Judul: “Bias Rindu”
Penulis: Naya R
Terima kasih admin/moderator telah menyetujui tulisan ini.
Hanafi duduk di samping ranjang umi Halimah. Pelan diambilnya tangan sang umi dan diciumnya dengan lembut.
“Umi, Hanafi melakukan kesalahan lagi. Hanafi kembali melukai hati Arini, Umi. Masihkah ada kesempatan bagi Hanafi untuk memperoleh maaf dari Arini, Umi?” Hanafi menggenggam tangan uminya dengan mata yang mulai terasa kabur.
“Umi, bantu Hanafi untuk mendapatkan maaf dari Arini. Bantu Hanafi untuk membuka lembaran baru dengan menantu kesayangan Umi itu,” kali ini Hanafi tak dapat lagi menahan air matanya. Satu tetes cairan bening jatuh dari sudut matanya.
“Umi tahu, Arini hamil, Mi. Umi akan segera menimang cucu. Ayolah, Mi, bangun. Lihat menantu Umi yang sedang mengandung cucu pertama Umi.” Suara Hanafi yang tadi terdengar parau kali ini terdengar penuh kegembiraan.
Dengan perasaan berat, Hanafi melangkah meninggalkan ranjang uminya. Tetapi, tekadnya untuk segera menemui Arini, membuat Hanafi harus menguatkan hati meninggalkan wanita mulianya malam ini.
“Hanafi …” lirih sebuah suara memanggil nama Hanafi. Langkah Hanafi terhenti. Laki-laki itu berbalik dengan dada bergemuruh. Sedetik kemudian, hanafi telah berada kembali di samping ranjang Umi Halimah.
“Umi!” Hanafi berjongkok di samping ranjang dan mengusap kening uminya penuh kasih. Mata wanita paruh baya itu terlihat mulai terbuka. Setetes cairan bening menetes dari sudut matanya. Hanafi mengusapnya dengan tangan gemetar.
“Alhamdulillah, ya Allah. Alhamdulillah, Umi telah sadar.” Hanafi mengusap sudut-sudut mata umi Halimah yang telah basah oleh air mata.
“Bawa Umi bertemu dengan menantu Umi. Bawa Umi bertemu dengan calon cucu Umi.” Umi Halimah berkata dengan suara lemah. Hanafi mengangguk. Mata laki-laki itu kembali basah.
“Iya, Umi. Hanafi akan bawa Arini untuk menemui Umi. Tetapi, Umi harus sembuh dulu. Kita akan kembali berkumpul, Mi.” Hanafi mencium kening uminya berulang kali.
“Umi sudah sehat. Bawa Umi pulang sekarang,” Umi Halimah terisak seraya mencabut selang oksigennya. Hanafi menahan tangan sang umi.
“Umi, dengarkan Hanafi. Hanafi harus meyakinkan Arini jika Hanafi menyayanginya. Umi harus tetap di sini malam ini. Doakan Hanafi bisa mendapatkan maaf dari Arini. Besok pagi, Hanafi janji akan membawa Arini untuk menjemput Umi ke sini,” Hanafi berkata dengan sabar pada Umi Halimah.
Umi Halimah terdiam. Mencoba mencerna ucapan anaknya.
“Umi percaya sama Hanafi, kan? Kali ini insyaallah Hanafi tidak akan mengecewakan Umi.” Hanafi mengambil tangan uminya dan meletakkannya di dada. Akhirnya umi Halimah mengangguk lemah.
“Nggak apa-apa Hanafi tinggal Umi malam ini? Nanti Hanafi telepon Harun, ya. Biar Harun yang jagain Umi malam ini,” Hanafi bangkit dan mengusap rambut uminya dengan sayang.
“Ya, nggak apa-apa.” Umi Halimah menjawab lemah. Namun hatinya merasa bahagia, tidak lama lagi ia akan bertemu dengan menantunya. Tidak lama lagi ia akan bertemu calon cucunya. Umi Halimah tersenyum dengan mata berbinar membayangkan semua itu. Melihat uminya tersenyum, Hanafi merasa sedikit lega. merasa tenang juga meninggalkan uminya.
“Hanafi pamit, ya, Mi.”
“Ya, hati-hati.”
Hanafi pun melangkah meninggalkan umi Halimah. Dada Hanafi dipenuhi oleh ribuan rasa bahagia. Malam ini Allah memberikannya dua kejutan sekaligus. Kepulangan Arini dan kesembuhan uminya. Alhamdulillah ya, Allah, Hanafi kembali mengucapkan rasa syukur.
****
Mobil Hanafi memasuki halaman rumah Arini. Dua bulan lalu dokter tampan ini akhirnya bisa juga membeli kendaraan roda empat. Karena ia memang membutuhkannya untuk keliling daerah. Ia merasa tidak enak jika selalu menggunakan mobil kedua sahabatnya untuk membuka posko pengobatan gratis di daerah.
Hanafi mengetuk pintu dengan dada bergemuruh. Detak jantungnya menjadi tidak normal. Membayangkan akan bertemu dengan istrinya setelah kejadian tadi, sungguh membuat laki-laki ini merasa cemas.
Pintu terbuka, Etek Pia berdiri di hadapan Hanafi.
“Oh, Nak Hanafi. Ayo, masuk, Nak.” Etek Pia melebarkan daun pintu.
“Makasih, Tek. Assalammualaikum.” Hanafi melangkah masuk.
“Waalaikumsalam.” Etek Pia kembali menutup dan mengunci pintu.
“Arini di mana, Tek?”
“Sudah masuk kamar, Nak. Masuk aja ke kamarnya.”
“Ya, Tek. Makasih.”
Hanafi menuju kamarnya. Dengan tangan gemetar laki-laki itu memutar gagang pintu. Ruang kamar terlihat remang-remang. Hanafi mengedarkan pandangan, tempat tidur terlihat kosong.
Hanafi berjalan pelan menuju kamar sebelah. Menggeser pintu kaca dengan hati-hati lalu melangkah ke kamar bernuansa ping itu. Matanya langsung menangkap sosok istrinya yang sedang berbaring di ranjang ukuran lajang itu.
Detak jantung Hanafi semakin bertalu. Namun, Hanafi menguatkan dirinya untuk mendekati ranjang.
“Arini.” Hanafi menyebut nama istrinya dengan suara bergetar. Arini yang belum tertidur meremas alas kasur di bawah selimut. Suara itu, suara yang enam purnama selalu dirindukannya. Jika menurutkan rasa di hati, ingin sekali Arini bangun dan menghambur memeluk tubuh suami yang setiap malam selalu hadir di pelupuk matanya. Laki-laki yang selalu menghiasi sudut hatinya, menemani kesendiriannya dengan bayang-bayang yang tidak pernah bisa diraih jemari tangannya.
Hanafi duduk di ranjang di samping Arini tidur. Dada Arini mulai bergemuruh. Merasakan mereka dalam keadaan yang begitu dekat, membuat tubuh Arini terasa kaku.
“Arini, maafkan aku. Pertemuan kita tadi begitu mendadak. Jujur aku belum mempersiapkan diri. Apalagi aku tidak pernah tahu jika kamu sedang mengandung. Kamu tidak pernah berkabar padaku. Kamu menghilang begitu saja seperti ditelan bumi. Begitu besar kemarahanmu sehingga kamu tidak sudi untuk sekadar memberi tahu di mana keberadaanmu.” Hanafi menyentuh tangan Arini dari balik selimut. Arini menarik tangannya.
“Aku tahu, tidak mudah memaafkan kesalahan yang telah aku lakukan. Ditambah lagi kebodohanku di rumah sakit tadi. Tetapi, semua itu karena rasa takut dan cemas aku jika kamu telah berpaling.”
Arini masih diam. Laki-laki ini benar, tidak akan mudah baginya untuk menerima suaminya itu kembali. Hatinya terlalu sakit. Ucapan suaminya tadi sama saja artinya dengan menuduhnya telah berkhianat atau mungkin telah melakukan maksiat. Meski dari awal, Arini telah menduga juga jika Hanafi akan meragukan janin di dalam perutnya ini, tetapi ketika itu benar-benar terjadi, ternyata ia juga belum siap menerimanya.
“Tidurlah. Sampaikan salamku pada anak kita.” Hanafi berkata lemah begitu melihat Arini tidak merespon satupun ucapannya. Laki-laki itu bangkit dan berjalan menuju lemari. Dibukanya lemari berwarna ping itu dan mengambil sebuah bed cover dari dalamnya. Lalu dibentangkannya bed cover bermotif bunga tulip itu di atas lantai di samping ranjang Arini.
Arini menajamkan telinganya untuk mendengarkan apa yang sedang dilakukan laki-laki itu. Sementara Hanafi telah membaringkan tubuhnya di atas bed cover tanpa bantal dan selimut. Lalu keheningan menemani malam yang dingin. Keduanya sama-sama mencoba memejamkan mata. Entah pada pukul berapa mereka bisa sama-sama tertidur.
Azan subuh berkumandang. Syahdu dan mendayu. Hanafi mendengar Arini telah masuk ke kamar mandi. Pastilah untuk berwudu. Hanafi bergegas bangun dan langsung melipat alas tidurnya. Menyimpannya kembali ke dalam lemari. Dihidupkannya lampu yang lebih terang.
Hanafi mengedarkan pandangan mencari sesuatu. Dilihatnya sajadah dan mukena Arini terlipat di kursi meja belajar. Hanafi mengambilnya dan membentangkan sajadah berwarna marun itu di depan lemari kamar. Kemudian laki-laki itu meletakkan sarung dan mukena Arini di atas sajadah.
Setelah rapi, Hanafi menuju ke kamar sebelah untuk wudu juga. Biasanya laki-laki ini selalu mandi sebelum salat subuh. Tetapi, kali ini ia buru-buru. Ia tidak ingin keduluan Arini salat subuh. Makanya ketika telah selesai wudu, Hanafi mengambil sajadah dari dalam lemari lalu segera balik ke kamar istrinya. Subuh ini ia ingin salat berjamaah dengan istrinya itu. Biarlah kali ini ia tidak ke masjid.
Sampai di kamar Arini, Hanafi berdiri mematung. Istrinya itu terlihat telah berdiri sempurna melaksanakan salatnya. Hanafi mereguk ludah kecewa. Lemah laki-laki itu kembali ke kamarnya. Diletakkannya sajadah di atas kasur. Lalu ia ke luar kamar, ia akan salat di masjid saja. Di pintu depan Hanafi bertemu dengan Udin. Udin menyalami Hanafi dengan sopan. Berdua mereka berjalan menuju masjid di ujung jalan.
Hanafi dan Udin pulang ke rumah dengan menenteng beberapa kantong berisi sarapan. Ke luar dari masjid tadi, Hanafi mengajak Udin jalan ke lapangan kantin untuk membeli sarapan. Hanafi membeli beberapa macam sarapan yang rasa-rasanya akan disukai oleh Arini.
Begitu masuk ke dalam rumah, Hanafi langsung menuju ruang makan. Dada Hanafi berdebar melihat Arini sedang duduk di kursi meja makan. Istrinya itu terlihat memakai gamis berwarna biru muda dengan jilbab instan berwarna pink muda. Segar sekali kelihatannya. Di depannya terlihat segelas susu yang belum diminum.
Hanafi mendekat. Sementara Udin langsung masuk kamarnya.
“Uda beli ketan dan goreng, bubur ayam, lontong, juga soto. Kamu mau sarapan apa?” Hanafi meletakkan kantong-kantong berisi sarapan itu di atas meja. Arini sedikit kaget mendengar suaminya itu membeli begitu banyak macam sarapan.
“Aku nggak tahu kamu lagi pengen makan apa. Makanya aku beli aja semua yang ada di bofet Mangkuto itu tadi.” Hanafi seperti bisa membaca pikiran Arini.
“Aku nggak ingin makan apa-apa. Biasanya kalau pagi juga cuma minum susu aja,” Arini menjawab datar tanpa menoleh pada Hanafi.
“Eh, jangan. Kamu harus makannya yang cukup, sekarang kamu nggak makan untuk diri kamu sendiri. Tetapi, juga untuk anak kita yang ada dalam perutmu,” Hanafi tersenyum lembut pada Arini. Mata Arini membulat.
“Anak kita? Nggak salah tuh?” Arini mencibir. Namun dalam hati, Arini berisitigfar, kenapa ia bisa seketus dan sejudes itu ngomongnya? Arini merasa ada yang aneh dengan dirinya.
“Maksudku anak kamu.” Hanafi meralat ucapannya dengan lirih. Laki-laki itu lalu bangkit dan berjalan menuju rak piring di dapur. Etek Pia terlihat sedang merebus kacang ijo. Bau khasnya memenuhi ruang dapur.
“Minta piring empat, Tek.” Hanafi berdiri di samping Etek Pia. Etek Pia meninggalkan kompor dan mengambil empat buah mangkuk serta sendok juga.
“Ini, Nak.”
“Makasih, Tek.”
“Ya. Nak Hanafi mau minum apa?”
“Teh aja, Tek.”
Etek Pia mengangguk. Hanafi kembali ke meja makan. Arini telah menghabiskan susu di depannya. Terlihat perempuan itu bangkit dan melangkah hendak meninggalkan ruang makan.
“Arini, temani Uda sarapan.” Hanafi memanggil namanya. Arini menghentikan langkahnya dan berbalik. Hanafi terlihat sedang menatap ke arahnya dengan tatapan menghiba. Arini meneguk ludahnya. Andai laki-laki ini tidak jahat padanya, ia akan melakukan apapun untuknya.
“Ya, aku manggil temanku dulu bentar,” suara Arini masih sama, datar dan dingin. Lagi-lagi dalam hati perempuan ini bertanya-tanya, kok bisa ya dia bersikap dan bicara seperti ini. Ia seperti tidak mengenali dirinya sendiri.
Hanafi hanya bisa mengangguk lemah. Dia bisa apa sekarang? Masih tidak diusir saja dari rumah ini sudah Alhamdulillah rasanya.
Arini mengetuk kamar tamu. Terdengar sahutan dari dalam menyuruh Arini masuk. Arini membuka gagang pintu dan berdiri di pintu kamar. Terlihat Sandra baru saja merapikan alas kasur. Dokter cantik itu telah rapi dengan kulot dan tuniknya. Arini mengajak Sandra untuk sarapan. Setelah memakai hijabnya, Sandra mengikuti langkah Arini menuju ruang makan. Mata Sandra langsung menangkap sosok Hanafi. Dalam hati perempuan ini langsung menebak kalau laki-laki itu adalah suami Arini.
“Uda Hanafi?” Sandra menegur Hanafi begitu sampai di meja makan. Hanafi mengangkat wajahnya dan sedikit heran mendengar perempuan cantik itu memanggil namanya.
“Ya?” Hanafi menjawab bingung.
“Saya Sandra, temannya Arini dari Jogja,” Sandra mengulurkan tangan pada Hanafi. Tetapi, Hanafi menangkupkan tangannya ke dada.
“Oh, iya. Salam kenal,” Hanafi membalas sikap Sandra dengan sopan. Jogja. Hanafi merapalkan nama kota itu dalam hati. Ternyata selama enam bulan ini istrinya itu berada di Jogja.
“Ayo, silakan sarapan,” Hanafi menata sarapan yang telah dipindahkannya ke beberapa mangkuk. Arini menyipitkan mata. Laki-laki ini menyalin semua sarapan yang dibelinya ke piring? Mendadak Arini serasa tidak mengenali suaminya. Bukan laki-laki seperti ini yang ditinggalkannya enam bulan yang lalu.
“Kamu mau sarapan apa?” Hanafi kembali bertanya pada Arini begitu Arini duduk di depannya.
“Nggak ada,” Arini kembali menjawab seperti tadi. Padahal diam-diam perempuan itu menelan ludahnya melihat ketan dan goreng di depannya. Menu yang tidak pernah didapatkannya di Jogja.
“Aku mau ini, ya.” Sandra menunjuk soto di depannya.
“Silakan, Mbak.” Arini menjawab dengan ramah. Sementara Hanafi hanya bisa menelan ludah. Sikap Arini begitu jauh berbeda jika sedang dengannya. Padahal dulu perempuan ini begitu lembut, perhatian, dan santun padanya.
Akhirnya Hanafi mengambil mangkuk lontong dan mulai memakan sarapannya. Mereka makan dalam diam. Sandra yang merasa pasangan suami istri ini sedang perang dingin juga bingung mau bicara apa. Tidak lama Hanafi menyelesaikan makannya. Laki-laki itu bangkit dan pamit pada Arini dan Sandra untuk ke kamar. Sandra menjawab dengan ramah, sementara Arini hanya diam.
Begitu Hanafi masuk ke dalam kamar, Arini mengambil ketan dan goreng di depannya. Setelah mencuci tangan di kobokan, perempuan hamil itu mulai makan dengan tergesa. Sandra senyum-senyum melihatnya.
“Arini, Uda tunggu …” ucapan Hanafi terhenti begitu melihat istrinya itu tengah makan ketan dan goreng dengan lahapnya. Bibir laki-laki itu tertarik ke samping. Matanya berbinar. Hatinya begitu bahagia. Arini akhirnya mau makan juga sarapan yang dibelikannya. Hanafi memang ingin membayar masa-masa ngidam istrinya yang tidak dibersamainya.
Sementara Arini langsung menyudahi sarapannya. Wajahnya terlihat merah merona. Ia seperti maling yang sedang tertangkap basah. Di sampingnya, Sandra hampir ngikik menahan tawa. Tapi sebisa mungkin dokter cantik itu menahan diri agar tidak membuat Arini semakin merasa malu lagi.
“Uda tunggu di kamar, ya.” Hanafi tiba-tiba telah berdiri di samping Arini.
Arini lagi-lagi tidak menjawab. Hanafi pun kembali berbalik dan berjalan menuju kamarnya. Sepanjang jalan tidak henti laki-laki itu tersenyum. Besok ia akan beli sarapan yang lebih banyak lagi, tekadnya dalam hati.
Arini masuk ke kamar setengah jam setelah Hanafi mengatakan menunggunya di kamar.
Terlihat Hanafi telah rapi dengan celana berwarna abu-abu tua dan kemeja berwarna biru muda. Gagah sekali. Arini tidak dapat membohongi dirinya.
Hanafi menatap Arini yang sedang berjalan menuju tempat tidur.
“Duduklah.” Hanafi duduk di kasur dan menepuk kasur di sebelahnya. Kali ini Arini menurut.
“Aku tahu kamu masih marah. Entah kapan kamu akan bisa memaafkanku. Tetapi, aku minta tolong, ikutlah denganku ke rumah sakit pagi ini. Umi telah sadar malam tadi. Dan aku yakin itu karena kehadiranmu, menantu kesayangannya.” Hanafi berhenti sejenak. Ada yang terasa hangat di dada Arini begitu mendengar kata menantu kesayangan.
“Umi sangat ingin bertemu denganmu dan bertemu dengan …” Hanafi menoleh dan menatap Arini dengan ragu.
“Umi ingin bertemu dengan calon cucunya.” Hanafi berujar dengan lirih.
“Belum tentu juga ini cucunya.” Arini kembali berkata dengan ketus. Hanafi memejamkan mata mencoba iklas menerima sikap istrinya ini.
“Aku mohon, lupakan sejenak kemarahanmu padaku. Lupakan sejenak kebencianmu padaku. Demi kesembuhan Umi. Ikutlah denganku ke rumah sakit.” Hanafi tiba-tiba telah berjongkok di depan Arini. Diambilnya tangan istrinya itu, namun sebelum laki-laki itu sempat menggenggamnya, Arini telah menepiskannya dengan kasar.
“Baiklah, aku akan melakukannya. Dan ini semua demi Umi Halimah.” Arini berkata dengan tegas.
“Terima kasih … terima kasih … Aku berhutang banyak padamu.” Hanafi lagi-lagi mengambil jemari tangan Arini dan menciumnya berulang kali. Meski Arini menarik tangannya sekuat tenaga, tetapi Hanafi lebih kuat lagi menahannya.
Hanafi melapaskan pegangan tangannya, mata laki-laki itu tertuju pada perut Arini yang tepat berada di depannya. Hanafi bisa melihat perut istrinya itu bergerak-gerak. Ya, Tuhan, anaknya sedang menyapanya. Anaknya merasakan kehadirannya. Dada laki-laki itu bergetar. Matanya mendadak terasa panas.Tangan Hanafi terulur untuk menyentuh perut Arini. Tetapi, sebelum tangan laki-laki itu berhasil menyentuh perutnya, Arini telah berdiri.
“Ayolah, nanti aku mau mengajak Dokter Sandra jalan-jalan.” Arini melangkah meninggalkan Hanafi yang masih berjongkok depan ranjang. Tangan dokter muda itu menggantung di udara.
Meski rasanya sakit melihat Arini mengabaikannya, namun Hanafi mencoba bersabar. Bukankah ini yang pernah dilakukannya dulu pada istrinya itu? Dan apa yang dilakukan istrinya sekarang belum seberapa dibanding yang pernah dilakukannya dulu.
**********
Arini berangkat ke rumah sakit berdua dengan Hanafi. Sandra katanya sudah janji akan dijemput Adrian. Di perjalanan keduanya hanya diam dengan pikiran masing-masing. Hanafi berulang kali melirik kepada Arini, tetapi Arini pura-pura tidak tahu. Entahlah, kenapa begitu sulit hatinya menerima kehadiran laki-laki ini kembali. Begitu sulit membalas sikap baiknya. Padahal ia bukanlah perempuan pendendam.
Hanafi sebenarnya ingin bicara banyak, namun laki-laki itu takut istrinya itu akan jutek dan ketus lagi padanya. Begitu banyak pertanyaan yang berkelebat di kepala Hanafi. Apa saja yang telah dialami oleh Arini selama enam bulan lebih meninggalkan kota ini. Bagaimana ia menghadapi hari-harinya selama berada di kota tempat ia menimba ilmu itu. Bagaimana masa-masa awal kehamilannya, apa yang diinginkan bayi mereka, apakah istrinya ini mual dan muntah juga seperti kebanyakan perempuan hamil lainnya?
Tetapi, semua tanya itu hanya menggayut di hati dan pikiran Hanafi. Laki-laki itu tidak berani mengungkapkannya pada sang istri. Sebab istrinya yang sekarang bukan lagi perempuan yang enam bulan lalu dikenalnya. Yang penuh kelembutan, yang menerima semua perlakuannya dengan penuh kesabaran, yang tidak pandai berkata ketus apalagi kasar. Hanafi bergidik sendiri membayangkan jawaban-jawaban yang akan diterimanya jika akan menanyakan sesuatu pada perempuan di sampingnya ini.
Mobil memasuki halaman rumah sakit. Hanafi memarkirkan mobil di tempat parkir khusus dokter. Setelah itu, ia bergegas turun untuk membukakan pintu Arini. Tetapi, sebelum laki-laki itu memegang pintu mobil, Arini telah membuka pintu mobil dari dalam dan turun tanpa melihat pada Hanafi. Lagi-lagi Hanafi hanya bisa menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Beriringan mereka memasuki rumah sakit dan menuju ke ruangan ICU. Mereka berjalan tanpa bicara. Arini terlihat selalu menjaga jarak dengan suaminya itu.
Sebelum memasuki ruang ICU, Hanafi menahan langkah Arini.
“Boleh aku minta satu hal lagi?” Hanafi menatap Arini lekat. Arini hanya diam menunggu.
“Di dekat Umi, maukah kamu bersikap baik padaku? Rasa bahagia yang dirasakan Umi akan berdampak baik pada kesehatannya.” Untuk kesekian kalinya dokter muda itu menatap Arini dengan tatapan memohon. Lagi-lagi Arini diam tak menjawab. Perempuan itu lalu kembali melanjutkan langkah masuk ke ruang ICU. Hanafi mengikuti dari belakang.
Berdua mereka sampai di ranjang Umi Halimah.
“Arini …” Umi Halimah menyebut nama Arini dengan suara bergetar. Perempuan paruh baya itu mengulurkan tangannya dengan mata yang mulai terlihat basah. Arini menerima uluran tangan mertuanya. Mata perempuan hamil ini juga mulai basah.
“Etek …” Halimah mencium lembut tangan mertuanya.
“Kamu sehat?”
“Alhamdulillah, sehat, Tek.”
“Sudah berapa bulan? Dia juga sehat, kan?”
“Alhamdulillah, sehat, Tek.”
“Syukurlah.” Umi Halimah mengusap perut Arini lembut. Arini merasakan dadanya sesak oleh rasa haru dan bahagia.
“Hanafi, kemarilah.” Umi Halimah mengulurkan tangannya pada Hanafi. Hanafi mendekat dan memegang tangan uminya.
“Ya, Umi.”
“Mulai sekarang, jagalah istrimu baik-baik. Urus segala keperluan dan kebutuhannya. Karena sekarang ia tidak sendirian lagi. Ada anak kalian yang sedang dikandungnya. Keselamatan dan kebahagiaan mereka berdua adalah tanggung jawabmu.” Umi Halimah berkata dengan suara lemah, dada mertua Arini itu terlihat naik turun. Napasnya juga terlihat sesak.
“Ya, Umi. Aku janji akan menjaga mereka berdua dengan seluruh jiwa dan ragaku. Saat ini kebahagiaan mereka adalah tujuan hidupku.” Hanafi berkata dengan penuh keyakinan seraya memeluk pundak Arini dari samping. Lalu tangan kiri laki-laki itu tiba-tiba mengusap perut Arini dengan berani. Tubuh Arini langsung menegang menerima sentuhan-sentuhan dari Hanafi. Laki-laki ini benar-benar mencari kesempatan dalam kesempitan, Arini merutuk dalam hati.
Sementara Hanafi merasakan sensasi yang luar biasa ketika perut istrinya itu terasa bergerak-gerak. Anaknya kembali menyapanya. Untuk pertama kali laki-laki ini melakukan kontak dengan anaknya. Matanya langsung terasa panas. Dadanya penuh oleh rasa takjud dan bahagia. Dalam hati, dokter muda ini bertekad akan mendapatkan cinta istrinya kembali. Ia tidak akan menyia-nyiakan lagi waktu bersama perempuan ini. Apapun akan dilakukannya untuk mengembalikan Arininya yang dulu.
Etek Halimah tersenyum dengan rasa bahagia. Mata tua perempuan itu kini benar-benar telah basah oleh air mata.
End
Mohon maaf, cerbung “Bias Rindu” uni selesaikan di episode 19. Kelanjutannya dapat dibaca di versi novel, ya. Mungkin keputusan uni ini mengecewakan banyak pihak, tetapi uni mohon pengertiannya.
Perjuangan berat Hanafi untuk mendapatkan Arini kembali memang lebih banyak di novel. Harapan uni hanya satu, pembaca “Bias Rindu” yang di KBM merasa puas dan pembaca “Bias Rindu” yang di novel nanti juga merasa puas.
Terima kasih atas semua apresiasi teman-teman dan sahabat-sahabat yang telah mengikuti cerita ini. Tanpa pembaca, tentu uni bukan apa-apa. Mohon maaf, jika selama kita berinteraksi di cerbung ini, ada kata-kata uni yang tidak berkenan di hati.
Sampai jumpa di cerbung berikutnya. Love you all, pembaca setia Arini.