yang bisa dilakukannya sekarang? Ia tidak bisa berbuat apa-apa. Sebagai seorang ibu, ia tidak bisa membantu anaknya. Dan itu menyedihkan.
“Ke mana Hanafi harus mencari Arini, Mi?” Hanafi menggoyang tangan uminya.
“Berdoalah, Nak. Minta petunjuk pada yang di atas.” Umi Halimah mengusap kembali kepala anaknya. Berdua mereka terisak dalam diam.
Azan magrib berkumandang. Hanafi bangkit dari hadapan Umi Halimah.
“Mandi dan sholatlah. Setelah itu segeralah pulang.” Umi ikutan bangkit dan berjalan menuju kamar mandi di belakang dapur.
“Mi, izinkan aku tidur di sini, malam ini.” Hanafi berkata dengan suara parau. Umi menghentikan langkahnya dan berbalik menatap anaknya. Tatapan penuh luka di mata sulungnya meluluhkan hati wanita berhati mulia itu.
“Ya, Nak. Tidurlah di kamarmu.” Umi akhirnya berkata lirih.
“Terima kasih, Mi.” Hanafi merasa lega dan berjalan cepat menuju kamarnya. Ia ingin sholat berjamah ke masjid yang tidak terlalu jauh dari rumah gadang.
******
Hanafi berdiri di depan gedung Pasca Ilmu Gizi UI. Sudah dua hari Hanafi berada di sini. Laki-laki itu duduk dari pagi sampai siang di bangku koridor fakultas. Ia perhatikan satu demi satu mahasiswi yang lewat di depannya. Harapannya hanya satu, menemukan wajah Arini di antara sekian banyak mashasiswa yang lalu lalang tersebut. Tetapi, sampai hari keempat, Hanafi harus menelan kekecewaan. Tidak ditemukannya wajah perempuan yang selalu menghiasi hati dan pikirannya beberapa waktu belakangan ini.
Akhirnya Hanafi kembali menemui salah seorang pegawai pascasarjana. Hari pertama menginjakkan kaki di kampus ternama ini, Hanafi tidak bisa mendapatkan info apa-apa. Karena menurut pegawai tersebut, mereka dilarang memberikan informasi pegawai maupun mahasiswa kepada siapapun.
Hanafi sampai memperlihatkan kartu identitasnya untuk meyakinkan pegawai perempuan tersebut. Dengan melupakan rasa malu, Hanafi mengatakan bahwa ia sedang ada masalah dengan istrinya. Dan istrinya mengatakan akan mengambil magister ke univerisitas ini. Meski tidak yakin dengan apa yang dikatakannya, tetapi Hanafi mencoba bicara setenang mungkin.
Akhirnya, perempuan berusia empat puluhan di depannya luluh juga. Melihat kesungguhan dan kaca-kaca di mata dokter muda tersebut, perempuan yang memperkenalkan diri sebagai Bu Indah itupun membuka data di komputernya. Hanafi menunggu dengan dada berdebar-debar. Harapannya terlalu besar agar salah satu nama yang ada di computer tersebut adalah nama Arini Prasetia Kasih.
“Maaf, Pak. Tidak ada mahasiswa pascasarjana program Ilmu Gizi yang bernama Arini Prasetia Kasih.” Bu Indah menyampaikan informasi yang membuat tulang-tulang Hanafi terasa lemah.
“Oh, iya, Bu. Terima kasih. Mungkin istri saya tidak jadi mengambil S2-nya di sini.”
“Ya, Pak. Sama-sama.” Bu Indah menatap wajah Hanafi dengan prihatin.
“Saya permisi, Bu.” Hanafi pamit seraya menangkupkan kedua tangannya ke dada.
“Baik, Pak.” Bu Indah mengangguk.
Hanafi meninggalkan ruang kantor pascasarjana Ilmu Gizi dengan langkah gontai. Ternyata Arini benar-benar ingin menghilang darinya. Tidak meninggalkan pesan apapun padanya. Apa kesalahannya terlalu fatal sehingga istrinya itu melakukan hal seperti ini kepadanya? Hanafi mengusap wajahnya dengan kasar.
Ditinggalkannya kampus UI dengan hati lemah. Lengang serasa mengukung dirinya. Padahal ia tengah berada di hiruk pikuknya kota. Hanafi berjalan menuju halte terdekat. Ia akan segera pulang ke Padang.
Di Halte, Hanafi duduk memandang lalu lalang kendraan yang lewat di depannya. Mulai hari ini, ia akan menutup hatinya dari segala rasa yang akan menyulitkan hidupnya. Hanafi bertekad untuk melupakan Arini, melupakan perasaan cinta yang baru saja tumbuh. Namun, perempuan itu membunuhnya dengan kejam.
Ponsel di kantong celananya bergetar. Hanafi mengambil dan membuka aplikasi di ponselnya. Sebuah pesan WA masuk. Hanafi membukanya. Ternyata pesan dari Bella.
“Uda, aku dengar Arini telah pergi meninggalkan Uda. Aku turut prihatin.”
Hanafi membacanya dan menutup ponselnya kembali. Tidak ada niat dan keinginannya untuk membalas pesan dari mantan kekasihnya itu. Cinta memang aneh. Begitu cepat datang dan begitu cepat juga pergi. Tetapi, Hanafi tidak bisa mengerti, mengapa perasaanya pada Arini terasa begitu lain. Begitu berbeda jika dibandingkannya dengan perasaannya pada Bella. Hanya dalam hitungan hari, istrinya itu bisa menggeser posisi Bella dari hatinya.
Namun, kini ia tidak akan menghiraukan lagi semua rasa yang baru saja menghiasi ruang hatinya ini. Hanafi akan melupakan perempuan itu. Barangkali memang Arini bukan jodohnya. Ah, betapa sakitnya hati yang baru saja mencinta, tetapi harus langsung patah karena luka.
*****
Dua minggu sudah berlalu sejak Arini mengikuti ujian masuk magister Ilmu Gizi di UGM. Hari ini hasil tesnya keluar. Sejak hari itu juga kesehatan Arini menurun. Pusing dan mual masih juga menyerangnya di setiap pagi. Nafsu makannya juga menurun. Hari ini, setelah melihat hasil tes, Dona mengajak Arini untuk memeriksakan diri ke dokter.
Berdua dengan Dona, Arini menuju gedung pascasarjana Ilmu Gizi. Ternyata telah banyak calon mahasiswa S2 yang menunggu hasil pengumuman. Dona menyuruh Arini untuk duduk di bangku panjang yang ada di samping kantor pasca. Dona kasihan melihat Arini makin pucat dan tidak bersemangat. Arini menurut.
Hanya butuh beberapa menit, Dona kembali mendekati Arini.
“Alhamdulillah, Rin, kamu lulus. Selamat, ya.” Dona memeluk Arini dengan rasa gembira.
“Alhamdulillah.” Arini mengucap syukur berulang kali. Mereka berdua berpelukan. Berada di rantau orang membuat mereka menjadi cepat akrab. Rasanya sudah seperti dengan saudara sendiri.
“Makasih, ya, Don. Kamu banyak membantu.” Arini memegang kedua tangan Dona dengan erat.
“Ucapan terima kasih kamu akan aku terima dengan syarat kita ke dokter sekarang.” Dona duduk di samping Arini. Arini tersenyum.
“Baiklah. Daripada aku nggak dibantuin kalau pusing lagi nanti.” Arini memeluk pundak Dona.
“Kita pesan taksi online aja.” Dona mengambil ponselnya dan membuka aplikasi pemesanan taksi online. Tidak berapa lama ponsel Dona berdering. Taksi yang mereka pesan sedang menuju gedung pasca.
Tidak lebih dari sepuluh menit, sebuah mobil city car berhenti di depan gedung mereka duduk. Ponsel Dona kembali bordering. Ternyata itu mobil yang mereka pesan. Dona dan Arini bangkit. Mereka berjalan menuju mobil berwarna hitam dan masuk ke dalamnya. Dona menyebutkan nama klinik yang akan mereka tuju.
Hari tidak terlalu terik. Arini memandang ke luar jendela mobil. Mata Arini memperhatikan jalanan yang tidak terlalu ramai. Dan perempuan itu tersenyum melihat becak sepeda yang masih juga ada di kota ini. Sudah beberapa kali Arini naik kendraan tradisional tersebut. Arini selalu suka menikmati segar angin Jogja dari atas becak.
Hampir dua puluh menit berkendara, mereka sampai di klinik 24 jam yang dituju. Dona dan Arini turun berbarengan. Keduanya berebut membayar ongkos taksi. Selalu saja begitu setiap mereka akan membayar ongkos atau makan. Dua-duanya selalu saja ingin membayar lebih dulu.
Dona dan Arini masuk ke dalam klinik. Hanya ada dua orang pasien yang sedang antri di ruang tunggu. Dona mendaftarkan Arini di meja pendaftaran. Setelah itu, mereka dipersilakan duduk menunggu.
Lima belas menit menunggu akhirnya Arini dipanggil. Dona ikutan masuk ke ruang pemeriksaan. Dokter perempuan yang memakai kaca mata minus itu menanyakan keluhan Arini. Arini menjelaskan jika dua minggu terakhir ia sering merasa pusing, mula, sampai muntah. Selera makannya juga hilang.
Dokter yang memperkenalkan namanya sebagai Mita itu menyuruh Arini berbaring di ranjang. Arini naik dibantu Dona. Dokter lalu melakukan pemeriksaan pada Arini. Tidak butuh waktu lama, dokter Mita mempersilakan Arini duduk kembali.
“Mbak Arini sudah menikah, ya?” Dokter Mita memperhatikan biodata pasien yang sedang dipegangnya.
“Sudah, Dok.” Arini menjawab lemah.
“Kapan haid terakhir?” Dokter Mita menatap Arini dengan mata berbinar.
“Minggu pertama bulan lalu, Dok.” Arini menjawab ragu.
“Bulan ini belum ada haid, Mbak?”
“Belum, Dok.” Arini baru tersadar, ternyata bulan ini ia belum mendapat haid. Padahal udah minggu ketiga.
“Untuk memastikan diagnosa saya, Mbak harus ke dokter kandungan setelah dari sini, ya.” Dokter Mita tersenyum pada Arini.
“Dokter kandungan, Dok?” suara Arini bergetar. Bagaimana bisa, ia hanya sekali berhubungan dengan Hanafi. Bagaimana bisa ia langsung hamil? Kepala Arini serasa berputar-putar. Hatinya mendadak menjadi cemas.
“Ya, Mbak. Kalau menurut perkiraan saya, kehamilan Mbak sudah memasuki minggu keempat. Selamat, ya.” Dokter Mita mengulurkan tangannya dengan ramah pada Arini. Arini menerima uluran tangan dokter di depannya dengan gemetar.
“Ya, Dok. Terima kasih.” Arini bangkit diikuti oleh Dona. Dona diam memperhatikan perubahan wajah Arini. Sahabat yang baru dikenalnya ini memang belum bercerita banyak tentang kehidupan rumah tangganya pada Dona. Tetapi, Dona bisa melihat jika Arini kurang senang mendengar berita dari sang dokter.
Mereka ke luar dari ruang pemeriksaan. Dona bingung harus mengucapkan selamat atau tidak. Arini terlihat muram. Gadis manis itu menyuruh Arini duduk kembali di ruang tunggu. Arini menurut. Dona kemudian menyelesaikan semua urusan admistrasi. Sekalian gadis bertubuh mungil itu minta informasi tentang dokter kandungan yang terdekat dari klinik ini.
Setelah selesai, sepupu Adrian itu duduk di samping Arini.
“Kita langsung ke rumah sakit, ya? Dokter kandungan kalau pagi sampai siang praktiknya di rumah sakit. Kalau sore baru ada yang praktik di rumahnya.” Dona memegang jemari tangan Arini dan menggenggamnya dengan erat.
“Tapi, bagaimana mungkin?” Arini mendesah lalu menunduk.
“Apanya yang bagaimana mungkin?” Dona menggoyang tangan Arini.
“Oh, tidak. Baiklah kita ke rumah sakit.” Arini langsung bangkit untuk menghindari pertanyaan Dona.
"Hai, duduk lagi. Aku pesan taksi dulu.” Dona menahan langkah Arini. Arini kembali berbalik dan duduk lagi di samping Dona.
“Nggak boleh buru-buru. Kamu kan lagi hamil.” Dona mengelus perut Arini dengan senyum menggoda.
“Siapa yang lagi hamil? Tidur bersama cuma sekali doang.” Arini mencebik.
“Maksudmu, Rin?” Dona menatap Arini dengan tajam. Rasa penasarannya langsung muncul begitu mendengar ucapan sahabatnya ini.
“Ah, sudahlah. Lupakan. Ayo pesan cepat taksinya.” Arini menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Dona menarik napas panjang. Lalu mengambil ponselnya dan membuka apilkasi taksi online.
Dalam hati, Arini berdoa semoga tidak ada benih yang tertinggal di rahimnya. Jika benar ia hamil, bagaimana ia akan menjalani semua ini? Tidak mungkin anaknya tidak memiliki ayah. Tetapi, Arini juga tidak ingin jika anaknya menjadi anak yang tidak pernah diharapkan oleh bapaknya.
Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar