Judul: “Bias Rindu”
Penulis: Naya R
Terima kasih admin/moderator telah menyetujui tulisan ini.
Arini baru saja selesai sholat duha ketika pintu kamarnya di ketuk. Arini bergegas membukakan pintu. Annisa berdiri di hadapannya dengan wajah cemas.
“Ada apa, Dek?”
“Umi pusing Uni, tadi mau bangun dari tempat tidur langsung terjatuh.”
“Ya, Allah. Jadi gimana kondisi Umi sekarang?”
“Nggak apa-apa, sih, Ni. Umi sudah berbaring lagi.”
“Baiklah Dek, kita ke rumah sakit sekarang, ya.”
“Ya, Ni.”
“Kamu bisa gantiin baju Umi nggak? Uni ganti baju juga bentar.”
“Bisa, Ni.”
“Oke, setelah itu kita langsung berangkat, ya.”
Annisa mengangguk dan berbalik kembali ke kamar uminya. Arini meletakkan sajadah dan mukenanya begitu saja di atas kasur. Lalu segera mengambil gamis dan hijabnya. Hanya beberapa menit, Arini telah terlihat cantik dengan gamis dan hijab berwarna kuning gading.
Arini mengambil tas sandangnya dan kunci mobil. Setengah berlari Arini menuju kamar tamu. Membuka pintunya tanpa mengetuk. Di tempat tidur terlihat Etek Halimah duduk bersandar pada Annisa. Keduanya telah memakai jilbab, siap untuk berangkat.
“Etek masih kuat jalan?” Arini mendekati Etek Halimah. Terlihat Umi Hanafi itu mengangguk lemah.
“Ayo dek, kamu pegang Umi di sebelah kanan, Uni di sebelah kiri, ya.” Arini mengambil tangan mertuanya dan membantunya bangkit. Annisa melakukan hal yang sama. Bertiga mereka ke luar dari kamar, berjalan pelan menuju pintu depan. Etek Pia yang melihat mereka langsung datang mengejar. Setelah mengatakan kalau mereka akan ke rumah sakit membawa Etek Halimah, Arini dan Annisa pun menuntun Etek Halimah masuk ke dalam mobil. Tidak berapa lama, mobil sedan Arini ke luar dari halaman menuju jalan raya.
Jalanan kota wisata Bukit Tinggi tidak terlalu ramai. Arini bisa mengemudikan mobilnya dengan leluasa. Hanya butuh waktu setengah jam, mereka sampai di rumah sakit tempat Hanafi bertugas. Arini sengaja membawa mertuanya ke sini agar Hanafi bisa merawat uminya jika nanti sang umi harus dirawat.
Arini turun dengan tergesa. Arini meminta Annisa dan uminya menunggu di mobil, sementara Arini akan mengambil kursi roda untuk membawa Etek Halimah masuk. Setelah mendapatkan kursi roda dari depan IGD, Arini segera kembali ke parkiran.
“Arini?” Arini mendongak begitu mendengar seseorang memanggil namanya. Dokter Adrian berdiri tidak jauh dari Arini. Sepertinya laki-laki itu baru ke luar dari mobilnya.
“Ya, Dok.” Arini mengangguk hormat pada dokter Adrian.
“Buat siapa?” Dokter Adrian menunjuk kursi roda yang didorong Arini.
“Buat Umi, Dok.”
“Umi?”
“Ya, Umi Dokter Hanafi, Dok.”
“Oh, sini, biar saya aja.” Dokter Adrian langsung mengambil pegangan kursi roda dari tangan Arini.
“Eh, nggak usah, Dok.” Arini mencoba menolak.
“Sudah, nggak apa-apa. Saya lagi santai kok. Pasien saya masih 1 jam lagi.” Adrian tetap bersikeras mengambil kursi roda dari tangan Arini. Akhirnya Arini pun melepaskan tangannya.
Arini membukakan pintu mobil dan membantu menurunkan Etek Halimah berdua dengan Annisa. Etek Halimah terlihat amat lemah. Dengan susah payah, akhirnya perempuan paruh baya itu bisa duduk di kursi roda. Dokter Adrian menunggu dengan sabar.
Bertiga mereka membawa Etek Halimah masuk ke bagian poli. Adrian mengarahkan kursi roda ke ruang tunggu.
“Tunggu di sini, ya. Biar saya daftarkan dulu.”
“Biar saya aja, Dok.”
“Nggak apa-apa, santai saja. Kamu temani aja Umi.” Adrian lalu melangkah menuju bagian pendaftaran. Alhamdulillah pasien yang akan berobat belum terlalu ramai, mungkin karena masih pagi.
“Lemes banget, ya, Tek?” Arini jongkok di samping kursi roda mertuanya.
“Heh, nggak terlalu.” Etek Halimah menjawab lemah.
“Dek, beli minuman dan kue untuk Umi di sana, dek.” Arini memberikan selembar uang seratus ribu pada Annisa seraya menunjuk pojok rumah sakit yang menjual minuman dan kue-kue basah.
“Ya, Ni.” Annisa menerima uang dari Arini dan segera menuju tempat penjual kue.
“Ayo, kita ke poli umum. Dokternya sebentar lagi datang.” Adrian datang menghampiri Arini dan Etek Halimah.
“Bentar, Dok. Nunggu Annisa bentar, ya.” Arini tersenyum pada dokter Adrian. Dokter muda itu terpana untuk beberapa detik. Sejak bertemu dengan perempuan cantik ini, baru kali ini Adrian melihat senyumnya begitu lepas seperti tanpa beban.
Tidak berapa lama Annisa datang dengan tentengan di tangannya.
“Ayo!” Adrian mengambil alih lagi kursi roda Etek Halimah. Arini dan Annisa mengikuti dari belakang. Sebenarnya, Arini merasa tidak enak diperlakukan seperti ini oleh dokter Adrian. Rasanya terlalu berlebihan seorang dokter ikut mendorong pasien yang bukan apa-apanya. Melewati kantin menuju poli umum, Etek Halimah menahan kursi rodanya. Adrian pun menghentikan langkahnya. Dada perempuan yang terlihat amat pucat itu bergemuruh.
“Hanafi!” Etek Halimah seperti punya kekuatan untuk meneriakkan nama anaknya. Arini dan Annisa mengangkat wajahnya. Mata Arini terpaku, tidak jauh di samping mereka terlihat Hanafi dan Bella ke luar dari kantin.
“Umi!” Hanafi tidak kalah kagetnya. Laki-laki itu mengejar uminya. Sementara Bella hanya berdiri mematung di tempatnya.
“Umi kenapa?” Hanafi berjongkok di samping uminya. Dipegangnya tangan uminya dengan hati penuh rasa bersalah.
“Ayo, Nak. Jalan lagi.” Umi Halimah menepuk tangan Adrian yang memegang kursi rodanya.
“Biar aku aja.” Hanafi bangkit dan berniat mengambil alih pegangan kursi roda dari tangan Adrian.
“Tidak usah, kamu selesaikan dulu urusanmu dengan perempuan itu, baru nanti kamu temui Umi.” Etek Halimah mengibaskan tangan Hanafi dari belakang pundaknya. Hanafi tertegun menerima penolakan dari uminya. Sementara Arini merasakan dadanya sesak. Entah sakit, entah malu. Arini tidak tahu. Tapi rasanya Arini tidak punya muka untuk memandang Adrian, Annisa, dan juga Etek Halimah. Menjadi orang yang tidak pernah dianggap ternyata tidak hanya menyakitkan, tetapi juga memalukan.
Mata Arini terasa panas. Susah payah perempuan muda ini menahan air matanya agar tidak tumpah. Sementara Adiran sedari tadi hanya memperhatikan perubahan wajah Arini. Adrian merasa tidak tega melihat Arini memendam luka dan air matanya. Senyum yang tadi baru dilihat Adrian, sekarang berganti dengan wajah kesakitan.
“Ayo, Nak. Kita jalan.” Etek Halimah menoleh pada Adrian. Adrian mengangguk dengan sopan. Dokter rendah hati itu pun mendorong kursi roda Etek Halimah kembali. Diikuti oleh Arinid dan Annisa. Hanafi hanya bisa terpaku memandang kepergian Umi, Arini, dan Annisa.
********
Akhirnya Etek Halimah dirawat. HB mertua Arini itu jauh dibawah normal. Adrian membantu mengurus semuanya. Hati Etek Halimah menjadi amat perih melihat semua ini. Ia punya anak yang juga seorang dokter di rumah sakit ini, tetapi yang mengurusnya malah anak orang lain.
Sementara Hanafi sebenarnya ingin mengurus sendiri uminya. Tetapi Hanafi takut kalau uminya masih marah. Nanti akan berakibat buruk bagi kondisi uminya. Makanya Hanafi membiarkan amarah uminya reda dulu.
Setelah Etek Halimah mendapatkan kamar perawatan dan telah berbaring di tempat tidur, Adrian pun pamit pada Arini.
“Makasih, ya, Dok. Dokter telah banyak membantu.” Arini berkata tulus.
“Santai aja, aku kan saudara kalian sekarang.” Dokter Adrian tersenyum pada Arini.
Setelah itu, dokter Adrian pamit pada Etek Halimah dan juga Annisa. Etek Halimah mengucapkan terima kasih berulang kali. Dan dokter Adrian menjawabnya dengan santun. Hati Etek Halimah berkata sendiri, andai jodoh Arini adalah Adrian, tentu Arini telah bahagia sekarang. Etek Halimah merasa amat berdosa pada Arini dan pada abangnya yang telah tiada.
“Etek istirahat, ya.” Arini memperbaiki letak selimut mertuanya.
“Ya, Nak. Kalian juga, istirahatlah. Jangan sampai kelelahan pula karena mengurus dan menjaga Umi.”
“InsyaAllah nggak, Tek.” Arini tersenyum pada Etek Halimah. Hati perempuan yang masih terlihat cantik itu makin perih melihat senyum menantunya. Lalu Etek Halimah pun mencoba memejamkan matanya. Dari semalam ia tidak bisa tidur.
Arini mengajak Annisa duduk di sofa di sudut kamar. Arini mengambilkan kelas VIP untuk Etek Halimah agar mereka nyaman menungguinya.
“Dek, kamu belum sarapan kan?”
“Belum, Uni.”
“Pergilah ke kantin, sarapan di sana atau bungkus bawa ke sini.” Arini mengambil tasnya dan mengeluarkan dompet. Diambilnya selembar uang lima puluh ribu.
“Uang yang tadi masih ada sisa kok, Ni.”
“Nggak apa-apa, buat kamu aja.”
“Uni mau titip apa?” Annisa akhirnya menerima juga uang yang diberikan Arini, karena kakak iparnya itu meletakkan uang tersebut di atas pahanya.
“Soto padang aja, dek.”
“Baik, Ni.” Annisa pun bangkit dan beranjak menuju pintu.
“Beliin juga untuk Umi bubur kacang ijo, ya, Dek.” Arini berpesan sebelum Annisa hilang dibalik pintu.
“Ya, Ni.” Annisa menjawab seraya menutup pintu.
********
Arini dan Annisa telah sepakat untuk menjaga dan menunggui Etek Halimah secara bergantian. Malam ini, Arini yang minta untuk menjaga mertuanya. Sorenya Arini pulang dulu ke rumah untuk mandi dan mengambil barang-barang kebutuhannya. Sebelum magrib, Arini telah sampai lagi di rumah sakit.
Arini sedang menyuapi Etek Halimah ketika pintu ruangan dibuka. Hanafi masuk setelah menutup pintu kembali. Hanafi mendekat kepada uminya. Tetapi uminya memalingkan wajah.
“Umi, maaf …” Hanafi memegang tangan uminya.
“Minta maaflah sama istrimu.” Umi menjawab dingin. Hanafi tercekat. Laki-laki itu mengangkat wajahnya dan menatap perempuan di seberang tempat tidur. Tetapi wajah istrinya itu terlihat biasa-biasa aja.
“Arini … aku …” Hanafi tergagap.
“Minum dulu, ya, Tek.” Arini mengambilkan minum dan membantu Etek Halimah untuk minum. Sedikitpun Arini tidak mengacuhkan Hanafi. Hanafi jadi serba salah. Akhirnya laki-laki itu mengambil kursi dan duduk di sebelah ranjang sang umi.
“Tek, Arini isya bentar. Habis Arini baru Etek sholat, ya.” Arini meletakkan piring dan gelas bekas makan mertuanya di baki rumah sakit.
“Ya, Nak.” Etek Halimah mengangguk. Arini bergegas masuk ke kamar mandi untuk berwudu.
Sepeninggal Arini Etek Halimah memejamkan matanya. Hati Etek Halimah masih marah pada Hanafi. Ia tidak ingin banyak bicara dengan anaknya itu. Akhirnya Hanafi mengambil ponselnya dan mulai terlihat sibuk dengan telepon pintarnya itu.
Selesai Arini sholat, Arini membantu mertuanya untuk ke kamar mandi. Etek Halimah bersikeras untuk wudu di kamar mandi. Hanafi mencoba juga untuk membantu uminya. Tetapi, lagi-lagi tangan Hanafi ditepiskan oleh sang umi. Hanafi tidak bisa berbuat banyak. Laki-laki itu duduk di sofa memperhatikan uminya yang diurus dengan telaten oleh Arini. Arini menuntun uminya dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya memegang tiang besi selang infus. Menunggui uminya di kamar mandi lalu membawanya lagi ke tempat tidur. Perempuan tercintanya itu lalu duduk di atas tempat tidur untuk menunaikan sholat isya.
Selesai melaksanakan sholat isya, Etek Halimah kembali merebahkan tubuhnya di kasur. Dengan sabar Arini mengurus mertuanya itu.
“Kamu istirahat juga, tidurlah sekarang.” Etek Halimah berkata pada Arini.
“Ya, Tek.” Arini mengangguk. Setelah mematikan beberapa lampu, Arini berjalan menuju ranjang di sebelah ranjang pasien.
“Kamu sudah makan?” Hanafi bertanya pada Arini begitu Arini melewati tempat duduknya.
“Sudah.” Arini menjawab singkat.
“Mau cari makanan di luar nggak?”
“Nggak.” Lagi-lagi Arini menjawab singkat.
Hanafi menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Aku belikan nasi goreng di kantin, ya.” Hanafi lalu bangkit tanpa menunggu jawaban dari istrinya itu. Tetapi bersamaan dengan Hanafi yang akan membuka pintu, pintu juga dibuka dari luar. Dokter Adrian berdiri di hadapan Hanafi dengan sebuah tentengan di tangannya.
“Malam, Dok.” Adrian menyapa dokter Hanafi dengan ramah.
“Malam.” Hanafi menjawab dingin.
“Hai, Arini, sudah mau tidur ya. Ini aku bawain nasi goreng.” Adrian mengangkat kantong di tangannya. Meski Hanafi tidak bergeser memberi ruang pada Adrian, tetapi dokter muda itu telah masuk dengan menyelipkan badannya di antara Hanafi dan daun pintu yang terbuka setengah.
Melihat dokter Adrian datang, Arini kembali menghidupkan lampu kamar.
“Sini nasi gorengnya buat aku aja, Arini nggak suka nasi goreng.” Hanafi mengambil nasi goreng dari tangan Adrian. Adrian bengong. Begitu juga dengan Arini. Sejak kapan ia tidak suka nasi goreng?
Dengan santai Hanafi duduk di sofa lalu membuka nasi goreng yang dibawa Adrian. Tanpa menawari Arini dan Adrian, Hanafi makan dengan lahap. Adrian yang ikutan duduk di sofa menatap Hanafi tanpa berkedip. Merasa kesal dengan sikap dan gaya Hanafi, Adrian bangkit lalu menuju ranjang Etek Halimah. Adrian memperhatikan Umi Hanafi itu beberapa saat. Sepertinya perempuan yang seumuran dengan ibunya itu telah tertidur. Wajahnya sudah tidak sepucat tadi pagi.
“Mau makan apa?” Tiba-tiba Adrian telah berdiri di samping Arini. Arini yang tidak menyadari kehadiran Adrian di dekatnya mengangkat wajahnya dengan kaget. Hanafi juga sama. Laki-laki itu menyipitkan matanya.
“Kami mau ke luar nanti.” Tiba-tiba Hanafi menjawab seraya menyudahi makannya. Untuk kedua kalinya Arini dibuat terpana. Bukankah ia sudah menolak ajakan laki-laki tidak berperasaan itu tadi.
“Oh.” Adrian menjawab dengan nada kecewa. Sementara Arini hanya diam.
“Ya, udah. Aku pamit, ya. Kamu istirahat, jangan sampai ikutan sakit.” Adrian berkata lembut pada Arini sebelum melangkah ke luar kamar.
“Ya, Dok. Makasih.” Arini menjawab singkat. Untuk pertama kali Hanafi memperhatikan wajah istrinya dalam waktu yang cukup lama. Ada gurat lelah di wajah cantik itu.
Arini kembali mematikan lampu dan merebahkan tubuhnya di ranjang. Hanafi mendekat.
“Aku ke luar bentar, ya.” Hanafi pamit pada Arini. Kening Arini berkerut. Tumbenan laki-laki ini pamit padanya, biasanya main kabur aja.
“Ya, Da.” Arini mengangguk.
Setelah Hanafi pergi, Arini memindahkan selimut di ranjangnya ke sofa. Lalu diambilnya sweater dari dalam tas. Lumayan untuk mengusir rasa dingin. Setelah memakainya, Arini berbaring di ranjang.
Rasa lelah seharian mondar mandir di rumah sakit membuat Arini langsung tertidur. Hanafi masuk membawa tentengan berisi makanan. Dibelinya mie goreng, martabak mesir, cemilan, dan minuman untuk Arini. Begitu masuk kamar, Hanafi mendekati Arini. Tetapi, Arini terlihat telah nyenyak dalam tidurnya. Akhirnya Hanafi meletakkan kantong belanjaannya di meja kecil di samping ranjang Arini.
Hanafi kembali ke sofa dan mengambil selimut. Dibawanya selimut berwarna coklat lembut itu ke ranjang Arini. Pelan diselimutinya tubuh Arini. Arini terlihat bergerak, Hanafi buru-buru menjauh. Hanafi pun merebahkan tubuhnya di sofa. Pasien yang lumayan banyak hari ini membuat Hanafi merasa amat lelah. Tidak butuh lama, laki-laki itupun telah sampai di alam mimpinya.
Pukul 03.30, Arini terbangun. Arini memegang selimut yang menutupi seluruh tubuhnya dengan kening berkerut. Bukankah selimut ini tadi ia letakkan di sofa? Kenapa sekarang jadi berpindah tempat. Arini mengarahkan pandangannya ke sofa. Di sana terlihat Hanafi tertidur dengan tunuh meringkuk. Pastilah kedinginan, tanpa jaket dan tanpa selimut. Arini bergegas bangkit dan membawa selimutnya.
Hati-hati, Arini menyelimuti tubuh laki-laki yang selalu menorehkan luka dan perih di hatinya itu. Hanafi membalikkan tubuhnya menghadap pada Arini. Arini bangkit dengan tergesa lalu segera masuk kamar mandi. Dada perempuan itu bergemuruh membayangkan Hanafi terbangun dan mendapatinya dalam jarak yang cukup dekat.
Dingin penghujung malam, di atas sajadah, Arini memohon segala kebaikan untuknya, untuk Hanafi dan untuk mertuanya. Arini menyerahkan segala kesedihannya, keluh kesahnya, dan luka hatinya pada Yang Maha Kuasa. Arini terisak, beban yang memenuhi rongga dadanya tumpah di atas sajadah.
Hanafi membuka matanya. Suara tangisan lirih memasuki gendang telinganya. Hanafi mengedarkan pandangannya. Di sudut kamar terlihat seseorang tengah duduk bersimpuh di atas sajadah. Ada yang meleleh di sudut hati Hanafi mendengar tangisan lirihnya. Hanafi membuka kain yang menutup tubuhnya. Hanafi heran, kapan selimut ini berpindah kepadanya? Berarti Arini juga menyelimutinya tadi?
******
Pagi harinya, setelah dokter yang menangani Etek Halimah visit, Arini kembali menyuapi mertuanya. Sarapan pagi ini bubur ayam, tetapi tanpa sambal dan kuah. Hanya suiran ayam dan bawang goreng. Pagi ini Etek Halimah terlihat agak segar. Arini senang melihat perkembangan mertuanya itu. Apalagi ketika mertuanya itu menghabiskan seluruh isi mangkok di tangan Arini. Arini tersenyum bahagia.
Hanafi yang masih belum beranjak dari sofa sejak sholat subuh tadi hanya memperhatikan interaksi uminya dengan Arini.
“Kita sarapan ke kantin, yuk.” Hanafi mendekati ranjang ibunya. Arini mengangkat wajahnya. Sungguh Arini merasa malas sekali untuk pergi dengan suaminya itu. Rumah sakit ini kawasannya dokter Bella. Bagaimana kalau tiba-tiba perempuan itu muncul lagi?
“Pergilah, Nak.” Etek Halimah menyentuh tangan Arini. Arini menatap mertuanya dengan ragu.
“Tapi, Etek nggak ada yang jaga.” Arini memberikan alasan.
“Tidak apa-apa, Etek sudah merasa sangat sehat hari ini.” Etek Halimah tersenyum pada Arini. Akhirnya Arini bangkit dengan berat hati.
“Bentar, ya, Mi.” Hanafi pamit pada uminya. Umi Halimah mengangguk. Dalam hati perempuan ini berdoa semoga ini menjadi awal yang baik untuk anak dan menantunya.
Beriringan mereka berjalan menuju kantin. Sampai di kantin, meja-meja telah terisi penuh. Untung saja ada yang telah selesai dan meninggalkan tempat duduk mereka menuju kasir, Hanafi memanggil pelayan kantin untuk membersihkan meja. Setelah bersih, Hanafi mengajak Arini untuk duduk.
“Mau sarapan, apa?” Hanafi bertanya pada Arini.
“Lontong sayur aja, Da.”
“Oke, bentar ya.” Hanafi bangkit lalu menuju meja kasir untuk memesan makanan. Tidak berapa lama laki-laki itu kembali dengan dua gelas susu hangat.
“Minum ini dulu.” Hanafi meletakkan gelas susu di depan Arini. Arini mengangguk. Diraihnya gelas susu di depannya dan diteguknya beberapa teguk. Rasa hangat menjalari kerongkongannya hingga ke dada. Tidak berapa lama pesanan mereka datang. Dua piring lontong sayur.
“Ayo, makan. Habisin, ya.” Hanafi mempersilakan Arini.
“Ya, Da.” Arini mengambil sendok dan mulai menyuapkan lontong ke mulutnya. Hanafi melakukan hal yang sama.
“Hai, Uda Dokter, aku boleh gabung kan.” Tiba-tiba dokter Bella telah berdiri di samping meja mereka. Hanafi dan Arini mengangkat wajah dengan kaget. Hanafi merasa serba salah, tetapi laki-laki itu tidak ingin juga Bella menjadi marah.
“Ayo, duduklah.” Hanafi akhirnya mempersilakan Bella untuk duduk bersama mereka. Meski sakit hati melihat kekasihnya tengah sarapan berdua dengan sang istri, tetapi akhirnya Bella duduk juga di samping Hanafi. Arini merasakan dadanya bergemuruh. Apa yang dipikirkannya sebelum pergi sarapan tadi akhirnya benar-benar terjadi.
Selera makannya langsung hilang. Padahal baru setengah isi piring yang pindah ke perutnya. Arini mendorong piring di depannya dengan tangan gemetar.
“Bagaimana keadaan Umi?” Bella bertanya pada Hanafi tanpa sedikitpun melihat pada Arini.
“Alhamdulillah semakin membaik. Kalau hari ini HB Umi naik lagi, besok insyaAllah sudah bisa pulang.” Hanafi menjawab seraya tersenyum. Bella mengangguk
“Ya, semoga. Semoga Umi segera sembuh dan pulih seperti sedia kala.”
“Aamiin, makasih, ya.”
Arini sudah akan bangkit karena malas melihat gaya dua orang di depannya ini. orang-orang yang tidak memiliki hati dan perasaan.
“Hai, aku gabung di sini, ya.” Tiba-tiba dokter Adrian telah berdiri di antara mereka.
“Silakan pak dokter.” Bella menjawab dengan ramah. Adrian menghenyakkan pantatnya di samping Arini. Arini menarik napas panjang. Sementara Hanafi melongo. Dokter muda di depannya ini selalu saja membayang-bayanginya. Selalu saja hadir di mana ada dia dan Arini.
Adrian menyesap susu hangat yang dibawanya. Lalu melirik Arini.
“Habiskan lontongnya, nanti kamu sakit kalau makan seperti itu.” Adrian mendorong piring lontong Arini kembali ke depan Arini.
“Saya sudah kenyang, Dokter.” Arini menolak.
“Mau aku suapin?” Adrian menatap Arini dengan mata menggoda.
“Jangan kurang ajar, Dokter Adrian!” Tiba-tiba Hanafi menggebrak meja. Arini, Bella dan Adrian terperanjat kaget. Semua yang ada di kantin juga melihat ke arah mereka.
“Hai, santai Dokter Hanafi.” Dokter Adrian mengangkat dua tangannya dengan tawa di ujung bibirnya. Hanafi semakin merasa panas. Ini masalah harga diri. Adrian telah merendahkan dirinya sebagai seorang suami.
“Ayo, Arini, Bella. Kita pergi.” Hanafi berjalan menuju kasir. Arini dan Bella sama-sama merasa bingung. Hanafi memanggil nama mereka berdua. Akhirnya Arini bangkit diikuti oleh Bella. Adrian juga menyusul. Sampai di kasir, Adrian mendekati Hanafi. Dalam jarak yang cukup dekat, Adrian berbisik di telinga Hanafi.
“Jangan serakah, udah nggak zamannya lagi di ranah Minang laki-laki punya istri dua, tiga atau empat. Ini zaman millineal, Pak Dokter.” Suara Adrian bernada ejekan. Hanafi mengepalkan tangannya. Kalau tidak ingat statusnya sebagai seorang dokter, sudah dihajarnya laki-laki kurang ajar di sampingnya ini. Sementara Arini telah berjalan ke luar tanpa menghiraukan lagi Hanafi, Adrian maupun Bella.
Bersambung ….
Ditunggu krisannya pembaca. Jika ada typo dan kesalahan lainnya, mohon maaf, author belum bisa edit hari ini ya. Komen juga mungkin agak slow reapon membalasnya. Agenda uni hari ini padat merayap. Terima kasih atas pengertiannya.
Selamat membaca …
Tidak ada komentar:
Posting Komentar